"Lui-toako, engkaulah yang lebih mengetahui akan keadaan para mata-mata pemberontak itu, karena itu sebaiknya kalau engkau yang memimpin penangkapan ini. " kata Heng San dan sikap pemuda ini menyenangkan hati Lui Tiong. Sudah jelas bahwa kini kedudukan jagoan nomor satu jatuh kepada Heng San, akan tetapi pemuda itu tidak menonjolkan kedudukannya itu sehingga Lui Tiong yang tergeser kedudukannya tidak merasa sakit hati karena sikap Heng San yang tetap menghormatinya dan tidak menganggap dia sebagai bawahan yang lebih rendah tingkatnya.
"Baiklah, Lauw-te. Rombongan penari silat itu hanya berempat, dan yang perlu kita hadapi berdua hanya sang ayah dan puterinya itu. Untuk menangkap dua orang muridnya, kukira cukup kalau kita dibantu Kam Seng dan Kam Eng berdua saja. Kepandaian mereka cukup tinggi."
"Terserah kepadamu, Lui-toako. Akan tetapi sebenarnya siapakah mereka itu? Mengapa begitu ditakuti, menimbulkan kekhawatiran Thio-ciangkun?" tanya Heng San.
"Yang dapat kuketahui hanya bahwa pemimpin rombongan penari silat itu adalah seorang bekas guru silat di daerah selatan yang terkenal dengan julukan Lam-Liong (Naga Selatan). Menurut penyelidikan orang-orangku, dia mengaku she Lim, akan tetapi sebenarnya dia adalah seorang she (marga) Ma. Gadis itu adalah puterinya dan kedua orang pemuda itu murid-muridnya. Melihat gerakan mereka ketika mendemonstrasikan tarian silat, agaknya yang merupakan lawan berat hanyalah si ayah dan puterinya itu. Kedua orang muridnya boleh kita serahkan kepada kedua kakak beradik Kam. Nah, marilah kita berangkat." kata Lui Tiong setelah Kam Seng dan Kam Eng, dua orang jagoan pembantu Thio-ciangkun yang berusia tigapuluh dan tigapuluh tiga tahun. Dua orang saudara she Kam ini merupakan jago-jago silat yang cukup lihai dengan permainan silat siang-kiam (sepasang pedang). Malam mulai menyelimuti bumi ketika empat orang jagoan dari Thio-ciangkun ini berangkat menuju ke kelenteng Hok-man-tong yang berada di luar kota Keng-koan.
Di tengah perjalanan itu, Lui Tiong bertanya kepada Heng San, "Lauw-sicu, mana senjatamu?"
Heng San tersenyum dan menggerakkan pundaknya. "Aku tidak mempunyai senjata, Lui- toako."
"Ah, kalau begitu, pakailah pedangku ini. Aku akan mencari senjata lain."
"Terima kasih, Lui-toako. Terus terang saja, aku tidak pernah mempelajari ilmu silat pedang. Aku hanya mengandalkan kedua kaki tanganku saja."
Lui Tiong terheran. “Ah, engkau gegabah sekali, siauw-te." Di dalam hatinya, Lui Tiong sebagai seorang ahli silat yang berpengalaman tidak percaya akan keterangan pemuda itu. Mana ada seorang ahli silat yang kepandaiannya sudah setinggi tingkat Heng San, mengaku sama sekali tidak pandai memainkan senjata? Tentu pemuda ini mempunyai ketinggian hati dan ingin mempertahankan julukannya sebagai Kepalan Sakti Tanpa Tanding!
Ketika mereka sampai di depan kelenteng, Lui Tiong mengetuk daun pintu kelenteng yang tebal dan sudah tertutup. Seorang hwesio penjaga membuka daun pintu. Melihat empat orang yang pakaiannya gagah bergambar seekor burung garuda dan sikap mereka penuh wibawa, hwesio itu cepat merangkap kedua tangan di depan dada. Dia sudah mendengar nama besar Pasukan Garuda Sakti yang terkenal, maka tergopoh-gopoh dia menanyakan keperluan mereka.
