Halo!

Wanita Iblis Pencabut Nyawa Chapter 15

Memuat...

Sementara itu, Ling Ling dapat membereskan kuda-kudanya kembali dan tertawalah gadis itu dengan suara ketawanya yang merdu dan nyaring. “Hm, serangan semacam itu, di tempat ini hanya dapat dilakukan oleh ekor buaya sungai Cialing!”

Ucapan ini sesungguhnya tidak disengaja oleh Ling Ling dan hanya diucapkan untuk menghina dan menyindir lawannya, karena memang gerakan tangan kiri Pek Yang Ji yang memukul tadi seperti gerakan ekor buaya.. Akan tetapi Pek Yang Ji yang mendengar ucapan ini, menjadi pucat sekali.

Tak disangka-sangkanya bahwa gadis itu telah dapat menebak sumber ilmu pukulannya itu. Memang sesungguhnya, ilmu pukulan Tai-lek-Kim-Kong-Jiu yang dimiliki ini bersumber dari gerakan ekor buaya apabila sedang memukul ke depan.

Oleh karena itu, ketika ia hendak memukul tadi, ia merendahkan tubuh dan mengayun lengannya dari belakang ke muka, memperlipat ganda tenaga lweekang dalam pukulan itu ketika diayunkan. Ucapan gadis itu membuat ia berpikir bahwa gadis ini tentu berkepandaian tinggi sekali sehingga dapat melihat dasar ilmu pukulannya.

Adapun Pek Tek Ji ketika melihat betapa pukulan suhengnya tidak saja tidak berhasil bahkan suhengnya terhuyung mundur lebih jauh daripada lawannya, maklum bahwa suhengnya takkan dapat menang. Maka tanpa berkata sesuatu lagi ia menyerbu dengan pedangnya.

Ling Ling menyambutnya dengan tangkisan keras dan serangan balasan yang membuat Pek Tek Ji terpaksa bergerak sambil mundur. Baru segebrakan saja pendeta yang tadinya memandang rendah ini telah terdesak hebat dan berada dalam keadaan berbahaya.

Untung baginya, Pek Yang Ji telah melompat maju kembali dan menahan desakan Ling Ling. Gadis ini benar-benar gagah dan tabah sekali, biarpun dikeroyok dua, ia masih berhasil mendesak lawannya dengan permainan pedang yang selain indah, juga amat membingungkan kedua lawannya. Biarpun Pek yang Ji mempunyai keahlian dalam pukulan Tai-lek Kim-kong-jiu, dan Pek Tek Ji memiliki ilmu totok Im-yang-tiam-hoat, namun kedua orang pendeta ini sama sekali tidak diberi kesempatan untuk mempergunakan kepandaian mereka.

Adapun Sui Giok, biarpun ilmu pedangnya masih kalah jauh apabila dibandingkan dengan puterinya, namun gerakannya cukup gesit dan gulungan sinar pedangnya cukup lebar dan kuat sehingga perlahan akan tetapi pasti, Pek Thian Ji mulai terdesak seperti keadaan kedua saudaranya, merasa penasaran sekali. Dia yang telah mendapat julukan Bu-eng-cu (Tanpa Bayangan) dan memiliki ginkang yang sempurna, ternyata kini menemukan tandingan yang setimpal.

Dalam hal ginkang, nyonya cantik ini ternyata tidak berada di sebelah bawah tingkatnya. Tentang ilmu pedang, diam-diam Pek Thian Ji harus mengaku bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh nyonya ini benar-benar belum pernah disaksikan seumur hidupnya dan jauh lebih kuat dan ganas daripada ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat yang dimainkannya.

Sepuluh orang pendeta tingkat dua yang tadinya dilarang oleh Pek Yang Ji untuk membantu, dan tinggal berdiri menonton saja, menjadi amat gelisah. Mereka ini memiliki ilmu kepandaian yang hanya kalah sedikit saja oleh ketiga kawan mereka, paling banyak hanya kalah dua puluh bagian, maka mereka dapat melihat betapa ketiga orang pendeta tingkat satu itu terdesak hebat dan terancam jiwanya.

