Sementara itu, kawan gadis itu ternyata tidak kuat menghadapi serangan Kam Seng yang amat lihai memainkan siang-kiamnya. Setelah melawan mati-matian selama tigapuluh jurus, tiba-tiba dia berteriak kesakitan dan tubuhnya terguling ke bawah genteng karena pundak kanannya terbacok pedang kiri Kam Seng.
Melihat lawannya sudah roboh dan melihat Heng San belum juga dapat mengalahkan lawan, Kam Seng hendak membantu. Akan tetapi Heng San cepat berseru, "Engkau bantulah Lui-toako di bawah! Mungkin dia membutuhkan bantu¬an. Biar yang ini aku yang akan menangkapnya!"
Mendengar perintah atasannya, Kam Seng segera melompat turun membantu Lui Tiong karena pemimpin rombongan penari silat itu ternyata memang lihai bukan main dan diapun tadi melihat bahwa Heng San tidak terdesak oleh lawan walaupun dia bertangan kosong.
Setelah melihat Kam Seng melompat turun, Heng San melompat ke belakang. "Ma-lihiap (Pendekar wanita Ma), sudahlah tahan senjatamu. Mengapa kita selalu bermusuhan? Aku tidak ingin bermusuhan denganmu!"
"Pengkhianat jangan banyak mulut!"
Hong Lian menyerang lagi dengan tusukan pedangnya. Heng San cepat mengelak dan kembali dia dihujani serangan yang kesemuanya dapat dihindarkannya.Tiba-tiba terdengar teriakan orang mengaduh di bawah sana dan Hong Lian menjadi pucat wajahnya karena dia mengenal bahwa yang berteriak kesakitan itu adalah ayahnya! Dengan isak tertahan Hong Lian hendak melompat ke bawah untuk membantu ayahnya yang agaknya terluka dan terancam bahaya. Akan tetapi Heng San menghalanginya dengan kedua tangan terpentang. Dia memandang dengan rasa haru dan iba memenuhi hatinya. Entah mengapa, semenjak pertemuan pertama dengan Hong Lian ketika saling memperebutkan kantung uang curian itu, dia merasa tertarik dan suka sekali kepada gadis itu. Dia tidak tahu perasaan apakah yang menarik hatinya terhadap Hong Lian. Entah perasaan apa namun yang jelas, dia tidak ingin melihat gadis itu celaka.
"Nona Ma, jangan turun. Kawan-kawanku di bawah lihai sekali engkau tentu akan celaka kalau turun" cegahnya.
Dalam kemarahan dan kebingungan, Hong Lian tertegun mendengar ucapan itu. Ia sungguh tidak mengerti akan sikap pemuda ini. Sejak perkelahian mereka yang pertama dulu, ia tahu benar bahwa pemuda itu memiliki ilmu silat yang jauh lebih tinggi daripadanya, bahkan agaknya tidak kalah hebat dibandingkan tingkat ayahnya sendiri. Akan tetapi mengapa pemuda yang ternyata merupakan pemimpin Pasukan Garuda Sakti ini tidak mau merobohkan dan menangkapnya dan sejak tadi hanya mengelak dan menangkis saja,. dan ban yak mengalah, bahkan agaknya tidak ingin melihat dia celaka? Siapakah pemuda ini yang menjadi lawan namun bersikap melindungi sebagai kawan? Apa maksudnya?
Pada saat itu terdengar bentakan Lui Tiong dari bawah. "Masih ada seorang musuh lagi di atas. Hayo kita tangkap"
Mendengar ini, Heng San cepat berkata lirih kepada Hong Lian, "Cepat serang aku dengan senjata rahasiamu!" Sambil berseru demikian, tangan Heng San bergerak cepat dan tahu-tahu pedang di tangan Hong Lian sudah dapat dirampasnya! Hong Lian terkejut sekali dan mendengar ucapan tadi, ia cepat mengambil beberapa buah senjata rahasia piauw dan sambil melompat pergi kedua tangannya bergerak dan empat buah piauw menyambar ke arah tubuh Heng San. Pemuda itu menyampok tiga buah dengan kedua tangannya, akan tetapi piauw yang ke empat sengaja dia sambut dengan pundak kirinya.
