Kata Raja itu dengan suara tenang namun penuh wibawa. Sia Gin Hwa memegang tangan kekasihnya dan menangis sambil menciumi tangan itu, akan tetapi wajah Lu Kiat menjadi makin pucat. Kembali Sin Liong bangkit berdiri.
"Maaf, Suhu. Teecu terpaksa membantah lagi! Mereka memang telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum yang ada, akan tetapi apakah perbuatan mereka itu sudah demikian jahatnya maka sampai mereka dihukum buang? Teecu kira di balik perbuatan mereka itu tentu ada sebab dan alasannya. Mereka menjadi korban nafsu, akan tetapi kalau seoarang istri sampai melakukan penyelewengan, tentu pihak suami juga ada kesalahannya. Tidak perlukah diselidiki mengapa wanita ini yang telah bersuami sampai berjina dengan pria lain? Mengapa dia sampai tidak dapat menahan dorongan nafsu berahi? Tentu ada sebab-sebabnya."
"Sin Liong, engkau seorang bocah belum dewasa, tahu apa tentang nafsu berahi?"
Bentak gurunya, agak tertegun juga karena dia mendapatkan kebenaran tersembunyi di balik bantahan muridnya itu. Terdengar suara ketawa ditahan di sana-sini, bahkan permaisuri sendiri menahan senyumnya.
"Teecu... teecu... mengerti dari kitab...."
"Pembelaan seorang anak yang belum dewasa terhadap perjinaan yang dilakukan orang dewasa tidak dapat diterima. Laksanakan hukumannya dan buang mereka bertiga sekarang juga ke Pulau Neraka!"
Kata Han Ti Ong.
Persidangan dibubarkan dan tiga orang pesakitan itu lalu digiring keluar untuk dilaksanakan hukuman atas diri mereka, yaitu dibuang ke Pulau Neraka, hukuman yang paling mengerikan dan paling di takuti oleh semua penghuni Pulau Es karena mereka semua tahu bahwa di buang ke Pulau Neraka berarti hidup tersiksa dan sengsara, lebih hebat dari kematian! Peristiwa seperti inilah yang membuat hati Sin Liong memberontak. Dia amat cinta dan kagum kepada suhunya, akan tetapi peraturan hukum di Pulau Es ini dianggapnya terlalu kejam. Sebaliknya, Han Ti Ong yang maklum akan kekecewaan hati muridnya yang dia kagumi dan cinta, berusaha menyenangkan hati muridnya itu dengan menurunkan ilmu-ilmu simpanannya sehingga dalam waktu setahun lagi saja ilmu kepandaian pemuda yang berusia lima belas tahun itu menjadi makin hebat.
Boleh dibilang dialah orang satu-satunya yang menjadi pewaris ilmu-ilmu Pulau Es. Biarpun Permaisuri juga mewarisi banyak ilmu dahsyat namun dibandingkan dengan Sin Liong dia kalah bakat sehingga kalah sempurna gerakannya, apa lagi dalam hal tenaga sinkang dia kalah jauh. Hal ini adalah karena Sin Liong adalah seorang yang pada dasarnya memiliki batin kuat dan tidak pernah terseret oleh nafsu, sebaliknya The Kwat Lin adalah seorang wanita yang dibangkitkan nafsunya semenjak dia diperkosa oleh Pat-jiu Kai-ong.
Dan pada suatu hari terjadilah suatu hal yang sudah lama diduga-duga akan terjadi hal yang menjadi akibat daripada keadaan yang ditekan-tekan di dalam istana yang dimulai dengan masuknya The Kwat Lin yang kini telah menjadi permaisuri itu ke Pulau Es. Pagi hari itu, Sin Liong tengah duduk seorang diri di tempat yang menjadi tempat kesukaannya bersama Swat Hong, yaitu di tepi pantai yang paling sunyi, pantai yang tak pernah tertutup salju karena pasir berwana putih yang terjadi dari pecahan batu karang dan segala macam kulit kerang dan kepompong itu seolah-olah selalu mengeluarkan hawa hangat.