Sesungguhnya, biarpun tadi Pek Yang Ji melarang kawan-kawan dari tingkat dua ini maju membantu, kini ia merasa gelisah juga. Pendeta-pendeta kelas satu dari Pek-sim-kauw ini sama sekali tidak takut terluka atau terbunuh dalam pertempuran ini. Yang paling mereka takutkan hanyalah kejatuhan nama mereka.

Alangkah akan merosotnya keagungan nama Pek-sim-kauw apabila orang-orang kang-ouw mendengar bahwa tiga orang tokoh Pek-sim-kauw yang tertinggi kedudukannya, harus menyerah kalah terhadap dua orang wanita, bahkan yang seorang di antaranya masih merupakan gadis kecil. Satu hal yang amat merendahkan nama dan memalukan sekali.

Oleh karena itulah, maka ketika sepuluh orang pendeta kelas dua itu serentak maju menyerang dan membantu, mereka tidak mengeluarkan suara sesuatu. Bahkan Pek Yang Ji sendiri tidak melarang, sebaliknya menarik napas lega karena ia percaya bahwa dapat mengalahkan dua orang siluman wanita ini.

Memang amat berat bagi Ling Ling dan Sui Giok. Menghadapi tiga orang pendeta tingkat satu itu saja sudah merupakan lawan yang harus dihadapi dengan hati-hati, apalagi setelah sepuluh orang pendeta tingkat dua itu maju mengeroyok. Pedang para pendeta itu berkelebat-kelebat menyambar bagaikan hujan lebat dan terpaksa Sui Giok dan Ling Ling memutar pedang mereka untuk melindungi tubuh. Mereka kini terdesak dan sama sekali tidak mendapat kesempatan membalas serangan para pendeta itu.

“Jangan bunuh mereka, tangkap !” Pek Yang Ji masih sempat berseru memperingatkan kawan-kawannya. Memang dia tidak ingin melihat kedua orang wanita itu sampai terbunuh, hanya ingin menangkap mereka dan menyeret mereka di depan suhunya untuk menanti keputusan. Akan tetapi, hal ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan, karena menangkap dua orang wanita ini lebih sukar daripada menangkap dua ekor naga sakti. Agaknya hanya dengan kepala terpisah dari tubuh atau dengan pedang menancap di dada saja kedua orang wanita gagah ini akan menyerah.

Setelah pihaknya lebih kuat dan mendesak, Pek Tek Ji mendapat kesempatan untuk mengeluarkan kepandaiannya, yakni Im-yang-tiam-hoat, juga Pek Yang ji berusaha untuk memukul dengan Tai-lek Kim-kong-jiu untuk menghantam tangan lawan agar pedang mereka terlepas. Repot juga Ling Ling dan Sui Giok menjaga diri, terutama sekali Sui Giok yang memang kalah jauh dari puterinya.

Pada saat yang baik, Pek Tek Ji berhasil mengirim serangan secara gelap, yakni dari belakang Sui Giok. Ia menotok punggung nyonya itu dan dengan tepat jari tengah dan telunjuknyamenjepit urat dan menotok jalan darah thian-hu-hiat. Sui Giok tak dapat mengelak dan sambil mengeluh nyonya ini melepaskan pedangnya dan roboh dengan tubuhnya lemas, sama sekali tak berdaya lagi.

Bukan main terkejutnya dan marahnya hati Ling Ling melihat betapa ibunya telah dirobohkan.

“Pengecut!” serunya marah dan ia cepat mempergunakan tangan kirinya untuk menepuk pundak ibunya yang menggeletak di atas tanah. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia tidak berhasil memunahkan totokan itu.

Ibunya tetap berbaring lemas dan totokan itu tidak dapat dibebaskan. Padahal Ling Ling sudah mempelajari ilmu tiam-hoat cukup sempurna dan agaknya amat mustahil bahwa ia tidak dapat membebaskan seseorang dari pada pengaruh totokan.