"Aduhhh … !" Heng San berteriak kesakitan ketika piauw itu menancap di pundaknya. Heng San sengaja menekan piauw itu sehingga menancap lebih dalam dan ketika dia mencabutnya, baju di pundak berikut kulit dagingnya terobek dan mengeluarkan banyak darah. Pada saat itu, Lui Tiong dan kedua orang saudara she Kam berlompatan ke atas genteng dan mereka terkejut melihat Heng San terhuyung.
Heng San terhuyung ke arah Lui Tiong yang hendak mengejar Hong Lian yang melarikan diri.
Lui Tiong menangkap tubuh Heng San agar tidak jatuh dan tidak melanjutkan niatnya mengejar Hong Lian.
"Awas, toako … senjata rahasianya lihai sekali …!" kata Heng San.
"Coba kuperiksa lukamu, Lauw-te." kata Lui Tiong sambil membuka baju bagian pundak yang terobek. Akan tetapi dia hanya dapat melihat sebentar karena Heng San sudah menutupi lukanya itu dengan tangannya.
"Tidak berapa parah, toako. Bagaimana hasilnya di bawah, Lui-toako?" tanyanya.
"Orang she Ma itu telah terluka dan tertawan, sedangkan kedua muridnya tewas. Kali ini kita berhasil baik, hanya sayang gadis pemberontak liar itu dapat melarikan diri dan melukaimu."
"Ah, aku kurang hati-hati dan terlalu memandang rendah, Lui-toako. Pedangnya dapat kurampas, akan tetapi aku tidak mengira ia demikian lihai sehingga dapat menyerangku dengan empat buah piauw. Yang tiga dapat kutangkis, akan tetapi yang satu melukai pundakku."
Mereka kembali ke gedung Panglima Thio membawa Ma Giok sebagai tawanan. Thio- ciangkun menyambut mereka dengan gembira sekali. Setelah mengeluarkan pujian terhadap Lui Tiong dan Heng San, Panglima Thio memperkenankan mereka mengaso dan Ma Giok lalu dimasukkan ke dalam penjara yang berada di bagian belakang gedung itu, dikurung dalam sebuah kamar tahanan yang kokoh dilapis baja dan berjeruji baja pula, masih dijaga oleh enam orang perajurit di luar kamar tahanan.
Heng San yang masih terkenang dengan rasa prihatin kepada Ma Hong Lian, segera memasuki kamarnya dan merebahkan diri di atas pembaringan tanpa berganti pakaian atau melepas sepatunya. Dia rebah telentang dan termenung memikirkan keadaan Hong Lian. Wajah gadis itu tak dapat dia lupakan, selalu terbayang dan ia merasa kasihan sekali. Dia merasa menyesal mengapa gadis sehebat itu demikian tersesat dan mau menjadi anggauta pengacau dan pemberontak. Teringat dia akan pertemuan mereka pertama dahulu. Ketika itupun Hong Lian sedang melaku¬kukan pencurian dan menotok tuan rumah dan isterinya. Sekarang malah menjadi anggauta gerombolan pengacau dan pemberontak. Sungguh sayang! Sayang gadis sejelita dan segagah itu, yang amat menawan hatinya, menjadi seorang penjahat!
"Ahh ….. Hong Lian …. Hong Lian ….!" Dia berbisik dan mencoba untuk memejamkan matanya, mencoba untuk tidur, melupakan segalanya, melupakan rasa nyeri di pundaknya yang terluka yang tidak berapa hebat kalau dibandingkan dengan rasa nyeri di dalam hatinya.
Heng San sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, Lui Tiong yang baru saja memasuki kamarnya sendiri, harus keluar pula karena dipanggil Thio Ci Gan. Panglima itu menerimanya dalam kamar rahasia, di mana kini hanya mereka berdua yang duduk berhadapan.
"Ciangkun memanggil saya …” tanya Lui Tiong setelah memberi hormat.
Dia dipersilakan duduk dan panglima i tu bertanya dengan suara tegas. "Sekarang, ceritakanlah sejelasnya tentang, penyerbuan itu dan bagaimana mungkin sampai Lauw Heng San terluka oleh gadis puteri kepala gerombolan mata-mata pemberontak itu."
