Tiga Dara Pendekar Siauw-lim Chapter 15

NIC

Dengan cara demikian, perwira she Thio itu dapat menghindarkan diri dari serangan senjata gelap, akan tetapi Siang Lan masih merasa penasaran kalau belum dapat merobohkan perwira yang menjadi biang keladi kematian Yap Sian Houw itu, maka ia lalu mengejar secepatnya.

Sementara itu, setelah merobohkan dua orang perwira lagi sehingga kini yang mengeroyoknya hanya tingga tiga orang, Hwe Lan dan Sui Lan melihat betapa enci mereka mengejar perwira muka hitam itu, merasa khawatir akan keselamatan Siang Lan.

“Sui-moi!” kata Hwe Lan sambil memutar-mutar pedangnya. “Kau susul enci Siang Lan, biar aku sendiri yang bikin mampus tiga anjing kecil ini!”

Sui Lan maklum bahwa encinya ini takkan kalah menghadapi tiga orang perwira yang sudah terdesak hebat itu, maka ia lalu melompat jauh dan mengejar ke arah Siang Lan yang berlari. Ia tadi melihat Siang Lan mengejar ke arah utara, maka secepatnya ia lalu menuju ke utara. Setelah berlari beberapa lamanya, Sui Lan merasa heran mengapa ia tidak melihat bayangan Siang Lan maupun perwira yang dikejar oleh encinya itu. Dengan heran dan gelisah, Sui Lan mencari-cari sampai beberapa lama, berlari ke sana ke mari, kadang- kadang berdiri untuk mendengarkan dengan penuh perhatian. Akan tetapi yang didengarnya di dalam hutan itu hanyalah suara burung-burung berkicau.

Karena merasa penasaran, Sui Lan mencari pohon yang tertinggi di tempat itu, kemudian melompat ke atas cabang yang terendah, dan memanjat terus ke atas. Ia berdiri di atas cabang yang paling atas dan memandang sekelilingnya terutama ke arah utara untuk mencari bayangan Siang Lan. Akhirnya ia dapat melihat bayangan Siang Lan berlari-lari mengejar perwira muka hitam itu, akan tetapi mereka telah jauh sekali. Ia telah terlalu banyak membuang waktu di dalam hutan sedangkan encinya itu telah mengejar naik ke bukit kecil di luar hutan.

Sui Lan hendak turun dari pohon itu. Tiba-tiba ia mendengar suara mendesis keras dan ketika ia menengok, alangkah kagetnya karena yang mendesis itu seekor ular yang amat besar. Ular tadi sudah semenjak tadi melingkar pada cabang pohon, dekat dengan cabang yang diinjaknya, dan ia tidak melihat sama sekali karena selain ular itu sama sekali tidak bergerak, juga warna kulitnya hampir sama dengan kulit pohon.

Ular yang terkejut dan marah itu membuka mulutnya lebar-lebar dan mengeluarkan suara mendesis berikut uap keputih-putihan yang disemburkan ke arah Sui Lan. Gadis ini merasa jijik dan terkejut sekali, maka untuk sesaat ia hanya memandang dengan mata terbelalak. Belum pernah ia melihat ular sebesar ini, akan tetapi ketika ular itu tiba-tiba menggerakkan leber dan mulutnya yang lebar itu menyambar ke arah kaki Sui Lan, gadis itu dengan cepat melompat ke atas cabang yang lebih bawah. Akan tetapi, bukan main kagetnya ketika buru saja kakinya menginjak cabang ini, dari atas ia merasa angin menyambar dan tahu-tahu ular itu telah mengejarnya dan dengan mulut terbuka menyerang ke arah lehernya!

Karena ketika melompat ke atas pohon tadi, Sui Lan menyimpan pedangnya, maka ia tidak dapat menggunakan pedang itu dalam keadaan terdesak dan tidak leluasa maka kembali ia menggerakkan tubuhnya dan melompat ke bawah. Ular itu tetap mengejar dengan kecepatan yang mengerikan. Akhirnya Sui Lan dapat juga melompat sampai ke atas tanah dan cepat gadis ini mencabut pedangnya lalu menanti datangnya binatang buas itu.

“Turunlah, cacing pohon!” teriaknya sambil melambai-lambai dengan tangan kirinya. “Apa kau kira aku takut padamu?”

Ular itu telah melilitkan tubuhnya pada cabang yang paling rendah dan agaknya merasa ragu-ragu untuk menyerang turun. Kepalanya dijulurkan ke bawah dan lidahnya keluar masuk dengan cepatnya di ujung mulutnya.

“Ayo turun kalau ingin mampus!” kembali Sui Lan berseru. Dara ini merasa marah dan gemas karena tadi telah menderita kekagetan dan melihat ular itu hanya memandang dan mempermainkan lidahnya yang panjang dan merah itu, ia lalu merogoh kantung thi-lian-ci dan menyambitkan dua butir biji teratai besi ke arah kepala ular itu, membidik ke arah matanya. Akan tetapi ular itu dapat menggerakkan kepalanya ke samping dan thi-lian-ci itu tidak mengenai sasaran. Namun Sui Lan sebagai ahli senjata rahasia, telah menyiapkan dua butir lagi tangannya dan begitu serangan pertama luput ia telah menyusul lagi dengan serangan kedua!