"Di mana adanya para tamu kelenteng empat orang penari silat itu? Hayo katakan dan jangan berbohong!" kata Lui Tiong.
"Pin-ceng (aku) tidak berani berbohong, ciangkun (perwira). Baru saja mereka tadi masuk dan kini tentu mereka berada di dalam kamar mereka, di bagian belakang."
"Suruh mereka keluar dan menyerah kepada kami. Jangan membawa senjata atau kami terpaksa akan bertindak keras” bentak Lui Tiong.
"Omitohud …, baik, ciangkun…" Hwesio itu berlari masuk dengan sikap ketakutan.
"Lauw-te, engkau dan Kam Seng jagalah di atas menghadang kalau mereka melarikan diri. Aku dan Kam Eng menunggu mereka di sini." kata Lui Tiong kepada Heng San.
Heng San mengangguk, lalu memberi isarat kepada Kam Seng. Mereka berdua melompat ke atas genteng dengan gerak¬an tangkas sekali.
Untuk beberapa saat lamanya, Lui Tiong dan Kam Eng yang berjaga di luar tidak melihat hwesio tadi keluar lagi. Lui Tiong sudah menjadi tidak sabar dan hendak menyerbu masuk. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring dari dalam kelenteng.
"Haii! Para anggauta Garuda Sakti! Anjing-anjing pengkhianat dan penjilat kaisar! Kalau memang berkepandaian, tunggulah kami di luar!"
"Jahanam gerombolan penjahat dan pemberontak tak tahu malu! Keluarlah kalian!" Lui Tiong balas memaki dengan marah dan tangan kanannya sudah mencabut pedangnya. Kam Eng yang berdiri di sampingnya juga sudah menggunakan kedua tangan mencabut sepasang pedangnya yang tipis dan tajam.
Tiba-tiba dari dalam kelenteng tampak sinar menyambar ke arah Lui Tiong, disusuli berkelebatnya sesosok bayangan yang berseru, "Bangsat, makan piauwku!"
Lui Tiong menggunakan pedangnya menangkis senjata rahasia piauw yang runcing itu. "Tranggg ….!" Senjata rahasia piauw yang disambitkan itu terpental. Akan tetapi bayangan yang ternyata seorang laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun itu sudah menggunakan sebatang pedang untuk menyerang Lui Tiong. Serangannya cepat dan kuat sekali, langsung menusuk ke arah dada Lui Tiong yang tahu bahwa pimpinan rombongan penari silat itu lihai sekali, cepat mengelak ke samping lalu mengelebatkan pedangnya membacok ke arah perut lawan. Namun, lawannya juga dapat bergerak dengan gesit sekali. Dengan lompatan ke samping, serangan dari Tiong itupun dapat ditangkisnya dari samping.
"Tranggg..!" Dua pedang bertemu dan keduanya terkejut mendapat kenyataan betapa kuatnya tenaga masing-masing. Segera perkelahian dilanjutkan dengan seru, di bawah sinar lampu yang tergantung di de pan pintu kelenteng. Sementara itu, Kam Eng juga sudah bertanding dengan seorang pemuda yang menjadi murid kepala rombongan penari silat itu. Ternyata tingkat kepandaian merekapun seimbang. Kam Eng memainkan siang- kiam di kedua tangannya dan pemuda itupun memainkan sebatang pedang yang bergerak cepat. Terdengar bunyi berdentingan berulang kali disusul berpijarnya bunga api ketika pedang- pedang itu saling bertemu di udara.
Perhitungan Lui Tiong memang tepat. Rombongan penari silat yang terdiri dari empat orang itu juga membagi rombongan menjadi dua. Ketika Heng San dan Kam Seng menjaga di atas genteng, hanya diterangi sinar bulan yang remang-remang, tiba-tiba tampak dua bayangan berkelebat di atas genteng. Begitu dua bayangan itu muncul, Heng San dan Kam Seng segera melompat dan menghadangnya.
