“Saudara yang gagah,” katanya setelah menghela napas, “dari pakaianmu aku dapat menduga bahwa kau seorang perwira. Mengapa kau menolong aku, Kwee Siong yang bernasib celaka, dari jurang kematian? Pertolonganmu hanya mendatangkan dua hal yang selalu membuat hatiku menyesal.” Ia menghela napas kembali.
Liem-ciangkun (perwira Liem) atau Liem Siang Hong itu terkejut dan merasa heran mendengar ucapan ini. “Apakah maksudmu, saudara Kwee? Mengapa kau seakan-akan sudah bosan hidup dan merasa menyesal karena tertolong dari maut?”
“Pertama, karena biarpun sekarang aku terlepas dari bahaya maut, tetap saja aku akan kembali ke sana dan tentu serdadu itu akan memukulku lagi sampai mati, mungkin dengan siksaan yang lebih hebat. Kedua, dengan pertolonganmu, berarti aku telah hutang budi kepadamu, dan dalam keadaanku seperti sekarang ini, bagaimana aku dapat membalas budi? Mati dengan hutang budi jauh lebih buruk daripada mati dengan melepas banyak budi.”
Liem Siang Hong tertawa, suara ketawa seorang yang bebas lepas dan gembira.
“Saudara Kwee, kekhawatiranmu itu tidak berdasar sama sekali. Dan aku dapat membebaskan kau dari dua macam kekhawatiran itu. Pertama, kau takkan kembali ke tempat itu. Orang seperti kau, yang pandai menulis sajak demikian indahnya, tidak pantas menjadi pekerja kasar, lebih-lebih tidak patut tewas di ujung cambuk seorang serdadu yang tak bertanggung jawab.
Kedua, tentang budi, tak perlu kau memikirkannya, karena aku menolongmu bukan dengan maksud melepas budi. Tidak ada hutang piutang dalam hal ini. Sebagai seorang yang mengutamakan kegagahan, aku tidak dapat berpeluk tangan saja menyaksikan peristiwa yang tidak adil. Betapapun juga, kalau kau berkeras hendak membalas budi, dapat saja!” Mendengar ucapan perwira yang gagah ini, terharulah hati Kwee Siong. Ia segera turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan perwira itu. Tak dapat dicegah lagi air mata mengalir disepanjang pipinya ketika ia berkata, “Ah, sungguh tak pernah kusangka.
Awan yang gelap dan tebal menutupi seluruh langit, akan tetapi masih dapat muncul bintang terang seperti kau, ciangkun. Katakanlah, bagaimana aku dapat membalas budimu?”
Liem Siang Hong cepat-cepat memegang kedua pundak Kwee Siong dan menariknya bangun, lalu menuntunnya duduk di atas pembaringan itu.
“Sabarlah, saudaraku yang baik, dan jangan berlaku seperti anak kecil. Tentu saja kau dapat membalas budi, yakni dengan kepandaianmu tulis menulis itu. Aku mempunyai seorang putera yang baru berusia dua tahun, dan aku mengharap kelak kau dapat mendidiknya dalam ilmu sastera.”
Makin terharulah hati Kwee Siong. Ia maklum bahwa ucapan ini hanya merupakan hiburan saja, agar ia tidak merasa berhutang budi pula. Mana ada seorang ayah yang telah mencarikan guru sastera untuk seorang puteranya yang baru berusia dua tahun? Akan tetapi ia menjawab juga dengan sepenuh hati,
“Tentu saja, Liem-ciangkun, aku bersedia mendidik puteramu itu.”
Demikianlah, kedua orang itu bercakap-cakap sampai jauh malam dan makin lama mereka merasa makin cocok satu kepada yang lain. Biarpun yang seorang ahli sastra, dan orang kedua ahli silat, namun jiwa dan watak mereka tak jauh berbeda. Mereka menjunjung tinggi keadilan, kebajikan, dan kegagahan dalam cara masing-masing. Dengan suara mengharukan, Kwee Siong menuturkan riwayatnya. Ia telah setahun lebih berada di tempat itu, bekerja sebagai pekerja kasar, meninggalkan isterinya yang kini entah bagaimana nasibnya.
Mendengar penuturan ini, Liem Siang Hong merasa marah sekali. Ia mengepal-ngepal tinjunya dan berkata, “Sayang sekali kau tidak kenal siapa adanya komandan pasukan pengumpul tenaga pekerja itu, kalau kau tahu, tentu aku akan mencarinya dan memukul pecah kepalanya.”
Kemudian ia menarik napas panjang. “Akan tetapi, sesungguhnya hal semacam ini telah lama kudengar, dan aku merasa amat menyesal. Memang banyak sekali orang-orang jahat mempergunakan kesempatan, baik untuk memeras rakyat dan memperkaya diri sendiri, bagaikan anjing-anjing rendah yang memuaskan mulutnya dengan daging manusia yang gugur berserakan di dalam peperangan. Jangan khawatir, saudaraku, aku akan mencari isterimu itu agar kau dapat bertemu kembali dengan dia.”
Saking terharu dan girangnya, Kwee Siong lalu menubruk dan memeluk Liem Siang Hong sambil mengalirkan air matanya. Entah mengapa, hati Liem Siang Hong yang tadinya keras itu kini menjadi luluh dan ia merasa amat suka dan kasihan kepada orang muda yang tampan ini.
Bahkan, mereka lalu menanyakan usia masing-masing dan mengangkat saudara pada malam hari itu juga. Liem Siang Hong ternyata lebih tua empat tahun sehingga Kwee Siong lalu menyebutnya Liem-twako dan Liem Siang Hong menyebutnya Kwee-te (adik Kwee). Atas usaha Liem Siang Hong, diselidikilah leadaan isteri Kwee Siong di dusun Tai-kun-an, akan tetapi alangkah sedih dan terkejutlah hati Kwee Siong ketika ia mendengar berita bahwa isterinya, yakni Sui Giok, dikabarkan telah tewas di dalam hutan bersama dengan para serdadu, menjadi korban Toat-beng Mo-li yang marah dari dalam hutan yang menyeramkan itu.
Kwee Siong roboh pingsan ketika mendengar berita ini dan setelah ia siuman kembali, ia dihibur oleh Liem Siang Hong.
“Adikku, percayalah, aku sendiri merasa amat berduka karena adanya berita ini. Setelah aku tahu bahwa isterimu adalah seorang she Liem juga, maka makin eratlah perasaan hatiku terhadapmu. Anggaplah saja aku sebagai kakak isterimu sendiri, dan jangan kau terlalu berduka sehingga membahayakan kesehatan tubuhmu. Sekarang lebih baik kau turut kepadaku saja dan tinggal bersamaku di kota Tai-goan.”
Sambil terisak-isak Kwee Siong berkata, “Tidak, Liem-twako, aku sudah terlampau banyak berhutang budi kepadamu. Aku tidak dapat mengganggumu lagi dengan menumpangkan diriku yang amat sial dan selalu dirundung malang ini. Biarlah aku pergi merantau, entah ke mana saja, karena akhirnya aku toh akan mati juga. Lebih cepat lebih baik, karena hanya kematian saja yang akan membawa aku kepada isteriku. ”
Tiba-tiba Liem Siang Hong berseru keras. “Apakah kau ingin menjadi seorang yang Bong-im- pwe-gi (manusia tak kenal budi)??”
Biarpun ia sedang menangis sedih, mendengar tuduhan ini Kwee Siong mengangkat mukanya dan memandang wajah kakak angkatnya itu dengan heran dan penasaran.
“Kau sudah berkali-kali menyatakan berhutang budi kepadaku dan hendak membayar budi itu dengan mendidik puteraku, mengapa sekarang ikut tinggal di rumahku saja kau tidak mau?”
Biarpun ucapan Liem Siang Hong ini seperti orang marah dan terdengar kasar, akan tetapi Kwee Siong maklum sedalam-dalamnya bahwa itu adalah akal yang dipergunakan oleh perwira itu untuk menolongnya dan memaksanya tinggal di rumahnya.
Makin terharulah hatinya dan tangisnya makin menjadi, sehingga ia tidak dapat mengeluarkan kata-kata lain dan hanya menutupi mukanya dengan kedua tangan. Akhirnya dapat juga Kwee Siong berkata.
“Thian Yang Maha Kuasa tahu betapa besar rasa terima kasihku kepadamu, Liem-twako, dan biarlah aku bersumpah bahwa semenjak saat ini, aku Kwee Siong akan selalu menurut segala kata-katamu.”