Selagi dia duduk termenung itu terdengarlah olehnya suara tambur dipukul gencar, tanda bahwa pagi hari itu diadakan persidangan pengadilan yang amat penting, sidang yang diadakan kurang lebih tiga bulan semenjak tiga orang pesakitan terakhir itu di buang ke Pulau Neraka. Suara tambur itu seolah-olah menghantami isi dada Sin Liong, karena suara itu suara yang paling tidak disukainya, suara yang menandakan bahwa akan ada orang lagi yang dihukum! Maka dia tidak bergerak, mengambil keputusan tidak akan menonton karena menonton berarti hanya akan menghadapi hal yang menyakitkan hatinya.
Akan tetapi dia meloncat bangun ketika mendengar suara panggilan Swat Hong, suara panggilan yang lain dari biasanya karena suara dara itu mengandung isak tangis yang mengejutkan.
"Kwa-suheng...!!"
Sin liong terkejut melihat dara itu berlari-lari kepadanya sambil menangis dan dengan wajah yang pucat sekali.
"Ada apakah, Sumoi?"
Tegurnya sebelum dara itu tiba di depannya.
"Suheng... celaka... Ibuku..."
Biarpun hatinya berdebar penuh kaget dan kejut, Sin Liong bersikap tenang ketika di memegang kedua pundak Sumoinya dan bertanya,
"Ada apakah dengan Ibumu? Tenanglah, Sumoi."
Swat Hong menahan isaknya.
"Mereka... mereka menangkap Ibuku dan membawanya ke sidang pengadilan..."
Sin Liong mengerutkan alisnya. Sudah keterlaluan ini, pikirnya. Rasa penasaran membuat dia berlaku agak kasar. Digandengnya tangan Sumoinya, ditariknya dara itu dan dia berkata,
"Mari kita lihat!"
Ketika dua orang itu tiba di ruangan pengadilan, mereka mendapat kenyataan bahwa keadaan berlainan sekali dengan sidang pengadilan yang sudah-sudah karena suasana amat sunyi. Tidak ada seorang pun diper-bolehkan mendekati ruangan pengadilan, bahkan ketika Sin liong dan Swat Hong tiba disitu, mereka dihadang oleh beberapa orang penjaga,
"Maaf, atas perintah Sribaginda, tidak ada yang boleh memasuki ruang sidang pengadilan hari ini."
Kata mereka. Dengan kedua tangan di kepal, Swat Hong melompat maju, matanya melotot dan mukanya merah sekali,
"Apa kalian bilang? Kalian berani melarang aku memasuki ruangan? Apakah kalian sudah bosan hidup?"
Sin Liong cepat memegang lengan sumoinya karena dia maklum bahwa kalau sumoinya ini sudah marah, tentu akan hebat akibatnya. Juga para penjaga itu mundur ketakutan karena mereka mengerti betapa lihainya Sang Puteri ini.
"Harap Saudara sekalian melaporkan kepada atasan Saudara bahwa kami akan memasuki ruang sidang,"
Kata Sin Liong dengan tenang kepada para penjaga.
"Akan tetapi kami hanya mentaati perintah. Bagaimana kami berani melanggar?"
Jawab kepala penjaga dengan muka bingung.
"Aku tahu. Ibuku yang diadili, Bukan? Nah, dengar kalian! Apa pun yang akan terjadi dengan ibuku, aku harus hadir, kalau perlu aku akan bunuh kalian semua agar dapat masuk!"
Kembali Swat Hong membentak.
"Saudara sekalian harap mundur dan biarkan kami masuk. Akibatnya biarkan kami berdua yang menanggungnya,"
Kembali Sin Liong berkata dan keduanya memaksa masuk. Para penjaga tidak ada yang berani melarang akan tetapi mereka cepat-cepat lari untuk melapor kedalam.
