"Ihhh, kalian ini dua orang bajingan yang menyamar sebagai pendeta, ataukah pendeta-pendeta yang kemasukan iblis? Bagaimana dua orang gundul berpakaian pendeta begini kurang ajar? Minggir, biarkan aku lewat, aku tidak sudi bicara dengan kalian lagi"
"Ho-ho-hooo, nanti dulu, Manis"
Si Alis Tebal cepat membentangkan kedua lengannya menghadang di tengah jalan.
"Bukan kebetulan kita saling bertemu di sini, agaknya memang antara kita bertiga sudah ada jodoh. Kalau tergesa-gesa mau pergi juga, harus memberi ciuman dulu kepada kami, seorang tiga kali. Bukankah begitu, Suheng?"
"Ya-ya, betul itu. Di tempat sunyi begini, tak usah malu-malu, Nona"
Kata Si Gigi Kuning.
"Jahanam bermulut busuk"
Lin Lin membentak, tubuhnya berkelebat dan sekali kedua tangannya mendorong dengan jurus dari ilmu silatnya Khong-in-liu-san, dua orang hwesio itu terjengkang roboh ke kanan kiri. Kini Lin Lin yang mendapat giliran tertawa nyaring bernada penuh ejekan.
"Hi-hik, kiranya kalian hanyalah dua ekor monyet gundul yang hanya pandai pentang mulut menghina wanita"
Dua orang hwesio muda itu kaget sekali, sama sekali tidak pernah mengira bahwa dara remaja itu dapat melakukan penyerangan yang sedemikian dahsyat dan tiba-tiba. Mereka marah sekali dan lenyaplah keinginan hati mereka untuk mempermainkan Lin Lin, kini dengan mata merah mereka meloncat bangun, penuh nafsu menyakiti gadis ini. Gerakan mereka cepat dan tahu-tahu mereka telah melolos sebatang cambuk dari ikat pinggang. Cambuk hitam yang panjang dan melihat gerakan cambuk di tangan, dapat diduga bahwa mereka adalah ahli-ahli bermain cambuk yang mahir sekali.
"Bocah setan, berani kau main gila terhadap pinceng?"
Seru Si Alis Tebal.
"Sute, kita cambuki pakaiannya sampai ia telanjang bulat"
Kata Si Gigi Kuning dengan nada gemas.
"Tar-tar-tar-tar"
Dari depan dan belakang, dua batang cambuk itu mengeluarkan bunyi dan menyambar-nyambar di atas kepala Lin Lin. Namun seujung rambut pun gadis ini tidak menjadi gentar. Malah kemarahannya memuncak.
"Hemmm, monyet-monyet gundul tak tahu diri. Hajaran tadi masih belum cukup bagi kalian, ya? Manusia-manusia berwatak kotor macam kalian kalau tidak dibasmi, hanya akan mengotorkan dunia dan mengganggu wanita saja"
Setelah berkata demikian, Lin Lin menggerakkan tangan kanan dan "srattt"
Tampak sinar kuning menyilaukan mata karena Pedang Besi Kuning sudah berada di tangannya.
"Bagus, kau berani melawan? Rasakan cambukan ini"
Cambuk dari depan menyambar, disusul cambuk dari belakang dan di lain saat tubuh Lin Lin sudah terkurung dua batang cambuk yang menyambar-nyambar bagaikan dua ekor ular hidup. Kiranya dua orang hwesio muda itu tidak terlalu menyombong. Permainan cambuk mereka memang hebat, cepat dan kuat sekali. Namun kali ini mereka bertemu dengan Lin Lin, yang baru saja mewarisi Ilmu Khong-in-ban-kin, ilmu yang membuat ia dapat mengerahkan gin-kang yang hebat sehingga tubuhnya berubah ringan dan cepat laksana gerakan seekor burung walet. Betapapun cepatnya dua batang cambuk itu melecut dan menyambar, tubuh Lin Lin lebih cepat lagi bergerak, berkelebat di antara sambaran cambuk diselimuti gulungan sinar kuning dari pedangnya.
