Warisan Jendral Gak Hui Chapter 19

NIC

belum selesai kata-kata kakek itu ditukas oleh Tong Kiam Ciu dengan suara lantang dan terperanjat. "Ciam Gwat ?” seru Kiam Ciu dengan perubahan wajah meradang.

"Ya ! Apakah kau pernah melihat atau mengenalnya ?” sambung Kun-si Mokun dengan sorot mata mendesak.

"Tidak ! E.. maksudku belum !” jawab Kiam Ciu gugup.

"Kau agaknya menjadi baru mendengar namanya saja ? Hee-heh-heh-heee”

sambung Kun-si Mo-kun menyelidik dan curiga.

"Aku hanya pernah mendengar bahwa Ciam Cwat adalah jago silat luar biasa yang kejam !” sambung Kiam Ciu ingin tahu lebih lanjut.

"Apakah kau percaya bahwa dia betul-betul kejam?” sambung Kun-si-Mo-kun sambil memandang kearah Kiam Ciu dengan tajam.

"Ya!” seru pemuda itu dengan singkat dan tegas.

"Ya? Tetapi meagapa tentang cerita diriku bahwa kau tidak merasa yakin benar-benar bahwa aku seorang yang kejam?” seru Kun-si Mo-kun.

Kiam Ciu tertunduk tidak dapat menjawab seolah-olah pemuda itu tersudut pada suatu persoalan. "Sudahlah, sudahlah, aku akan melanjutkan ceritaku yang barusan tadi", sela kakek

KUN-SI MOKUN. Ternyata kitab pusaka itu juga menarikku. Itulah sebabnya aku berusaha dengan bersusah payah untuk mendapatkan akar ini. Aku sudah merasa tidak takut lagi terhadap segala macam bisa walau yang bagaimana ganasnyapun. Tetapi aku telah tua untuk apa segala macan itu, kitab pusaka yang aneh dan segala ilmu silat yang luar biasa semuanya tidak ada artinya lagi bagiku. Tadi aku menyaksikan kau telah mengalahkan si Hidung Bawang tadi. Maka aku berkeyakinan bahwa kau adalah seorang pemuda yang berkepandaian tinggi. Kau sangat berbakat dan kau masih muda maka kau harus memiliki kitab itu.. .” seru Kun-si Mo-kun orang aneh yang luar biasa.

Lalu kakek itu mematahkan akar Lok-bwee-kim-keng. Kemudian akar yang berada dii tangan kanan dimasukkan kedalam mulut Tong Kiam Ciu. Sedangkan yang sebagian lagi dia genggam dalam tangan kiri dan berseru: "Kunyahlah akar itu Kiam Ciu ! Setelah kau mengunyah dan menelan akar Lok-bwee-kim-keng, bukan saja racun yang mengendap dan menjalar dalam tubuhmu itu akan musnah, bahkan kau akan menjadi kebal terhadap racun yang manapun dan bagaimana ganasnyapu. Kemudian.. yang sebagian ini simpanlah baik-baik, mungkin kelak berguna !” seru kakek itu seraya menyodorkan keratan potongan akar Lok-bwee-kim-keng kepada Kiam Ciu sambil tersenyum tetapi wajahnya bersungguh-sungguh. "Terima kasih Locianpwee” seru Kiam Ciu sambil mengunyah akar dalam mulutnya dan tangan kanan menerima uluran Kun-si Mo-kun.

"Jika kau tidak ingin mencari kitab sakti Kiam-si-bu-kong itupun tidak menjadi persoalan bagiku. Namun kini yang jelas aku telah membalas budi dan hutang nyawa padamu. Nah Kiam Ciu terimalah kembali pedang pusaka Oey-liong-kiam ini jagalah baik-baik jangan sampai jatuh ke tangan orang yang keji.. “ sambil menyodorkan pedang itu ketangan Kiam Ciu yang telah menerimanya pula dengan tangan dua. Kemudian kakek itu menepuk bahu Kiam Ciu sambil melanjutkan kata-kata : "Nah anak baik Kiam Ciu, sampai diiini dulu dikemudian hari mungkin kita masih dapat bertemu lagi.. .aku.. harus pergi sekarang . .” seru Kun-si Mo-kun dengan suara datar dan tercekat haru.

Setelah meletakkan pedang pusaka Naga Kuning atau Oey-liong-kiam di tangan Tong Kiam Ciu, Kun-si Mo-kun memutar tubuh dan bergerak meninggalkan Tong Kiam Ciu dengan langkahnya yang pincang.

Kiam Ciu menyaksikan itu dengan hati penuh keharuan. Pemuda itu merasa sangat terharu menyaksikan sikap Kun-si Mo-kun yang budiman.

"Locianpwee tunggu dulu ! Lo.. .” seru Kiam Ciu dengan tekanan rasa haru dan pilu, namun Kun-si Mo-kun sudah lenyap. Sungguh keliru dan terlalu kejam dunia ini memberikan suatu penilaian hanya dari suatu sudut, seorang yang budiman separti itu mengapa dicap sebagai seorang yang kejam dan keji . .” pikir Tong Kiam Ciu sambil merenungi tempat nan jauh dimana kakek budiman itu tadi telah lenyap. Setelah tenang sejenak maka Tong Kiam Ciu melanjutkan mengunyah akar Lok-bwee-kim-keng. Akar yang tampaknya sangat jelek tu ternyata sangat harum baunya. Setelah dikunyah-kunyah menjadi lembut maka ditelannya dengan susah payah. Tetapi akhirnya akar itu tertelan juga. Mula-mula darahnya dan urat syarafnya seperti terangsang. Kemudian Kiam Ciu mengerahkan tenaga Bo-kit-sin-kong. Terasalah seluruh tubuhnya seperti dilalui berjuta-juta semut. Beberapa saat kemudian seluruh tubuh pemuda itu bagaikan mandi keringat dan dari mulutnya telah keluar asap berbau amis.

