Siang-mou Sin-ni menggertak dan rambut-rambut hitam panjang di kepalanya itu sudah bergoyang-goyang. Rambutnya merupakan senjatanya yang paling ampuh dan memang rambutnya itulah yang amat ditakuti di dunia kang-ouw. Bagi wanita biasa, agaknya rambut yang hitam panjang halus dan harum itu akan menjadi kebanggaan dan akan disukai banyak orang, terutama kaum pria. Akan tetapi rambut Siang-mou Sin-ni yang harum ini merupakan cengkeraman-cengkeraman maut yang entah sudah menewaskan nyawa beberapa banyak orang.
"Sin-ni, kau tahu aturan antara kita. Surat ini aku dapatkan dengan jalan menggunakan kepandaian, tentu saja tidak mungkin kuberikan kepadamu begini saja."
Sambil berkata demikian, Hek-giam-lo sudah mengeluarkan sabitnya, juga tangan kirinya mengeluarkan sehelai surat yang ia rampas dari tangan Suma Boan tanpa diketahui orangnya. Melihat surat itu di tangan Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni mengeluarkan lengking tangis yang menggetarkan kalbu, rambutnya seakan-akan hidup menyambar untuk merampas surat sedangkan sebagian rambutnya yang lain lagi menyambar ke arah jalan darah di dada, leher, pangkal lengan dan pergelangan yang maksudnya selain merobohkan lawan juga merampas sabit.
"Uhhh"
Hek-giam-lo membentak, surat itu sudah lenyap di saku bajunya lagi dan sabitnya hilang, berubah menjadi sinar putih yang menyilaukan mata, tubuhnya menjadi bayangan hitam yang bergulung-gulung dengan sinar sabitnya.
Pada detik-detik berikutnya, Hek-giam-lo dan Siang-mou Sin-ni sudah saling terjang dengan ganas sehingga terjadilah perkelahian yang luar biasa. Kalau kebetulan ada orang melihat pertempuran ini, tentu mengira bahwa iblis-iblis kuburanlah yang sedang bertanding ini. Kadang-kadang mereka bertanding di atas lantai depan batu bisa, kadang-kadang dengan gerakan ringan dan cepat keduanya berlompatan dan berkejaran di atas bongpai (batu nisan), melayang di antara pohon-pohon untuk kembali ke lantai lagi, melanjutkan pertandingan yang amat hebatnya. Namun keduanya sama kuat. Pertahanan masing-masing terlampau kokoh dan rapat sehingga sukar bagi mereka untuk mencari lubang dan memasuki serangan mematikan.
"Hi-hik, tengkorak busuk. Mana pelajaranmu dari Bu Kek Siansu? Untuk apa kau rampas setengah kitabnya? Hayo keluarkan, kulihat jurus-jurusmu adalah yang dulu juga, sudah lapuk dan kuno"
Ejek Siang-mou Sin-ni. Hek-giam-lo mendengus dan memutar sabitnya.
"Kau merampas alat tetabuhan khim untuk apa pula? Tidak perlu cerewet, rampaslah suratmu kalau kau memang becus"
"Keparat, hari ini Hek-giam-lo mampus di tanganku"
Siang-mou Sin-ni memperhebat gerakannya dan kini mereka bertanding lebih seru lagi, berusaha mencari kemenangan dengan mengeluarkan jurus-jurus mematikan.
Sementara itu, Sian Eng ketika melihat dirinya ditinggalkan sendiri oleh Hek-giam-lo, segera timbul keberaniannya. Kesempatan baik sekali untuk melarikan diri. Cepat ia melompat turun dari atas bangku panjang, menyambar pedangnya yang tadi dibawa pula agaknya oleh Hek-giam-lo, dan berjalanlah ia melalui lorong di bawah tanah yang gelap. Seberapa kali ia salah jalan. Kiranya lorong itu mempunyai banyak jalan simpangan yang menyesatkan. Setelah meraba sana, merayap ke sini, akhirnya Sian Eng berhasil melihat sinar matahari melalui sebuah lubang. Pengharapannya menebal dan cepat ia merayap ke arah sinar itu yang ternyata masuk dari sebuah lubang yang cukup besar. Ia mengerahkan gin-kang dan melompat keluar dari lubang.
Sejenak kedua matanya silau dan terpaksa ia berdiri sambil memejamkan mata. Baru saja keluar dari tempat gelap ke tempat terang memang amat menyilaukan mata, hampir ia tak dapat percaya apa yang dilihatnya. Ternyata ia telah berada di depan batu-batu nisan besar dan di situ berkelebatan dua orang yang sedang bertanding dengan hebat dan aneh. Yang seorang adalah Hek-giam-lo, yang mempergunakan sebuah sabit yang mengerikan. Orang ke dua adalah seorang wanita cantik sekali, akan tetapi cara bertempur wanita itu aneh karena wanita itu selalu menggunakan rambutnya yang panjang dan gemuk hitam sebagai senjata.