Terdengar Pek Te Ji tertawa mengejek melihat usaha Ling Ling yang tidak berhasil ini. Tahulah Ling Ling bahwa pendeta itu memiliki kepandaian istimewa dalam ilmu tiam-hoat, maka selain pendeta itu, agaknya sukarlah untuk membebaskan ibunya.

Ia berseru keras dan nyaring sekali dan belum juga habis suara ketawa Pek Te Ji, tahu-tahu ia telah kena dicengkeram pundaknya oleh tangan kiri Ling Ling. Gerakan ini luar biasa cepatnya sehingga dua belas orang pendeta yang lain tidak menyangka-nyangkanya dan tidak dapat menolong Pek Te Ji.

Ling Ling telah mempergunakan sejurus ilmu silat Kim-gan-liong Ciang-hoat yang lihai untuk menangkap Pek Te Ji dalam saat orang-orang menertawakannya dan sebelum semua pendeta sadar. Kini Pek Te Ji telah dicengkeram pundaknya dengan tangan kiri dan pedang di tangan kanan Ling Ling sudah menempel pada lehernya.

“Mundur semua!” teriak gadis gagah perkasa ini. “Kalau tidak, kepala pendeta palsu ini akan menggelinding di kaki kalian!”

Melihat hal ini, bukan main kagetnya Pek Yang Ji. Ia maklum bahwa gadis seperti lawannya ini tidak akan bicara main-main dan akan sanggup membuktikan ancamannya, maka ia cepat berseru,

“Kawan-kawan, mundur semua!” Ling Ling lalu berkata kepada pendeta yang telah berada di dalam cengkeramannya itu. “Lekas kau bebaskan ibuku dari totokanmu kalau kau ingin hidup terus!”

Pek Yang Ji berkata kepada Ling Ling. “Nona, apakah kami dapat mempercayai omonganmu? Kalau ibumu telah dibebaskan suteku itu?”

Ling Ling memandang dengan mata melotot. “Kau kira aku ini orang macam kalian? Sekali aku berjanji, aku takkan melanggarnya. Kalau ibuku sudah bebas, kami berdua akan pergi dari sini, dan tunggulah, paling lama setahun aku akan mencari suhumu yang bernama Liang Gi Cinjin untuk membuat perhitungan!”

Pek Yang Ji lalu berkata kepada sutenya itu, “Ngo-sute, lakukanlah seperti apa yang dimintanya. Tak perlu kita melanjutkan pertempuran yang berbahaya ini. Kalau dilanjutkan, tentu akan jatuh korban di kedua pihak.”

Pek Te Ji lalu dilepaskan oleh Ling Ling dan dengan beberapa kali totokan dan urutan, Sui Giok dapat dibebaskan. Nyonya ini mengambil kembali pedangnya dan tanpa banyak cakap lagi ibu dan anak ini lalu meninggalkan tempat itu setelah mengambil buntalan masing- masing dari dalam goa.

Di dalam bungkusan keduanya terdapat penuh batu mutiara yang amat berharga, yang sengaja mereka kumpulkan untuk bekal. Para pendeta memandang bayangan mereka sampai lenyap dari situ. Kemudian mereka lalu bersembahyang di depan makam ketiga pendeta Pek-sim- kauw yang telah menjadi korban di tangan Toat-beng Mo-li atau Cialing Mo-li.

“Sungguh lihai dan berbahaya!” Pek Yang Ji berkata sambil menghela napas dan

menggeleng-gelengkan kepalanya. “Entah setan mana yang telah memberi pelajaran ilmu silat kepada mereka. Akan tetapi harus diakui bahwa ilmu pedang mereka tidak kalah hebatnya dengan ilmu pedang kita.”

Maka pulanglah para pendeta itu beramai ke tempat masing-masing, dan ketika Liang Gi Cinjin pulang dari perantauannya lalu mendengar peristiwa ini, kakek sakti ini mengerutkan kening dan menggeleng kepalanya yang sudah penuh dengan rambut putih seperti benang perak.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment