Tiga Dara Pendekar Siauw-lim Chapter 16

NIC

“Enci Siang Lan!” bibirnya bergerak ketika teringat kepada encinya yang sulung ini. Ah, lebih baik ia mencari lagi Siang Lan, siapa tahu kali ini ia akan bertemu. Kalau saja di situ ada seorang di antara kedua kakaknya itu, tentu ia tak sebingung ini.

Sui Lan lalu lari lagi keluar dari hutan untuk mencari Siang Lan di bukit yang berada di sebelah utara hutan ini. Demikianlah, sehari itu ia lewatkan dengan mencari kedua encinya di sekitar tempat itu dengan hati bingung.

Sebetulnya ke manakah perginya Siang Lan? Oleh karena kini tiga dara itu telah terpisah, maka agar lebih jelas mari kita ikuti pengalaman mereka seorang demi seorang.

Sebagaimana telah diketahui, Siang Lan mengejar Thio Kim Cai, anak murid Go-bi-pai yang menjadi kepala perwira pasukan Kim-i-wi itu. Ia melarikan diri secepatnya untuk menghindarkan diri dari bahaya maut, akan tetapi Siang Lan tetap mengejarnya dengan sama cepatnya pula. Ilmu lari cepat perwira itu cukup tinggi, karena ia memiliki ilmu lari cepat dari Go-bi-pai, yakni ilmu lati Liok-tr-hui-teng (Lari Terbang di Atas Bumi). Oleh karena itu untuk beberapa lama ia berhasil menjauhkan diri dari Siang Lan yang tetapi mengejarnya. Biarpun dalam hal ilmu berlari cepat, Siang Lan tak kalah dengan perwira itu, akan tetapi karena Thio Kim Cai lebih kenal keadaan tempat itu, maka untuk beberapa lama Siang Lan belum dapat menyusul lawannya dan hendak mengejar dari belakang, sungguhpun jarak di antara mereka masih tetap tak berubah. Mereka berkejaran sampai ke bukit sebelah utara hutan itu. Thio-ciangkun merasa bingung sekali melihat betapa gadis yang mengejarnya itu tetap tak mau melepaskannya, sedangkan ia telah lelah. Kalau ia terus mendekati bukit di depan itu, tentu ia akan tersusul. Jalan satu-satunya hanya ke kiri di mana terdapat sebuah rawa yang amat lebar dan luas. Thio Kim Cai bergidik melihat rawa ini. Ia tahu bagaimana cara menyeberangi rawa ini, akan tetapi ia tahu pula bahwa di seberang rawa ini adalah sarang gerombolan penjahat yang amat berbahaya.

Akan tetapi tidak ada jalan lain baginya, maka tiba-tiba ia melompati sebuah jurang di sebelah kiri dan berlari terus menuju rawa yang lebar itu. Siang Lan tetap mengejar dengan hati keheranan. Mengapa musuhnya berlari menuju ke rawa?

Ketika tiba di pinggir rawa, tiba-tiba perwira muka hitam itu melompat ke tengah rawa dan berlari cepat sambil berlompatan. Hal ini sangat mengherankan hati Siang Lan yang masih mengejar di belakan. Apakah benar- benar orang Go-bi-pai itu dapat berjalan di atas air rawa? Ia cepat mengejar ke pinggir yawa dan ketika ia sampai di tepi rawa itu, ia tersenyum. Pantas saja orang yang dikejarnya dapat berlari di atas rawa, karena di situ terdapat bambu-bambu panjang yang mengapung di atas air rawa itu, sambung-sambung merupakan jembatan terapung-apung. Hanya orang yang memiliki gin-kang tinggi saja yang berani melintasi rawa dengan cara berjalan di atas bambu itu, dan orang yang gin-kangnya belum tinggi, tentu takkan berani berlari di atas jembatan aneh ini, karena selain bambu yang terkena air itu licin sekali, juga bambu yang hanya satu itu benar- benar tidak mudah digunakan sebagai jembatan. Sekali saja tergelincir, orangnya akan jatuh ke dalam air rawa yang berbahaya. Bambu yang hanya sebatang itu apabila diinjak, bisa bergoyang dan berputar ke sana ke mari.

Melihat betapa Thio Kim Cai dapat berlompatan dan berlari dia tas bambu itu, dapat diukur bagaimna lihainya murid Go-bi-pai itu. Akan tetapi Siang Lan tidak menjadi gentar menghadapi jembatan darurat itu. Ketika ia masih berada di bawah gemblengan gurunya, Toat-beng Sian-kouw Si Dewi Pencabut Nyawa, ia dan adik- adiknya mendapat latihan gin-kang yang luar biasa dan jauh lebih berbahaya dari pada bambu di atas air ini. Pernah suhunya melatihnya untuk menyeberangi jembatan yang terbuat dari ujung tombak yang runcing. Ia harus berlompat-lompatan di atas ujung tombak itu dan apabila ilmu gin-kangnya belum sempurna, tentu sepatunya akan tertusuk tembus oleh ujung tombak itu!