Sian Eng tidak tahu apa yang harus dilakukannya menghadapi pertandingan itu. Hek-giam-lo dianggapnya seorang miring otak yang menganggap dia sebagai seorang Puteri calon ratu, akan tetapi ia masih tidak tahu apakah iblis hitam itu mengandung niat baik ataukah buruk terhadap dirinya. Adapun wanita cantik yang bertempur melawan Hek-giam-lo itupun ia tidak kenal, tidak tahu pula mengapa bertempur melawan Hek-giam-lo. Oleh karena ini, Sian Eng tidak mempedulikan pertempuran itu dan mendapatkan kesempatan baik ini ia segera melarikan diri. Akan tetapi Sian Eng benar-benar keliru kalau dia mengira bahwa dua orang itu tidak melihatnya dan tidak tahu bahwa ia melarikan diri. Dua orang itu adalah orang-orang sakti yang tentu saja melihat dia keluar dari lubang tadi. Belum jauh Sian Eng melarikan diri, Hek-giam-lo mendengus.
"Sin-ni, lain waktu kita lanjutkan. Aku harus mengejar dia."
"Hik-hik, tinggalkan dulu surat itu, baru aku memberi ampun padamu"
Sabit di tangan Hek-giam-lo menyambar sepenuh tenaga, namun dengan mudah Siang-mou Sin-ni mengelak dan membalas dengan sambaran rambutnya.
"Keparat kau, Aku perlu sekali dengan gadis itu"
Kembali Hek-giam-lo berkata, minta pertandingan dihentikan.
"Aku pun perlu sekali dengan surat itu. Sebelum kau serahkan kepadaku, jangan harap kau bisa mendapatkan gadis itu. Hi-hik."
Kewalahan Hek-giam-lo menghadapi lawannya yang selain pandai bertempur, juga amat pandai berdebat ini.
"Nah, kau makanlah suratmu"
Hek-giam-lo sudah mengeluarkan surat itu dan melemparkannya ke arah Siang-mou Sin-ni, kemudian melompat jauh untuk mengejar Sian Eng.
Adapun Siang-mou Sin-ni melihat menyambarnya benda putih, segera ditangkapnya dan ia terkekeh girang melihat bahwa benda itu memang benar merupakan surat persekutuan antara Pemerintah Nan-cao dan Pemerintah Hou-han. Sambil tersenyum manis ia memasukkan surat itu ke dalam saku jubahnya, kemudian bersenandung lirih dan membalikkan tubuh hendak pergi dari tempat itu. Akan tetapi ketika ia membalikkan tubuh, matanya memandang ke arah sebuah di antara jajaran patung yang kebetulan berada di depannya. Sebuah patung sebesar patung seorang sastrawan kuno. Wajah patung itu amat halus buatannya, seperti manusia hidup saja.
"Ih, tampan juga kau"
Siang-mou Sin-ni tersenyum.
"Sayang kau hanya batu, tidak punya darah dan daging. Ih, matamu terlalu tajam, lebih baik lehermu kupatahkan sebelum aku pergi."
Siang-mou Sin-ni menggerakkan kepalanya, segumpal rambut panjang menyambar ke arah leher patung.
"Plakkk"
Rambut itu terpental kembali dan leher patung tidak apa-apa. Jangankan patah, gempil pun tidak. Sepasang mata jeli bening itu terbelalak. Biasanya, hantaman rambutnya akan mampu memecahkan batu hitam, masa sekarang mematahkan leher patung saja tidak kuat? Sekali lagi ia menggerakkan kepala, kini setengah rambutnya semua menyambar, merupakan gumpalan yang cukup besar.
"Plakkk"
Kali ini tubuh Siang-mou Sin-ni tergetar karena kekuatan yang ia pergunakan tadi lebih besar sehingga ketika terpental, lebih hebat pula terasa olehnya.
Wanita ini berubah wajahnya. Matanya melirik ke arah patung itu, lalu kepada patung-patung lain yang berjajar di situ. Kalau semua patung itu sekuat ini, agaknya memiliki kesaktian, hiiiiih, Siang-mou Sin-ni merasa bulu tengkuknya bangun dan ia cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Seorang wanita yang terkenal ganas seperti iblis sekarang lari ketakutan, mengira bahwa patung-patung itu sudah menjadi iblis. Mungkin menghadapi sesama manusia, iblis wanita rambut panjang itu tidak akan gentar seujung rambut pun, akan tetapi menghadapi patung batu yang dapat tahan menghadapi dua kali hantaman rambutnya, benar-benar melewati batas ketabahannya. Kalau saja Siang-mou Sin-ni tahu betapa sepeninggalnya patung yang dihantamnya tadi dapat bergerak-gerak, tentu ia tidak akan lari malah akan diserang mati-matian.
Setelah iblis wanita rambut panjang itu pergi.
