Apakah Toanio dan siocia ini yang disebut Toat-beng Mo-li dan Cialing Mo-li?”
Marahlah hati Ling Ling mendengar pertanyaan ini. Ia melangkah maju dan menuding dengan jarinya yang runcing dan kecil sambil membentak, “Kalau kami betul-betul siluman-siluman pencabut nyawa dan siluman sungai Cialing, kalian mau apakah? Jangan banyak cakap dan pergilah, kami tak ingin diganggu!”
Pek Yang Ji adalah pendeta yang paling sabar di antara mereka, karena yang lain-lain sudah menjadi merah mukanya karena marah melihat dua orang wanita yang telah membunuh kawan-kawan mereka dan yang bersikap kasar ini. Bahkan Pek Yang Ji sendiri ketika melihat betapa sikap kedua orang wanita itu benar-benar sikap bermusuh dan menghina sekali, mulai berkurang senyumnya.
“Hm, jiwi agaknya tidak dapat menerima penghormatan kami. Baiklah, kami datang hanya untuk bertanya tentang kawan-kawan kami yang datang di sini tujuh hari yang lalu. Mereka itu adalah anggauta-anggauta Pek-sim-kauw, dimanakah adanya mereka sekarang?”
Sui Giok menggerakkan lengan tangannya, menunjuk ke arah kiri di mana terdapat gundukan tanah tiga gunduk sambil berkata,
“Jadi tiga orang penjahat berkedok pendeta yang datang mengacau tempat tinggal kami itu adalah kawan-kawan cuwi? Mereka sudah mati, kematian yang sudah sepatutnya dan yang mereka cari sendiri.”
Semua pendeta memandang dengan mata marah, akan tetapi Pek Yang Ji masih berlaku tenang, “Toanio, ketahuilah bahwa kami pendeta-pendeta Pek-sim-kauw bukanlah pendeta- pendeta jahat dan palsu. Perkumpulan agama kami mengutuk perbuatan-perbuatan jahat dan musuh-musuh kami hanyalah orang-orang jahat dan suka mengganggu orang lain!”
“Omong kosong!” Tiba-tiba Ling Ling membentak keras. “Kalau pendeta baik-baik mengapa datang mengganggu kami, bahkan telah membunuh nenekku? Siapa dapat percaya omongan itu?”
“Nona, kau agaknya tidak ingat bahwa kalian berdua juga telah membunuh tiga orang pendeta Pek-sim-kauw!” kata Pek Yang Ji memperingatkan.
“Tentu saja! Siapa yang membunuh lebih dulu? Orang-orangmu membunuh nenekku, apakah aku harus diam saja?”
“Pihakmu hanya seorang yang tewas, sedangkan pihak kami tiga orang, maka kiranya tidak perlu nona masih marah dan merasa penasaran.”
“Enak saja kau bicara!” Ling Ling membentak lagi. “Kau kira nyawa nenekku cukup diganti oleh tiga orang pendeta palsu? Ketahuilah biar ditambah dengan tiga belas nyawa anjing kalian, aku masih belum puas!”
Melihat kemarahan puterinya, Sui Giok maju memegang tangan Ling Ling, berusaha menyabarkannya. Adapun pendeta-pendeta Pek-sim-kauw itu menjadi marah sekali mendengar ucapan Ling Ling ini dan di antaranya sudah ada yang mencabut pedangnya. Akan tetapi Pek Yang Ji mengangkat tangannya mencegah anak buahnya bergerak. Ia menjura kepada Sui Giok dan berkata,
“Toanio, agaknya nona ini amat keras hati, sesuai dengan kemudaannya, maka lebih baik pinto bicara denganmu. Seperti telah pinto katakan tadi, di dalam peristiwa ini, seorang dari pihakmu tewas dan tiga orang dari pihak kami meninggal. Memang dipandang dengan sepintas lalu, seakan-akan pihak kami yang bersalah karena telah berani masuk ke sini mengganggu kalian. Akan tetapi, kedatangan kami ini dengan maksud menanyakan tentang gangguanmu terhadap orang-orang yang bertempat tinggal di dusun Tai-kun-an. Saudara- saudara kami yang datang di sini bukan semata-mata mengganggu toanio kalau tidak bersalah dan kalau tidak berdasarkan menolong orang-orang yang kalian ganggu. Oleh karena itu, harap toanio sudi menjelaskan mengapa beberapa tahun yang lalu toanio telah membunuh orang, penduduk she Tan di dusun Tai-kun-an dan membunuh beberapa orang pengawalnya pula?”
Sui Giok menjadi merah mukanya ketika nama Tan-wangwe disebut-sebut. “Hal ini tak perlu orang lain mengetahuinya. Cukup kukatakan bahwa keparat she Tan itu sudah patut menerima hukumannnya!”
“Mengapa? Apa salahnya terhadap Toanio?” Pek Yang Ji mendesak.
“Totiang, kau sebagai seorang pendeta, mengapa mencampuri urusan pribadi orang lain?”
“Pembunuhan kejam bukanlah urusan pribadi lain. Kami pendeta-pendeta Pek-sim-kauw memang berkewajiban untuk membereskan urusan kejahatan dan pembunuhan adalah soal kejahatan besar,” jawab Pek Yang Ji tenang.
“Kalau kami menolak untuk memberi penjelasan?” kata Sui Giok.
“Terpaksa kami anggap bahwa kalian yang bersalah dalam pertikaian dengan kami ini.”
“Hm, kalau kalian sudah menganggap kami bersalah, lalu bagaimana?” Ling Ling mendahului ibunya.
“Terpaksa kalian berdua harus ikut dengan kami untuk berhadapan dengan ketua kami dan menanti keputusan beliau!”