Siang Lan tak mau membuang waktu lagi dan segera melompat ke atas bambu, terus mengejar sambil berlompatan dan berlari cepat. Ketika tiba di tengah rawa yang airnya bercampur lumpur, ia melihat banyak sekali kepala binatang buas seperti buaya tersembul di kanan kirinya dengan mulut celangap dan gigi-gigi yang runcing dan tajam berkilauan! Ia bergidik juga dengan hati jijik karena kalau saja ia tergelincir dan jatuh ke dalam air rawa, tentu binatang ini akan memperebutkan dagingnya.

Ketika Thio Kim Cai melihat betapa gadis itu tetapi mengejarnya, ia menjadi makin sibuk. Ia maklum bahwa kalau ia melanjutkan perjalanannya, ia akan langsung memasuki daerah sarang penjahat yang dipimpin oleh Ang-hoa Siang-mo (Sepasang Iblis Bunga Merah) yang amat jahat dan terkenal sebagai penjahat iblis yang lihai sekali. Oleh karena itu Thio Kim Cai lalu mengambil keputusan nekat untuk mengadu nyawa dengan gadis Siauw-lim-pai itu.

Melihat Thio Kim Cai berdiri di seberang rawa dengan golok di tangan menanti kedatangannya, Siang Lan tertawa dan melompat keluar dari rawa itu ke depan musuhnya.

“Orang she Thio, akhirnya kau menyerah juga! Kau harus menerima pembalasan atas kejahatanmu dan atas pembunuhan terhadap diri Yap Sian Houw.”

Dengan marah Thio Kim Cai berkata, “Anak perempuan yang bandel, sebetulnya siapakah kau? Ada hubungan apakah kau dengan Yap Sian Houw si pemberontak?”

“Yap Sian Houw adalah orang tuaku!” jawab Siang Lan yang segera maju menyerang dengan pedangnya. Perwira muka hitam itu menangkis dengna goloknya dan mereka lalu bertempur mati-matian di pinggir rawa itu. Kali ini karena sudah kepepet dan tidak ada jalan keluar lagi, Thio Kim Cai mengerahkan seluruh kepandaiannya dan melakukan serangan yang amat berbahaya. Akan tetapi ia benar-benar harus mengakui keunggulan pedang Siang Lan. Terutama yang amat mengagumkan hati perwira itu adalah ketenangan gadis ini. Dengan amat tenang dan tetap ujung pedang gadis itu bergerak menangkis setiap gerakan dan membalas dengan desakan yang membuat perwira itu mulai main mundur. Belum cukup tiga puluh jurus mereka bertempur, Thio Kim Cai sudah mandi keringat, bukan hanya karena lelah, akan tetapi karena merasa cemas sekali. Ia maklum bahwa murid Siauw-lim-pai ini takkan mau mengampuninya, dan iapun insyaf berapa banyak murid Siauw-lim-pai yang telah ia tumpas dan binasakan, baik dengan tangan sendiri maupun dengan bantuan anak buahnya, yakni para pasukan Kim-i-wi. Akan tetapi ia merasa heran mendengar gadis ini adalah anak dari Yap Sian Houw oleh karena sepanjang pengetahuannya dan pendengarannya, Yap Sian Houw belum pernah menikah dan selama hidupnya membujang, bagaimana sekarang tiba-tiba muncul seorang anaknya?

Thio Kim Cai yang berjuluk Kim-to (Golok Emas) ini dan yang selama beberapa tahun telah membuat ia disegani dan juga dibenci anak murid Siauw-lim-pai yang masih hidup, kini benar-benar merasa ketakutan ketika pedang Siang Lan berkali-kali mengancam nyawanya. Biarpun dengan permainan goloknya ia masih dapat mempertahankan diri, akan tetapi ia maklum bahwa lambat tapi pasti, ia akan roboh juga oleh lawannya yang masih amat muda, tetapi memiliki keahlian yang mengerikan hatinya itu. Maka diam-diam perwira muka hitam ini memutar otak mencari jalan keluar.

Ia melihat betapa binatang air yang buas itu kini berenang ke pinggir dan berada di dekat tepi rawa. Hal ini mendatangkan sebuah akal yang hendak dijalankan untuk mengalahkan Siang Lan. Ketika Siang Lan menusuk ke arah dadanya dengan gerak tipu Siang-jin-jit-lou (Dewa Menunjukkan Jalan), Thio Kim Cai mengelak sambil menggulingkan tubuh ke atas tanah, kemudian sambil menggunakan gerakan Yan-cu-hoan- sin (Burung Walet Putar-putar Badan) ia bergulingan dan mainkan Te-tong-to, yakni ilmu golok yang dimainkan dengan cara bergulingan di atas tanah dna menyerang musuhnya dengan golok diputar sedemikian rupa menyerang ke bagian kaki lawan! Ilmu golok ciptaan cabang Go-bi-pai ini benar-benar lihai sekali dan Siang Lan terpaksa menggunakan gin-kangnya untuk melompat tinggi dan menjauhkan dirinya dari serangan ilmu golok yang amat berbahaya itu!

