Wanita Iblis Pencabut Nyawa Chapter 16

NIC

“Salah, salah, kalian telah berlaku semberono sekali, menuruti hati dan perasaan. Sudah berkali-kali kukatakan bahwa untuk mengurus sesuatu, pergunakanlah otak dan jangan terlalu menuruti kata hati.

Betapapun marah dan tersinggungnya hati seseorang, apabila ia masih dapat mempergunakan otaknya secara dingin dan sehat, ia akan menang juga akhirnya dalam sesuatu perselisihan, dan takkan sampai perselisihan itu menjadi pertempuran. Kalian ini mudah sekali menurunkan tangan, apakah kau kira bahwa ilmu silat kita ini yang tertinggi di dunia?”

Sampai di sini Liang Gi Cinjin menarik napas panjang dan para pendeta yang menjadi muridnya dan yang duduk dihadapannya, tak berani bergerak sedikitpun, hanya menundukkan kepala. “Kalian keliru kalau mengira bahwa Pek-sim-kiam-hoat adalah ilmu pedang yang nomor satu di dunia. Apakah yang tertinggi di dunia ini? Di antara gunung-gunung yang menjulang tinggi, masih ada gunung Thai-san yang paling tinggi. Akan tetapi, di atas gunung Thai-san masih ada langit, dan di atas langit yang nampak oleh mata masih ada ruang lain yang tak terlihat oleh kita. Di antara sungai yang dalam, masih ada lautan yang paling dalam. Akan tetapi, di bawah lautan ini masih ada dasarnya dan di dalam dasar itu masih ada pula isinya yang lebhi dalam. Nah jangan sekali-kali kalian mengagulkan kepandaian sendiri, karena sesungguhnya kepandaian itu tiada batasnya. Mulai sekarang harap kalian berlaku hati-hati, jangan sekali-kali menyerang orang apabila tidak diserang. Boleh kita mempergunakan kepandaian hanya untuk menjaga diri, bukan untuk menyerang orang lain!”

Demikianlah, kakek sakti ini telah memberi banyak nasehat kepada murid-muridnya dan ia merasa amat menyesal bahwa murid-muridnya telah menanam bibit permusuhan dengan wanita-wanita yang mereka sebut Toat-beng Mo-li atau Cialing Mo-li.

******

Telah lama sekali, semenjak pada permulaan cerita ini, kita tidak mengetahui bagaimana dengan nasib Kwee Siong, suami dari Liem Sui Giok. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Kwee Siong telah ditangkap oleh Cong Hwat, komandan pasukan pengumpul tenaga rakyat dan langsung dikirim ke utara untuk dipaksa menjadi pekerja dalam usaha besar, yakni memperbaiki dan memperkuat tembok besar di tapal batas Tiongkok Utara.

Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan Kwee Siong dalam pekerjaan kasar ini. Ia diharuskan membantu para pekerja dan termasuk dalam rombongan kuli kasar, mengangkut batu-batu, menggunakan pemukul besi memecah batu-batu besar, dan lain-lain pekerjaan kasar lagi.

Kwee Siong adalah seorang pelajar, selama hidupnya semenjak kecil yang dipegangnya hanyalah buku-buku dan pit (alat tulis), sehingga tubuhnya lemah dan tenaganya tidak besar, bagaimana ia dapat melakukan pekerjaan ini dengan baik. Telapak tangannya yang berkulit halus dan tipis itu telah pecah-pecah, seluruh urat tubuhnya terasa sakit-sakit.

Penderitaan ini masih ditambah lagi dengan adanya mandor-mandor yang berupa serdadu- serdadu yang kejam sekali. Sedikit saja pekerja-pekerja “patriot” ini melakukan kesalahan atau nampak malas, ujung cambuk akan membuatnya menari-nari kesakitan. Darah akan mengucur dari luka-luka cambukan di punggung mereka.

Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, Kwee Siong menjadi biasa, tenaganya timbul dan ia tidak merasa terlalu menderita lagi. Hanya apabila ia teringat kepada isterinya, diam-diam ia mengucurkan airmata yang turun mengalir melalui sepanjang pipinya untuk bercampur dengan peluhnya yang membasahi seluruh tubuhnya.

Kwee Siong adalah seorang yang beriman teguh, tidak mudah putus asa, tidak mudah menyerah kepada nasib. Sebagai seorang pelajar dan orang yang berdarah seni, di dalam kepahitan penderitaan hidup ini, jiwanya mencari-cari sesuatu yang indah. Kehausan jiwanya akan keindahan membuat ia dapat pula melihat dan mendapatkan keindahan dalam pekerjaan itu. Ia melihat betapa hebatnya tenaga manusia dalam pekerjaan ini. Mau tak mau, lepas daripada persoalan paksa atau tidak, diam-diam ia memuji kaisar yang telah sanggup melakukan pekerjaan besar ini. Kagum ia menyaksikan tembok besar itu dan hatinya memuji kebesaran para kaisar yang dahulu membuat bangunan ini.

Untuk apakah tembok besar yang amat panjang itu dibangun oleh jutaan tangan manusia, sehingga pekerjaan besar itu telah mengorbankan ribuan, bahkan laksaan jiwa manusia? Untuk kepentingan kaisar yang memerintahkan pembangunan ini? Mungkin sebagian kecil saja, untuk melindungi kaisar.

Akan tetapi kaisar telah meninggal dunia dan tembok besar itu masih tetap berdiri kokoh kuat. Kwee Siong adalah seorang yang berjiwa patriot, ia keturunan dari orang-orang penting, di antaranya keturunan dari Kwee Lo Seng yang terkenal sekali karena kesetiaannya kepada negara, seorang pembesar tinggi yang mengorbankan nyawa demi kepentingan negara ketika terjadi pemberontakan puluhan tahun yang lalu.

Dalam pandangan Kwee Siong, betapapun juga, pembangunan tembok besar itu adalah suatu usaha untuk tanah air dan bangsa. Tidak hanya istana kaisar yang terlindung karena adanya tembok besar ini, tidak hanya rumah-rumah gedung para hartawan atau bangsawan, akan tetapi juga keselamatan rakyat jelata terlindung. Dengan adanya tembok besar ini maka pihak asing di daerah utara tidak mudah menyerbu masuk, tidak mudah menyerang Tiongkok.

Karena pikiran ini, tergeraklah hati Kwee Siong untuk menulis sajak mengenai tembok besar itu. Dan karena setiap hari ia melihat kawan-kawan sekerjanya tewas dalam pekerjaan itu, baik karena kelelahan, karena sakit, karena siksaan mandor-mandor atau hal-hal lain maka tentu saja ia tidak lupa untuk memasukkan mereka ini ke dalam sajaknya, bahkan kawan- kawannya yang sudah gugur inilah yang menjadi pokok utama dalam sajaknya.

Tembok besar, laksaan li panjangnya Megah, kokoh kuat, agung dan jaya Usaha besar Kaisar nan Mulia!

Lambang kekuatan Negara dan Bangsa! Kawan-kawan, kau yang tewas dalam usaha Pengorbananmu takkan sia-sia

Kaulah sebuah di antara jutaan batu Kecil bentuknya namun besar jasanya

Di dalam tembok kau lenyap tak nampak oleh mata, Namamu tak pernah disebut-sebut, orang telah lupa, Namun tembok ini menjadi saksi utama

Bahwa kaulah yang berjasa!

Seorang serdadu penjaga ketika menemukan tulisan ini di dalam saku bajunya, menjadi marah sekali dan hampir saja Kwee Siong disiksa sampai mati. Ia dipukul, ditendang dan dicambuki oleh serdadu itu.

Sesungguhnya, serdadu itu adalah seorang setengah buta huruf yang tidak mengerti betul akan arti sajak itu, dan disangkanya bahwa Kwee Siong hendak “memberontak”, sebuah istilah yang sudah populer sekali di waktu itu untuk mencelakakan seseorang yang agak membangkang. Pada masa itu, jangankan memperlihatkan sikap menentang pembangunan atau politik pemerintahan, baru menyatakan pendapat sejujurnya dan berdasarkan kenyataan saja, apabila pernyataan yang berdasarkan kenyataan itu merugikan nama pemerintahan, ia akan dicap “pemberontak” dan masih baik kalau dia sendiri yang masuk penjara atau dipenggal lehernya. Banyak para “pemberontak” seperti ini menerima hukuman mengerikan, yakni seluruh keluarganya, sampai pada bayi-bayinya sekalipun, dijatuhi hukuman mati.

Untung saja bagi Kwee Siong bahwa pada saat ia dihujani cambukan, seorang perwira datang melakukan pemeriksaan. Perwira itu segera bertanya mengapa Kwee Siong dihukum.

Biasanya perwira ini tidak memperdulikan pekerja-pekerja yang mendapat siksaan karena ia merasa pasti bahwa pekerja-pekerja yang dihukum itu tentu melakukan pelanggaran.

Tidak jarang ada pekerja yang mencuri, berkelahi dengan kawan-kawannya, memukul yang lemah, tidak mentaati perintah dan lain-lain. Akan tetapi melihat wajah Kwee Siong yang tampan, dan melihat betapa Kwee Siong bergulingan di atas tanah tanpa mau mengeluh sedikitpun juga itu, timbul rasa kasihan dalam hati perwira ini.

Serdadu itu dengan bangga lalu mengeluarkan surat bersajak yang dirampasnya dari saku baju Kwee Siong dan memperlihatkannya kepada perwira itu. Setelah membaca sajak itu berkali- kali, perwira ini lalu menghampiri serdadu itu dengan muka marah, kemudian ia bertanya,

“Mengapa kau pukul dia?”

“Karena dialah penulis sajak gila ini!” jawab serdadu itu.

Tiba-tiba perwira itu memberikan surat bersajak itu kepada serdadu ini sambil bertanya lagi, “Kau pandai membaca?”

Untuk memamerkan kepandaiannya, serdadu itu menjawab sambil menyeringai, “Tentu saja dapat, ciangkun!”

“Nah, coba kaubacakan sajak ini untukku!”

Wajah serdadu ini menjadi pucat. Tak disangka-sangkanya sama sekali bahwa ia disuruh membaca sajak itu. Ia memandang kepada kertas itu dengan mata terbelalak dan mukanya sebentar pucat sebentar merah.

“Hayo, bacalah !” teriak perwira tadi sambil memandang tajam.

Terpaksalah serdadu itu membacanya, akan tetapi yang terbaca hanya beberapa huruf saja, yang lain dilewati saja karena memang tidak dikenal. Sedikit huruf yang dapat dibacanya itupun dikeluarkan dengan susah payah, dan banyak yang keliru dibacanya.

“Bangsat, kaulah yang gila, bukan orang lain!” Sambil berkata demikian, perwira itu mengayun kepalan tangannya.

“Buk!” Dada serdadu itu terkena pukulan keras sekali karena perwira ini adalah seorang ahli gwakang, sehingga tubuh serdadu itu terlempar jauh dan jatuh bergulingan dalam keadaan pingsan. Sementara itu, ketika memukul tadi, perwira ini telah merampas kembali kertas bersajak itu, kemudian ia lalu memberi perintah kepada para serdadu lainnya untuk mengangkut tubuh Kwee Siong yang sudah setengah mati.

Ketika sadar dari pingsannya, Kwee Siong mendapatkan dirinya berada di atas pembaringan di dalam kamar perwira tadi dan telah dirawat oleh ahli pengobatan yang ada di dalam markas. Perwira muda itu duduk di situ dan segera menegurnya dengan manis ketika melihat Kwee Siong siuman.

“Saudara yang baik, bagaimana kau yang demikian terpelajar sampai berada di tempat seperti itu?”

Kwee Siong terheran dan merasa seakan-akan sedang mimpi. Sudah matikah dia disiksa oleh serdadu-serdadu tadi? Sampai lama ia tidak menjawab, hanya memandang wajah perwira yang tidak dikenalnya itu, wajah yang tampan dan gagah sekali.

“Aku bernama Liem Siang Hong,” perwira muda itu memperkenalkan diri. “Ketika tadi melihat kau disiksa oleh serdadu gila itu, aku lalu mencegahnya dan membawamu ke tempat ini.”

Kwee Siong menghela napas panjang. Tubuhnya masih terasa sakit-sakit namun ia memaksakan diri bangkit dan duduk di atas pembaringan itu.

Posting Komentar