“Siapakah ketua kalian itu?” Sui Giok yang sudah menjadi marah juga bertanya sambil memegang tangan anaknya agar gadis itu tidak berlaku lancang.
“Ketua kami atau suhu kami adalah Liang Gi Cinjin.” “Kalau kami tidak mau ikut?” tantang pula Sui Giok.
“Kami akan melakukan kekerasan!” akhirnya Pek Yang Ji menegaskan. Bagaikan mendapat komando, semua pendeta kini telah menghunuskan senjata masing- masing. Sui Giok dan Ling Ling saling pandang, kemudian mereka lalu melompat mundur kira-kira setombak dan telah mencabut pedang mereka. Sui Giok mencabut pedang yang dulu dirampasnya dari Tan-wangwe, sedangkan Ling Ling mencabut pedang yang dirampasnya dari pendeta Pek-sim-kauw itu.
“Bagus, hendak kami lihat bagaimana kalian akan menangkap kami dengan kekerasan!” seru Ling Ling sambil maju menerjang dengan pedangnya.
“Semua jangan bergerak, biarkan pinto dan kedua sute menghadapi mereka!” kata Pek Yang Ji yang mencegah anak buahnya melakukan pengeroyokan. Iapun lalu menghadapi serbuan Ling Ling dengan pedangnya.
“Trang!” Dua batang pedang beradu keras sekali dan diam-diam Pek Yang Ji merasa kagum dan terheran betapa gadis cantik yang masih amat muda itu telah memiliki tenaga lweekang yang amat hebat sehingga ketika tadi ia menangkis sambil mengerahkan tenaga, ternyata ia tidak mampu membuat pedang lawan terpental. Kekejutannya makin menjadi ketika Ling Ling melanjutkan serangannya dengan amat cepatnya dan dengan gerakan yang luar biasa sehingga pedang itu merupakan sinar yang menyambar bagaikan kilat.
Sementara itu, Sui Giok telah maju pula, disambut oleh Pek Thian Ji, orang keempat dari Pek- sim Ngo-lojin. Pertempuran berjalan amat serunya. Pertempuran antara Sui Giok dan Pek Thian Ji masih dapat dikatakan seimbang, sungguhpun pendeta ini merasa bingung juga menghadapi permainan pedang dari nyonya itu.
Akan tetapi Ling Ling dengan cepat mendesak hebat lawannya sehingga dalam dua puluh jurus saja, Pek Yang Ji terdesak tak dapat membalas serangan lawannya. Tidak saja pendeta ini merasa terkejut sekali, bahkan lain-lain pendeta juga memandang dengan mata terbelalak. Tak pernah mereka sangka sama sekali bahwa gadis itu memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada nyonya yang lihai itu, bahkan agaknya Pek Yang Ji tokoh ketiga dari Pek-sim Ngo-lojin yang lihai ini, takkan dapat menang.
Hal ini dimaklumi pula oleh Pek Yang Ji. Ia merasa penasaran dan juga malu. Masa dia, seorang tokoh besar yang jarang sekali menderita kekalahan dalam pertempuran, kini harus mengaku kalah terhadap seorang gadis yang belum ada dua puluh tahun usianya? Ia telah memandang dengan penuh perhatian untuk mengenal ilmu pedang lawannya, akan tetapi sungguhpun ilmu pedang gadis itu mirip dengan Kun-lun Kiam-hoat, namun banyak sekali perbedaannya.
Ilmu pedang itu amat luar biasa dan memiliki perobahan-perobahan gerakan yang aneh dan sulit diduga. Juga pedang di tangan gadis itu dapat melakukan gerakan-gerakan yang amat sukar dan seakan-akan tidak mungkin, seperti juga pedang itu telah menjadi hidup dan menjadi anggauta tubuh penyambung tangan.
“Sam-suheng, biar aku membantumu menangkap gadis liar ini!” Pek Te Ji yang semenjak tadi telah “gatal tangan”, menggerakkan pedangnya hendak mengeroyok.
“Jangan dulu, ngo-sute, biarlah aku menangkapnya sendiri!” kata Pek Yang Ji. Tosu ini merasa malu untuk melakukan pengeroyokan dan kini ia hendak mengeluarkan ilmu silatnya yang paling ampuh dan lihai, yakni pukulan Tai-lek-kim-kong-jiu. Ketika mendapat kesempatan baik setelah ia berhasil membentur pedang lawannya, ia lalu melangkah ke belakang cepat sekali sejauh tiga tindak, kemudian ia merendahkan tubuhnya, mengerahkan lweekangnya, lalu berseru keras. Lengan tangan kirinya diayun dari kiri menuju ke depan, mengirim pukulan Tai-lek-Kim-Kong-Jiu yang hebat itu.
Sebelum angin pukulan yang keras itu datang menyambar, Ling Ling yang berlaku waspada dapat menduga bahwa lawannya akan melakukan serangan dari jauh maka cepat gadis inipun menggerakkan tangan kiri dan begitu angin pukulan Tai-lek-Kim-Kong-Jiu menyambar dengan kerasnya, Ling Ling melakukan gerakan menyampok dari kiri. Dua tenaga raksasa bertemu sebelum kedua tangan itu bertemu dan akibatnya membuat kedua orang itu terhuyung mundur karena kembalinya tenaga pukulan sendiri.
Bukan main kaget dan herannya hati Pek Yang Ji. Bagaimanakah boca ini dapat menahan pukulannya Tai-lek-Kim-Kong-Jiu? Padahal, ia pernah mengalahkan banyak sekali tokoh- tokoh persilatan yang tinggi tingkat kepandaiannya. Tidak saja gadis cilik ini dapat menahan, bahkan dapat pula membentur hawa pukulannya sedemikian rupa.