"patung"
Itu menarik napas panjang, melemparkan selubung kain putih dan tampaklah seorang pemuda tinggi besar berpakaian seperti sastrawan, pakaian berwarna hitam. Suling Emas. Seperti juga Siang-mou Sin-ni, Suling Emas yang menyamar sebagai patung itu berkelebat lenyap ke arah perginya Hek-giam-lo. Sian Eng sudah girang hatinya dapat terbebas. Ia lari sekuat tenaga dan memasuki hutan besar. Napasnya terengah-engah dan setelah masuk di bagian hutan yang gelap, merasa dirinya aman, gadis ini memperlambat langkahnya untuk mengaso dan mengatur napas. Akan tetapi, dapat dibayangkannya betapa kagetnya, sampai mukanya menjadi pucat tak berdarah lagi, ketika ia menoleh di depannya berdiri.. Hek-giam-lo.
"Paduka hendak ke mana, Sang Puteri? Harap hati-hati, tanpa hamba yang melindungi, sebaiknya Paduka jangan pergi ke mana-mana. Banyak berkeliaran musuh-musuh kita,"
Terdengar Hek-giam-lo berkata dengan suaranya yang menyeramkan.
"Tidak.. tidak.. biarkan aku pergi sendiri. Jangan ganggu aku"
Teriak Sian Eng yang ketakutan, dan ia hendak lari. Akan tetapi iblis itu sekali berkelebat telah berada di depannya. Sian Eng menjadi nekat dan menggunakan pedangnya membacok. Akan tetapi entah bagaimana pedangnya seperti bertemu benda keras dan terpental jauh kemudian tubuhnya terangkat dan ia sudah dibawa lari seperti terbang cepatnya tanpa dapat meronta sedikit pun. Sian Eng menggigil ketakutan dan pingsan dalam pondongan Hek-giam-lo.
Lin Lin membanting-banting kedua kakinya seperti anak kecil tidak dituruti permintaannya.
"Kek, kau membohongi aku"
Kau bilang dia berada di kota raja, mana dia sekarang? Hayo katakan, mana dia? Sudah sepekan kita berada di sini, setiap malam berkeliaran semalam suntuk, kalau siang tidur di kuil tua, persis seperti kelelawar, malam berkeliaran siang tidur. Dan Suling Emas belum juga tampak batang hidungnya"
Kakek gundul pelontos itu, Kim-lun Seng-jin, duduk di atas lantai kuil tua yang kotor, bersandar dinding yang sudah retak-retak, tertawa lebar memperlihatkan giginya yang putih dan mengkilap tertimpa sinar api unggun yang dibuatnya, sehingga keadaan dalam kuil yang gelap itu menjadi terang.
"Heh-heh-heh, Lin Lin, sudah kukatakan kepadamu bahwa orang macam Suling Emas itu sukar dipegang buntutnya."
"Apa dia bukan manusia, Kek?"
"Heh? Manusia tapi seperti iblis. Ya, dia manusia seperti kita."
Melihat dara remaja itu mengajukan pertanyaan dengan muka sungguh-sungguh, meledak ketawa Kim-lun Seng-jin.
"Uuhh, kau benar-benar masih hijau. Masa tidak mengerti apa yang kumaksudkan? Sukar dipegang buntutnya berarti sukar diikuti ke mana perginya."
"Wah, kalau begitu, sia-sia saja kita berkeliaran di kota raja ini, Kek?"
Lin Lin kembali timbul marahnya dan membanting kaki.
"Tidak ada yang sia-sia di dunia ini, semuanya berguna dan ada manfaatnya, asal saja kita tahu bagaimana mempergunakannya dan memetik manfaatnya. Kita sudah berada di kota raja, bukalah matamu baik-baik. Bukankah kau menemui keadaan yang baru bagimu? Tidakkah kau ingin melihat istana raja dari dalam? Aku selalu singgah di istana kalau datang ke sini dan tak pernah lupa menjenguk dapurnya. Heh-heh, sudah lama tidak kunikmati masakan istana."
Seketika kemurungan hati Lin Lin lenyap. Wajahnya yang jelita berseri, matanya berkilat dan seketika itu juga perutnya mendadak menjadi lapar sekali.
"Wah, mari kita ke sana, Kek, ada masakan apa saja di sana? Aduh perutku lapar sekali"
Kakek itu tertawa terpingkal-pingkal agaknya senang sekali melihat watak yang mudah berubah dan aneh dari gadis remaja itu.
"Heh-heh-heh, serupa benar kau, serupa benar."
"Serupa siapa, Kek?"
"Serupa dengan orang yang sudah tidak ada. Lin Lin, kau boleh ikut aku ke istana dan menikmati masakan dapur yang selama hidupmu belum pernah kau makan atau lihat. Akan tetapi amat berbahaya, banyak penjaganya yang pandai."
"Aku tidak takut"