Dari sedikit demi sedikit maka berkuranglah rasa nyeri dan ngilu disetiap persendian, kemudian rasa lemahnya telah berkurang. Kini dicobanya untuk menggerak-gerakan tangan dan kakinya. Sesaat kemudian terasalah seluruh derita akibat racun si Hidung Bawang itu telah lenyap dan Kiam Ciu telah dapat berdiri serta telah pulih seperti sedia kala. Sungguh akar Lok-bwee-kim-keng sangat manjur dan hebat. Ketika angin sejuk bertiup halus membuat wajah Kiam Ciu, maka pemuda itu tampak berseri. Diperhatikannya keadaan disekitar tempat itu. Tiba-tiba telinganya menangkap ringkikan seekor kuda. Wajah Kiam Ciu bertambah cerah dan bergirang hati. Karena dia yakin bahwa ringkikan kuda itu adalah ringkikan kuda putih miliknya. Kiam Ciu berdiri dan menggeliat ditangan kanan tergenggam pedang pusaka Naga-Kuning. Dihampirinya kuda putih yang tampak menggerak-gerakan kepalanya dan mengais-ngaiskan kaki depannya. "Ohh . . Putih . ternyata kau masih berada disini” seru Kiam Ciu sambil menghampiri kuda itu. Setelah dekat dielusnya leher kuda jantan itu yang tampak sangat manja. Ketika Kiam Ciu naik ke puncak Ciok yong-hong tadi telah menambalkan kudanya pada sebatang pohon yang rindang. Sekarang setelah berjalan beberapa saat dan dia telah menjadi sehat dan segar kembali sesuatu yang menyulitkan telah terpecah dengan adanya kuda kesayangan itu masih berada di tempatnya tanpa kurang suatu apa.

Terdengar sekali lagi kuda putih itu meringkik, tetapi ringkikannya kali ini tampak berlainan dengan ringkikan yang tadi. Mata kuda itu tampak gelisah dan mendekati liar. Kiam Ciu berusaha membujuk dan mengelus-elus leher kuda itu.

Namun siputih tidak juga mau tenang seolah-olah ada sesuatu yang mengintainya. Kiam Ciu menyandang pedang pusaka Naga Kuning kepunggungnya.

Membetulkan ikat pinggangnya dan meraba saku meneliti akar Lok-bwee-kimkeng pemberian dari Kun-si Mo-kun.

Sesaat Kiam Ciu tersenyum. Kemudian mengelus leher kudanya dan sekali lagi membujuknya.

"Sabar putih sabar kita akan segera berangkat dan meninggalkan lereng terkutuk ini.. .” bisik Kiam Ciu kepada kudanya.

Tetapi kuda itu seolah-olahh tidak mendengarkan bujukan itu. Tampak lebih gelisah lagi. Akhirnya Kiam Ciu berpikir bahwa tempat itu pasti ada binatang buas yang baunya tercium oleh kudanya itu.

Maka Kiam Ciu kini siap siaga menjaga segala kemungkinan. Dia berusaha untuk selekas-lekasnya meninggalkan tempat itu. Namun baru beranjak beberapa langkah untuk melepaskas tali kekang yang terikat pada batang pohon hutan itu, tiba-tiba kuda putih itu tampak lebih liar dan tampak sangat ketakutan. Dari semak belukar berlompatanlah lima orang yang mengenakan kedok kulit singa. Mereka itu ialah lima orang anggota partai Kim-sai-pang.

Kiam Ciu mendengar keresekan-keresekan yang ditimbulkan oleh kelima orang yang baru muncul itu. Lagipula mereka berdiri tidak begitu jauh dari tempat dimana Kiam Ciu menahan langkahnya. Dengan sangat tenang Kiam Ciu yang tengah mengulurkan tangan kanan dan akan melepaskan tali kekang kudanya tertahan juga. Kemudian memutar tubuh menghadap kearah orangorang Kim-sai-pang yang telah berdiri berjajar. Kiam Ciu agak terkejut dan bergetar keras dadanya "Anak muda kau sungguh sangat beruntung. Kau telah terbebas dari perangkap kami dan kini terbebas pula dari kebinasaan !” seru salah seorang diantara kelima pendatang itu, "tapi jangan kau terburu menepuk dada dan tertawa girang. Kami orang-orang Kim-sai-pang tidak akan membiarkan kau berlalu kali ini !” "Hem rupa-rupanya mereka telah membuntutiku dari ketika aku dalam keadaan lemah sepanjang malam mereka telah tahu. Tetapi mereka mengapa tidak mau menyergapku dalam keadaan lemah ?” pikir Kiam Ciu sambil mengamati orang-orang itu persatu, "Kalau saja mereka memang bersifat satria itulah baik sekali !”

Posting Komentar