Tiba-tiba dua sosok bayangan itu menggerakkan tangan dan tampak benda hitam meluncur, menyambar ke arah Heng San dan Kam Seng.
"Awas senjata rahasia!" teriak Heng San dan dia sudah menggunakan kedua tangan untuk menyambut. Dia berhasil menangkap empat buah peluru besi yang disambitkan dan Kam Seng juga berhasil menyampok dua butir peluru besi yang jatuh berkerontangan di atas genteng. Heng San membuang empat butir peluru itu dan kini dia bersama Kam Seng sudah melompat ke depan dua orang yang hendak melarikan diri itu.
Setelah berhadapan dengan dua orang itu, Heng San melihat bahwa mereka adalah seorang gadis dan seorang pemuda. Ketika itu, sinar bulan menimpa wajah gadis itu dan Heng San terbelalak memandang dengan terheran-heran ketika dia mengenal wajah jelita itu yang bukan lain adalah Tit-Ie Li-hiap (Pendekar Wanita dari Tit-Ie) Ma Hong Lian! Gadis yang pernah bertanding dengan dia di atas genteng pemilik toko obat di Leng-koan, gadis yang menjadi roh jahat yang ternyata seorang pencuri itu!
Sementara itu, pemuda yang keluar bersama Hong Lian, yaitu murid pimpinan rombongan penari silat yang seorang lagi, sudah cepat menyerang Kam Seng dengan pedangnya. Kam Seng menyambut dengan tangkisan dan serangan balik dengan sepasang pedang di kedua tangannya, terjadilah perkelahian pedang antara kedua orang itu.
Adapun Hong Lian, ketika berhadapan dengan Heng San, juga segera dapat mengenal pemuda itu walaupun cuaca hanya remang oleh sinar bulan. Sejenak dia menjadi bengong dan tidak dapat mengeluarkan kata-kata.
"Eh, engkaukah ini, nona? Dahulu engkau menjadi roh jahat, sekarang engkau memegang peran sebagai apa pula?" tanya Heng San lirih agar jangan terdengar oleh Kam Seng yang sedang bertanding.
Gadis itu memandang kepadanya dengan mata berapi saking marahnya dan bibir yang mungil dan merah itu tersenyum menghina.
"Sudah kusangka bahwa engkau bukanlah manusia baik-baik. Ternyata sekarang bahwa engkau adalah seorang manusia yang lebih rendah daripada apa yang kusangka semula!" "Nanti dulu, nona! Apa kesalahanku maka engkau datang-datang memaki aku sesuka hatimu?" Heng San merasa penasaran dan heran sekali melihat betapa marah dan bencinya gadis itu kepadanya. Pada hal menurut pendapatnya, dialah yang sepatutnya menegur gadis itu. Dulu menjadi pengganggu penduduk Leng-koan dan sekarang malah menjadi mata-mata pemberontak!
"Tak usah banyak cerewet! Malam ini kalau bukan aku, tentu engkau yang akan mati di sini" setelah berkata demikian, pedangnya sudah menyambar dengan sebuah serangan tusukan yang amat ganas ke arah dada Heng San. Heng San cepat mengelak dan untuk kedua kalinya dia melayani gadis itu bertanding dengan menggunakan tangan kosong. Akan tetapi dia hanya selalu menangkis dari samping dengan kedua tangan yang sudah dilindungi ilmu kebal Tiat-pou-san sehingga kedua tangannya tak dapat terluka oleh pedang itu, dan diapun mengerahkan ginkang untuk menghindarkan sinar pedang yang menyambar-nyambar dengan amat ganasnya. Tubuhnya seakan berubah menjadi bayang-bayang yang amat sukar dijadikan sasaran pedang.