Diam-diam Liem Siang Hong tersenyum puas dan demikianlah, perwira muda yang baik hati ini membawa Kwee Siong ke rumahnya, sebuah rumah gedung di kota Tai-goan, kota terbesar di propinsi Shansi.
Dalam usahanya untuk membahagiakan Kwee Siong dan membangun kembali rumah tangga yang telah roboh serta menghibur hatinya daripada kedukaan karena kematian isterinya yang tercinta, Liem Siang Hong diam-diam lalu menghubungi sahabat-sahabatnya yang bekerja dekat dengan kaisar. Ia memperlihatkan sajak buatan Kwee Siong dulu itu dan semua orang bangsawan yang membaca sajak itu, menjadi kagum sekali. Akhirnya, beberapa bulan kemudian, berhasillah Liem-ciangkun untuk menghaturkan sajak itu kehadapan Kaisar, setelah ia menghubungi pembesar-pembesar tinggi di kota raja.
Kaisar amat suka membaca sajak itu, bukan karena di dalamnya terdapat pujian untuk kaisar, akan tetapi karena sajak ini dapat dipergunakan untuk membangkitkan semangat rakyat dan untuk menggembirakan para pekerja yang tenaganya amat dibutuhkan. Sajak itu lalu dibuat banyak sekali untuk ditempel-tempelkan di tempat kerja yang sedang dilakukan seperti pada tembok-tembok besar yang sedang dibangun kembali, di saluran besar, di tempat pembuatan kapal dan lain-lain.
Alangkah heran dan kagetnya hati Kwee Siong ketika pada suatu hari, Liem Siang Hong masuk ke dalam kamarnya sambil berjingkrak-jingkrak kegirangan seperti seorang anak kecil mendapat hadiah yang amat menyenangkan. Kwee Siong hanya memandang dengan mulut celangap dan mata melongo. Gilakah kakak angkatnya ini?
“Adikku yang baik, kionghi, kionghi (selamat, selamat)!” kata perwira muda itu dengan wajah girang sekali.
“Eh, eh, kau ini kenapakah, Liem-twako?” tanya Kwee Siong sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Aku? Bukan aku, akan tetapi kaulah yang kenapa-kenapa. Kau telah menjadi pembesar negeri, adik Kwee. Kau diangkat oleh kaisar menjadi kepala kantor cabang di kota ini, kepala kantor urusan pengumpulan tenaga pekerja pembangunan.”
Bukan main kaget dan herannya hati Kwee Siong mendengar ucapan ini. “Eh, Liem-twako, harap kau jangan main-main!”
“Siapa main-main? Hayo, kau buktikanlah sendiri!” Sambil berkata demikian, Liem-ciangkun lalu memegang tangan Kwee Siong dan ditariknya Kwee Siong keluar dari kamar, menuju ke ruang depan.
Ketika melihat bahwa di dalam ruang tamu itu duduk seorang pembesar yang membawa lengki (bendera tanda pesuruh kaisar), Kwee Siong merasa bulu tengkuknya berdiri dan cepat ia bersama Liem Siang Hong menjatuhkan diri berlutut. Berhadapan dengan seorang pembesar pembawa lengki, sama halnya dengan berhadapan dengan kaisar sendiri, oleh karena pesuruh itu merupakan wakil kaisar. Dengan suaranya yang parau, pesuruh tua itu lalu membacakan firman kaisar tentang pengangkatan Kwee Siong itu.
Liem Siang Hong menjamu pembesar pesuruh itu, lalu memberi bekal banyak barang berharga sambil mengantarkan orang itu keluar untuk pulang ke kota raja. Dan semenjak saat itu, Kwee Siong telah menjadi pembesar. Pakaian kebesaran dan cap kebesaran telah berada di atas meja dalam kamarnya.
******* Kwee Siong mendapatkan kembali kegembiraan hidupnya setelah ia diangkat menjadi kepala bagian pengumpulan tenaga rakyat, dan menjadi pembesar di kota Tai-goan. Semenjak dia yang memegang jabatan itu, banyak terjadi perobahan.
Ia melarang keras menggunakan tenaga rakyat secara paksa dan serampangan saja. Ia mengharuskan para serdadu memilih orang-orang muda yang kuat, mengerjakan orang-orang tua dan orang-orang lemah di bagian yang ringan. Ia seringkali mengadakan gerakan mengumpulkan sumbangan dari para hartawan dan dermawan, dan sumbangan ini dipergunakan untuk menghibur para pekerja.