Memang hebat sekaii Lin Lin setelah ia mewarisi ilmu dari Kim-lun Seng-jin. Apalagi di tangannya sekarang ada sebatahg pedang pusaka terbuat daripada besi aji yang amat ampuh. Dengan sinar yang menyilaukan mata, pedangnya berkelebat dan.. dua orang hwesio muda itu berteriak kesakitan ketika cambuk-cambuk di tangan mereka itu putus semua berikut ujung lengan baju dan sebagian daripada kulit dan daging lengan mereka, semua terbabat oleh sinar pedang yang menyilaukan dan berhawa dingin itu"
Tentu saja mereka terkejut dan ketakutan, lalu melarikan diri sambil memegangi kepala seakan-akan merasa khawatir kalau-kalau kepala mereka pun akan terbabat putus"
"Bagus sekali. Benar-benar kiam-hoat (ilmu pedang) yang amat indah dan lihai"
Lin Lin cepat menengok. Kiranya tak jauh dari tempat pertempuran itu tampak seorang laki-laki muda duduk di atas punggung kudanya. Pemuda ini berusia dua puluh tahun lebih, bermuka bundar dengan jidat lebar, sepasang matanya lebar den menyinarkan kejujuran, alisnya tebal, hidungnya agak pesek, mulutnya membayangkan keramahan.
Biarpun bukan wajah yang dapat disebut tampan, namun ia tidak buruk rupa, bahkan wajahya yang sederhana ini menyenangkan hati orang. Pakaiannya pun sederhana dan bersih, rambutnya digelung ke atas den dibungkus sutera berkembang. Gagang sebuah pedang yang tampak menandakan bahwa ia pun seorang yang tidak asing akan senjata tajam. Juga bentuk tubuhnya yang kekar membayangkan tenaga besar. Lin Lin masih marah. Sehabis bertemu dengan dua orang hwesio muda yang bermulut kotor dan lancang tadi, ia mempunyai prasangka buruk terhadap pemuda ini. Kalau laki-laki yang sudah menjadi hwesio-hwesio saja seperti tadi kurang ajarnya, apalagi yang masih muda seperti ini. Dengan muka merah den mulut cemberut ia membalikkan tubuh menghadapi pemuda itu, lalu menghardik.
"Memang kiam-hoatku indah dan lihai, juga pedangku ini cukup tajam untuk memenggal leher setiap orang laki-laki ceriwis den kurang ajar. Kau mau apa ikut campur?"
Ada semenit pemuda itu melongo. Matanya yang lebar itu makin melebar ketika ia memandang Lin Lin. Terbayang pada matanya itu kekaguman luar biasa dan sesungguhnya, ia memang kagum sekali setelah dara ini sekarang menghadapinya. Wajah Lin Lin seakan-akan menyihirnya, membuat jantungnya jungkir balik dan kepalanya puyeng, matanya berkunang-kunang. Belum pernah selama hidupnya ia melihat seorang dara seperti ini, dan belum pernah ia mengalami guncangan seperti ini pula menghadapi seorang gadis. Lin Lin makin tidak sabar. Agaknya laki-laki ini kurang ajar pula, duduk di atas punggung kuda dan memandangnya tanpa berkata apa-apa, memandangnya tanpa berkedip. Ia membanting kaki dan memaki,
"Apa kau kira aku ini barang tontonan maka matamu melotot terus memandangku?"
"Bukan barang tontonan, Nona, akan tetapi tidak ada tontonan yang lebih indah, lebih mempesona, lebih.."
"Kau lebih kurang ajar lagi"
Bentak Lin Lin dan tubuhnya sudah melesat ke depan sambil mengirim serangan dengan pedangnya.
"Uiiihhhhh, ganas.."
Pemuda itu cepat sekali membuang diri dari atas punggung kuda, berjumpalitan beberapa kali dan ketika kedua kakinya sudah berdiri di atas tanah, ternyata ia telah mencabut pedangnya yang berkilauan seperti perak.
"Baiklah, Nona. Kalau kau ingin mencoba kepandaian, mari kulayani. Agaknya kau murid orang pandai dan patut menjadi lawanku bertanding pedang."
Ia melambaikan tangan kiri menantang. Dari gerakan pemuda tadi yang amat mengagumkan hati Lin Lin, gadis inipun maklum bahwa lawannya kali ini bukanlah seorang sembarangan, bukan macam dua orang hwesio tadi. Akan tetapi ia tidak takut, dan perasaannya ini ia keluarkan melalui bibirnya yang merah,
"Biar ada sepuluh orang macam engkau, aku tidak gentar"