Han Ti Ong mengerutkan alisnya ketika melihat Sin Liong dan Swat Hong memasuki ruang sidang, akan tetapi dia hanya mengangguk kepada para penjaga yang kebingungan. Hal ini melegakan hati para penjaga dan mereka cepat-cepat meninggalkan ruangan itu untuk menjaga di luar, karena mereka pun tidak boleh mendengarkan sidang yang sedang mengadili isteri raja! Dapat dibayangkan betapa hancur hati Swat Hong melihat ibunya dengan tenang berlutut di depan meja pengadilan bersama seorang laki-laki muda yang berpakaian sebagai pelayan dalam istana. Hatinya menduga dan dia merasa ngeri karena melihat ibunya dan pemuda itu berlutut di situ, dia seolah-olah melihat Sia Gin Hwa dan Lu Kiat, dua orang pesakitan yang saling berjinah itu! Akan tetapi dia tidak percaya! Tak mungkin ibunya...!
Akan tetapi dia menjadi lemas dan menurut saja ketika Sin Liong menariknya dan mengajaknya duduk dideretan kursi pinggiran yang sekali ini sama sekali kosong. Di belakang meja panjang hanya duduk jaksa, hakim, Raja Han Ti Ong, permaisurinya, dan Han Bu Ong, bocah berusia delapan tahun yang mengenakan pakaian indah dan duduk dengan agungnya di dekat ibunya, matanya memandang kearah Sin Liong dan Swat Hong dengan angkuh. Kemudian terdengarlah suara nyaring Sang Jaksa, suara yang bagi telinga Swat Hong terdengar seperti sambaran pedang yang menusuk-nusuk hatinya dan bagi Sin Liong seperti guntur di tengah hari!
"Liu Bwee, sebagai bekas istri Sribaginda, dari seorang anak nelayan biasa menjadi seorang mulia terhormat, ternyata membalas budi Sribaginda dengan aib dan noda yang hina, telah ditangkap karena melakukan perjinahan dengan seorang pelayan muda. Dosa ini amat besar karena selain menimbulkan aib dan malu kepada Sribaginda, juga kalau diketahui dunia luar akan mencemarkan nama Kerajaan Pulau Es. Oleh karena itu, sepatutnya dia dijatuhi hukuman yang seberat mungkin."
"Bohong...! Ibu tidak mungkin...."
Swat Hong menjerit dan hendak melompat maju menye-rang jaksa yang berani mengeluarkan ucapan menuduh ibunya seperti itu akan tetapi Sin Liong menangkap lengannya untuk mencegah sumoinya bergerak.
"Swat Hong! Berani engkau kurang ajar di depan Ayah?"
Terdengar Han Ti Ong membentak dengan penuh wibawa.
"Ayah, tuduhan itu fitnah belaka! Tidak mungkin ibu melakukan hal yang kotor itu. Mana buktinya? Siapa saksinya?"
Kembali Swat Hong menjerit-jerit.
"Hong-ji, jangan begitu. Ibumu tidak berdosa, akan tetapi kita harus. tunduk kepada peraturan dan hukum, anakku. Tenanglah."
Ucapan ini keluar dari mulut Liu Bwee yang menoleh kearah Swat Hong, suaranya lirih dan jelas, namun mengandung kedukaan yang merobek hati.
"Liu Bwee, engkau telah mendengar tuduhan atas dirimu. Apakah pembelaanmu?"
Terdengar suara hakim tua itu dengan halus dan lirih seperti biasanya, namun penuh wibawa karena dalam sidang ini, dialah orang yang paling kuasa.