Lui Tiong merasa bahwa dalam suara atasannya terkandung kebimbangan dan kecurigaan. Hal ini menyenangkan hatinya karena dia sendiripun sudah menaruh hati curiga dalam peristiwa itu. Di samping itu, di dasar hatinya Lui Tiong memang merasa tidak senang kepada Heng San, rasa tidak senang yang timbul dari iri hati. Bagaimanapun juga pemuda itu telah menggeser kedudukannya sebagai orang ke dua dalam jajaran para jagoan di situ sedangkan pemuda itu menjadi orang pertama walaupun sikap Panglima Thio masih con dong percaya kepadanya. "Saya sendiri juga merasa heran" ciangkun. “Saya dan Kam Eng berjaga di luar dan kami berdua bertemu dan bertanding melawan Ma Ciok dan seorang muridnya. Ma Ciok itu lihai sekali, akan tetapi setelah Kam Eng merobohkan lawannya kemudian Kam Seng datang pula membantu, saya dapat melukai dan menangkapnya. Akan tetapi saya merasa heran mengapa Lauw-te yang memiliki ilmu Silat sedemikian tingginya, dapat terluka oleh gadis itu dan membiarkan ia lolos!"
Panglima Thio mengelus jenggotnya dan kedua alisnya berkerut. Tiba-tiba dia bertanya, "Lui-sicu, engkau yang pernah melihat gadis itu, bagaimana wajahnya? Apakah dia cantik?"
"Cadis itu cantik jelita sekali, ciangkun. Usianya sekitar delapan belas tahun dan iapun memiliki bentuk tubuh yang menggairahkan. Tarian pedangnya indah sekali. Pendeknya, ia memiliki daya tarik yang luar biasa bagi pria."
"Hemm …. hemmm …. apakah tidak mungkin Heng San sengaja melepaskannya karena dia jatuh hati kepada gadis itu?" Thio-ciangkun menggumam, mengerutkan alisnya semakin dalam "Hal itu besar sekali kemungkinannya, ciangkun. Lauw-te adalah seorang pemuda yang sudah cukup dewasa, tidak akan mengherankan kalaudia tergila-gila kepada wanita cantik."
"Akan tetapi setahuku, selama di sini dia tidak pernah keluar bersenang-senang dengan wanita seperti yang lain."
"Mungkin dia malu-malu dan takut-takut karena tidak ada pengalaman. Akan tetapi saya melihat sinar matanya bercahaya ketika dia melihat ….melihat ….Nona Siang... eh, maafkan kelancangan saya, ciangkun."
"Melihat Kui Siang maksudmu?" tanya Thio-ciangkun sambil memandang pembantunya dengan sinar mata penuh selidik "Tidak apa, aku tidak marah, ceritakan bagaimana ketika Heng San melihat Kui Siang." Yang disebut Nona Siang adalah seorang gadis berusia sembilan belas tahun yang tinggal di gedung itu dan disebut Siang Siocia (Nona Siang) oleh semua orang seperti yang dikehendaki gadis itu sendiri. Ia seorang gadis yang cantik jelita dan lemah lembut, halus budi dan ramah. Semua. orang mengetahui bahwa biarpun ibu gadis itu merupakan seorang isteri kedua dari Panglima Thio yang amat disayang, namun Kui Siang bukan¬lah anak kandungnya, melainkan anak tirinya. Dan agaknya gadis itu juga tidak merahasiakan bahwa ia bukan puteri kandung Thio Ci Gan, karena kalau ditanya she-nya (nama marganya) ia akan menjawab bahwa nama marganya adalah Bu, nama lengkapnya Bu Kui Siang! Akan tetapi ia pandai membawa diri sehingga biarpun di dalam hatinya Thio- ciangkun tidak mempunyai perasaan sayang seorang ayah kepada anaknya, namun sikap pembesar itu cukup baik.
"Begini, ciangkun. Ketika untuk pertama kalinya Heng San melihat Nona Siang, dia seperti terpesona. Kemudian setelah kami berdua saja, dia banyak hertanya tentang Nona Siang dan terang-terangan mengatakan bahwa selama hidupnya dia belum pernah melihat seorang gadis secantik Nona Siang yang dikatakannya seperti bidadari. Oleh karena itu, saya tidak akan merasa heran kalau sekali ini dia sengaja meloloskan gadis pemberontak Itu karena dia tergila-gila. Ternyata dia adalah seorang pemuda mata keranjang, dan lemah terhadap kecantikan wanita."
Kini Thio-ciangkun mengangguk-angguk, menundukkan muka, mengelus jenggotnya dan tiba-tiba dia berkata, "Bagus! Aku mendapatkan gagasan bagus sekali Heng San amat lihai, kami amat membutuhkan dia dan sekarang ada jalan untuk mengikatnya kepada kami, untuk selamanya dan akan tetap setia sampai mati"