Kali ini, biarpun kepalanya mengelak, akan tetapi thi-lian-ci kedua yang ditujukan ke arah perutnya, mengenai dengan tepat dan menancap terus ke dalam perut ular itu! Ular itu agaknya merasa kesakitan karena lingkaran pada batang pohon menjadi mengendur. Memang tubuh binatang lebih kuat dari pada manusia dan biarpun biji teratai itu telah memasuki tubuhnya bagian perut, agaknya ular itu tidak tepengaruh geraknya. Ia mendesis- desis lagi menyatakan marahnya dan tiba-tiba kepala lehernya meluncur ke bawah, ke arah kepala Sui Lan. Panjang ular itu tidak kurang dari sepuluh kaki dan dengan melilitkan ekornya pada cabang pohon, kepalanya dapat bergantung ke bawah sampai ke tanah!

Sebetulnya Sui Lan tidak takut sama sekali terhadap binatang itu, hanya merasa ngeri dan jijik. Kini melihat ular itu menyambar turun ke arahnya, ia cepat melangkah ke kiri untuk mengelak dan ketika kepala ular itu menyambar lewat, pedangnya cepat bergerak, disabetkan ke arah leher tepat di belakang kepalanya.

“Crak!” pedang yang digerakkan dengan kuat sekali itu menabas leher ular dan Sui Lan cepat melompat ke kiri. Gerakan ini baik sekali karena ular yang telah dipenggal lehernya itu terlepas lilitan ekornya pada cabang dan tubuhnya yang panjang jatuh ke bawah, dari lehernya yang putus muncrat darah yang berbau amis sekali!

Sui Lan memandang ekor ular yang biarpun sudah tak berkepala lagi, akan tetpai masih dapat menggeliat itu. Hatinya menjadi geli dan jijik, lalu ia bersihkan pedangnya pada batang pohon dan menyimpannya kembali pada sarung pedangnya. Kemudian ia teringat akan maksudnya mencari Siang Lan, maka ia segera melompat dan berlari ke arah utara untuk keluar dari hutan itu dan mengejar ke bukit kecil di mana ia melihat encinya tadi berlari-lari mengejar perwira muka hitam.

Akan tetapi kembali ia kecewa dan bingung karena setelah tiba di tempat itu, ia tidak melihat lagi bayangan Siang Lan maupun Si Muka Hitam! Ia mencari bahkan berteriak-teriak memanggil, akan tetapi hanya gema suaranya sendiri saja yang menjawabnya. Sui Lan mulai merasa gelisah ke manakah encinya pergi? Tak mungkin encinya tidak dapat menyusul perwira muka hitam, karena ia maklum akan kelihaian encinya. Dan kalau sudah tersusul, tentu perwira itu binasa. Akan tetapi mengapa tidak ada jawaban ketika ia memanggil encinya, suaranya itu dapat terdengar sampai jauh, maka tak mungkin Siang Lan tidak dapat mendengar suaranya.

Apakah Siang Lan mendapat bencana? Sui Lan makin bingung dan karena tidak tahu ke mana akan mencari kakaknya ia pikir lebih baik kembali pada Hwe Lan dulu untuk kemudian mencari bersama. Ia lalu berlari kembali ke dalam hutan tadi untuk memberitahukan hasil penyusulannya kepada Hwe Lan.

Ketika ia tiba di tempat pertempuran tadi, yakni di depan kuburan Nyo Hun Tiong, Sui Lan terkejut sekali karena di situ telah sunyi dan tidak nampak bayangan Hwe Lan, bahkan para perwira yang tadi menjadi korban pedangnya dan Hwe Lan, tidak ada lagi di situ. Yang ada adalah bekas-bekas pertempuran, darah berceceran di sana sini, rumput rusak terinjak-injak dan jejak kaki kuda memenuhi tempat itu. Yang hebat adalah keadaan kuburan itu, karena tanah kuburannya telah dibongkar dan ketika ia menjenguk ke dalam kuburan, di situ telah kosong! Agaknya rangka dari tubuh Nyo Hun Tiong telah ada yang mencuri dan membawa pergi.

Sui Lan benar-benar merasa bingung dan gelisah sekali. Apakah yang telah terjadi pada Hwe Lan? Kekhawatirannya memuncak dan membuat wajahnya yang cantik dan biasanya berseri gembira itu menjadi pucat. Kedua matanya mulai basah air mata. Siang Lan pergi tanpa meninggalkan jejak, dan kini Hwe Lan lenyap pula!

“Enci Hwe Lan...!” ia memanggil dengan suara keras. Akan tetapi yang menjawab hanyalah bunyi kresekan daun tertiup angin. Daun-daun itu seakan menceritakan sesuatu, menceritakan apa yang telah terjadi dengan Hwe Lan. Beberapa kali Sui Lan memanggil lagi sekerasnya, akan tetapi, tetap tidak ada yang menjawab. Akhirnya dara ini menjatuhkan diri di atas tanah dan menangis. Ia benar-benar merasa bingung dan sedih. Baru kali ini ia ditinggal seorang diri dan tidak tahu harus berbuat apa, harus pergi ke mana!

Akhirnya ia dapat menetapkan hatinya dan menganggap saat seperti itu tidak tepat kalau diisi dengan kesedihan dan kebingungan. Ia harus berusaha. Gadis ini lalu bangun berdiri, menyusut air matanya kemudian ia mencoba untuk mencari jejak Hwe Lan. Ia hanya melihat banyak jejak kaki kuda di tempat itu dan dengan dada berdebar ia menduga bahwa tentu datang banyak sekali orang berkuda di tempat ini. Mungkin sekali Hwe Lan dikeroyok dan ditawan oleh mereka! Ia merasa menyesal mengapa tadi meninggalkan encinya untuk mencari Siang Lan.

Posting Komentar