"Saya tidak akan membela diri, hanya seperti dikatakan anakku tadi, agar tidak mendatangkan penasaran, harap suka disebutkan siapa saksinya dan apa buktinya yang memperkuat tuduhan terhadap diriku,"
Kata Liu Bwee dengan tenang dan suara halus. Jaksa yang termasuk orang di antara anggauta keluarga raja yang tidak senang kepada Liu Bwee karena dia dahulupun mengharapkan agar Han Ti Ong memilih anak perempuannya, segera berkata lantang,
"Buktinya? Engkau ditangkap ketika berada di dalam kamar dengan A Kiu, padahal dia bukanlah pelayanmu. Apalagi yang kalian kerjakan kalau bukan berjinah? Seorang wanita dan seorang laki-laki yang tidak ada hubungan apa-apa berada di dalam kamar berdua saja! selain itu, perjinahan kalian juga telah ada yang menyaksikan."
Wajah Swat Hong sebentar pucat dan sebentar merah. Tak dapat dia menahan kemarahanya. Ibunya dituduh berjinah dengan seorang pelayan!
"Bohong! itu bukan bukti!! Kalau memang ada yang menyaksikan, hayo siapa yang menyaksikan?"
Teriaknya, tidak memperdulikan cegahan Sin Liong yang masih memegang lengannya karena khawatir kalau-kalau dara ini mengamuk.
"Akulah saksinya!"
Tiba-tiba terdengar suara kecil merdu dan Han Bu Hong telah bangkit berdiri dengan sikap menantang. Mulut anak ini tersenyum mengejek dan matanya bersinar-sinar.
"Enci Hong, akulah yang telah melihat ibumu dan pelayan itu di atas ranjang...."
"Ssssttt, diam...!"
Permaisuri menarik puteranya. Akan tetapi hakim telah berkata lagi,
"Sudah terbukti kesalahan besar yang dilakukan Liu Bwee. Kesalahan paling besar yang dapat dilakukan oleh seorang wanita..."
"Nanti dulu!"
Dengan muka pucat sekali Swat Hong memotong kata-kata hakim.
"Tidak adil kalau begini! kita belum mendengar keterangan A Kiu. Hai, A Kiu, aku percaya bahwa engkau seorang manusia yang menjujur kegagahan, tidak mungkin seorang pria penghuni Pulau Es Seperti engkau menjatuhkan fitnah sebagai seorang pengecut hina dina. Hayo ceritakan sesungguhnya apa yang terjadi!"
Suara Swat Hong ini nyaring sekali dan muka A Kiu menjadi pucat, kepalanya makin menunduk. Suasana menjadi hening dan akhirnya terpecah oleh suara Raja,
"A Kiu, kau diperkenankan untuk bicara!"
Tubuh itu menggigil, muka yang tampan itu pucat sekali ketika diangkat memandang Raja, kemudian melirik ke arah Liu Bwee yang masih bersikap tenang dan agung berlutut di sebelahnya. Ketika dia melirik ke arah Swat Hong yang berdiri dengan sikap angkuh memandang kepadanya, A Kiu menge-luh lirih, kemudian menelungkup dan berkata dengan suara mengandung isak,
"Hamba tidak berdaya... hamba memang berada di kamar itu... tapi... tidak seperti kesaksian Pangeran kecil... hamba terpaksa karena..."
"Berani kau mengatakan puteraku bohong?"
Jeritan ini keluar dari mulut permaisuri dan hawa pukulan yang dahsyat sekali menyambar ketika permaisuri menggerakan tangan kirinya ke arah A Kiu.
"Dess...! Aungghh...!"
Tubuh A Kiu terlempar bergulingan dan rebah tak bernyawa lagi, dari mulut, hidung dan telinganya mengalir darah. Hebat sekali pukulan jarak jauh yang di lakukan permaisuri itu, mengenai kepala A Kiu yang tentu saja tidak kuat menahannya. Hakim dan jaksa saling pandang, sedangkan Raja menegur Permaisurinya,
"Kau terlalu lancang...."
"Apakah aku harus diam saja kalau seorang rendah macam dia menghina putera kita?"
Permaisuri membantah dengan suara agak ketus. Raja diam saja dan menarik nafas panjang. Dia merasa bingung dan berduka sekali harus menghadapi perkara ini, lalu memberi isyarat kepada hakim sambil berkata,