Siang Lan merasa gemas sekali dan membentak, “Bangsat pengecut, kau hendak lari ke mana?” iapun melompat dan mengejar di atas bambu itu. Sesungguhnya, mudahlah bagi Siang Lan untuk menjatuhkan musuh itu dengan thi-lian-ci, akan tetapi gadis ini memiliki sifat yang gagah dan tidak mau melakukan kecurangan dalam pertempuran di mana ia tidak berada di pihak terdesak itu.

Ketika gadis itu mengejar dekat, Thio Kim Cai yang sengaja tidak mau berlari cepat, menanti sampai Siang Lan menginjak bamu yang berada di belakangnya. Ketika Siang Lan sudah melompat di atas bambu yang diinjak oleh perwira muka hitam itu, Thio Kim Cai tiba-tiba berhenti berlari dan dengan hati girang sekali melihat tipu muslihatnya berhasil, ia berjongkok di atas bambunya dan memegang ujung bambu yang diinjak oleh Siang Lan, lalu ia angkat tinggi-tinggi dan menggulingkan bambu itu sehingga Siang Lan yang berada di atas bambu itu, yakni di tengah-tengah, tak dapat menguasai imbangan tubuhnya lagi dan jatuh terguling!

“Ha-ha-ha! Mampus kau, setan perempuan Siauw-lim! Ha-ha!” Thio Kim Cai berdiri di atas bambunya sambil tertawa girang, akan tetapi tiba-tiba ketawanya berhenti dan berganti dengan jerit kesakitan dan mukanya menjadi pucat menyeramkan sekali ketika ia melihat betapa kakinya telah digigit oleh dua ekor buaya rawa! Ternyata saking girangnya, Thio Kim Cai tidak memperhatikan sebelah bawah. Harus diketahui bahwa buaya- buaya rawa itu memang selalu menanti saat baik untuk menggigit orang yang berani menyeberangi rawa itu. Mereka tak berdaya apabila orang yang menyeberang menggunakan ilmu lari cepat karena ia tidak mendapat kesempatan untuk menggigit. Akan tetapi, ketika Thio Kim Cai tertawa terkekeh-kekeh, ia berdiri diam di atas bambu sehingga dengan mudahnya buaya itu menyambarkan mulutnya yang panjang dan lebar itu menggigit kaki Thio Kim Cai dengan gigi mereka yang tajam berbentuk gigi gergaji! Thio Kim Cai berusaha melepaskan kakinya, akan tetapi makin banyak binatang buas itu datang mengeroyoknya sehingga ia tak kuat lagi menahan. Dengan mengeluarkan teriakan menyeramkan sekali, perwira muka hitam itu kini terguling ke dalam air dan segera diseret oleh puluhan buaya. Habislah riwayat perwira she Thio ini, lenyap seluruh daging, tulang dan bahkan seluruh pakaiannya. Hanya warna merah yang menodai air rawa itu, menjadi bukti bahwa ia telah mati dan terkubur di dalam perut binatang-binatang itu.

Sementara itu, ketika tadi terlempar jatuh, Siang Lan mempergunakan ilmu entengkan badan. Ia tidak mau terjatuh dalam keadaan membahayakan keselamatannya, maka dengan menggerakkan tubuhnya, ia dapat mengatur sedemikian rupa sehingga ia jatuh ke bawah dengan kaki dahulu. Ia melihat beberapa ekor buaya dengan kepala yang mengerikan itu tersembul di permukaan air rawa. Dengan tenang dan berani sekali, Siang Lan menurunkan kakinya tepat di atas kepala buaya! Dan sebelum buaya yang lain dapat menyerangnya, ia menggunakan kepalanya itu sebagai batu loncatan dan pada saat Thio Kim Cai diseret ke dasar rawa, ia telah dapat melompat dengan selamat ke atas sebatang bambu.

Betapapun juga, hatinya merasa ngeri melihat keadaan Thio Kim Cai, maka ia menutup matanya dan segera berlari meninggalkan tempat itu, kembali ke pinggir rawa di mana ia tadi bertempur dengan perwira itu. Ia sama sekali tidak tahu bahwa daerah itu dikuasai oleh segerombolan perampok jahat di bawah pimpinan Ang-hoa Siang-mo yang ganas dan lihai! Sebetulnya, Siang Lan ingin lekas kembali ke hutan untuk berkumpul dengan kedua adiknya lagi, akan tetapi karena tadi jalan pulang terhalang oleh peristiwa ngeri yang menimpa diri Thio Kim Cai, maka saking ngerinya, gadis ini melompat ke pinggir rawa. Setelah keadaan air rawa menjadi tenang kembali, ia lalu berjalan ke pinggir dam hendak melompat ke atas bambu untuk menyeberangi kembali lalu mencari adik-adiknya.

Posting Komentar