Tiba-tiba terdengar bunyi pekik burung rajawali. Han Lin menghentikan latihannya dan sambil menengadah memandang burung raksasa itu melayang turun, dia berseru.
"Tiauw-ko (Kakak Rajawali)! Turunlah, mari kita berlatih sebentar!"
Burung rajawali itu menukik tu dan hinggap di depan Han Lin. Han Lin telah menjadi seorang pemuda remaja berusia lima belas tahun yang bertubuh tegap dan berwajah tampan dan manis. Kulitnya agak gelap karena dia banyak bekerja di ladang dan tempat terbuka setiap hari mandi cahaya matahari.
Burung rajawali itu adalah seekor burung yang langka, amat besar dan memiliki kekuatan yang hebat. Seekor harimau pun tidak berdaya melawannya. Kedua kakinya memiliki cakar yang tajam melengkung runcing seperti baja, juga paruhnya amat kuat, mampu beradu dengan senjata terbuat dari baja yang ampuh tanpa menjadi rusak. Kedua macam senjata ini masih ditambah denga kibasan kedua sayapnya yang amat kuat dan mampu meremukkan batu gunung. Selain itu, gerakannya juga amat cepat apalagi karena dia memiliki sayap yang kuat sehingga dia mampu berkelebat seperti seekor burung kecil yang gesit.
Mendengar ajakan Han Lin, rajawali itu lalu mengembangkan sepasang sayapnya, menegakkan kepalanya seolah-olah dia sudah siap memasang kuda-kuda untuk melayani Han Lin berlatih dan bertanding!
Han Lin tertawa. "Ha-ha, Tiauw-ko, engkau sekarang menjadi sombong, ya? Aku memang selalu kalah kalau latihan bertanding denganmu dan agaknya engkau mulai sombong dan memandang ringan padaku! Akan tetapi hati-hati kau sekali ni, Tiauw- ko. Aku mungkin dapat mengalahkanmu!" Rajawali itu menggelengkan kepalanya seolah tidak percaya dan dia mengeluarkan suara lirih yang nadanya seperti mentertawakan Han Lin. Memang sejak kecil Han Lin selalu bermain-main dengan rajawali itu, setelah dia mulai kuat, dia pun berlatih silat melawannya. Akan tetapi dia selalu kalah. Rajawali itu amat sayang kepadanya, maka belum pernah melukainya dan kalau mengalahkannya, hanya membuat Han Lin jatuh bangun!
Melihat sikap burung itu, kembali Han Lin tertawa. Dia sudah mulai dapat mempelajari dan mengenal cara buru itu menyerang dan menjatuhkannya. Dan mencatat semua itu dan makin lama-makin dapat memperpanjang waktu pertandingan sebelum akhirnya dia dikalakan.
"Nah, awas sambut seranganku ini!” katanya dan dia mulai menyerang dengan pukulan tangan kiri ke arah pangkal leher rajawali, disusul dorongan tangan kanan ke arah dada. Rajawali itu miringkan tubuhnya sehingga pukulan ke arah lehernya luput dan sayap kirinya menangkis dorongan tangan kanan Han Lin.
"Bukkk!" Han Lin terpental akan tetapi dengan memutar tubuh dia mematahkan tenaga dorongan tangkisan sayap yang kuat itu dan tiba-tiba kakinya menendang, susul menyusul dengan kedua kakinya. Kini rajawali itu menangkis dan mengelak sambil mundur karena serangan Han Lin datang bertubi-tubi. Burung itu mencoba untuk balas menyerang dengan totokan paruhnya dan kibasan kedua sayapnya.
Akan tetapi dengan amat gesit Han Lin melangkah berputar-putar dengan gerakan langkah Jiauw-pouw-poai sin sehingga dia selalu dapat mengelelak dan membalas dengan serangan gencar!
Pertandingan berlangsung dengan hebatnya. Makin lama, gerakan mereka semakin cepat dan kini hawa pukul atau serangan mereka mendatangkan angin yang membuat pohon-pohon dekat situ seperti dilanda angin ribut.
“Ha-ha, Tiauw-ko, sekali ini engkau kalah!" Han Lin mendesak terus. Akan tetapi tiba-tiba burung itu mengeluarkan suara lalu tubuhnya melayang ke atas dan dari atas dia mulai menyerang Han Lin!
Han Lin melawan sekuat kemampuannya. Akan tetapi sekarang keadaannya berbalik. Han Lin mulai terdesak karena kalau dia hanya menggunakan empat senjata, yaitu sepasang tangan dan sepasang kakinya, rajawali itu menggunakan lima senjata, yaitu, sepasang cakar, sepasang sayap, dan sebuah paruhnya! Repotlah Han Lin harus menghadapi serangan bertubi-tubi dari atas itu dan lebih payah lagi, kini dia sama sekali tidak dapat memanfaatkan kedua kakinya untuk menyerang karena rajawali itu berada di atasnya. Terpaksa dia hanya mengelak dan menangkis saja dan akhirnya, sebuah kebutan sayap mengenai pundaknya, membuat dia terpelanting dan ter guling-guling!
"Ark! Ark! Rajawali itu bersuara di turun hinggap di dekat Han Lin, mengunakan kepalanya untuk membantu pemuda itu bangkit berdiri. Han Lin bermandikan keringatnya, akan tetapi dtt tersenyum dan merangkul leher rajawali itu.
"Baiklah, aku mengaku kalah, Tiauw-ko, akan tetapi lain kali engkau berhati-hatilah terhadapku!" Tiba-tiba rajawali itu mendekam dan mengangguk-anggukkan kepala ke suatu arah. Maklumlah Han Lin bahwa itu pertanda bahwa gurunya sudah muncul. Memang rajawali memiliki penglihatan dan pendengaran yang amat peka sehingg dapat mengetahui lebih dulu akan kedatangan Thai Kek Siansu.
Han Lin membalikkan tubuhnya lalu memberi hormat dengan berlutut. "Suhu "
"Bangkitlah.dan mari duduk di bangku itu, Han Lin." kata Thai Kek Siansu. Han lin bangkit, lalu mengenakan bajunya dan mendahului suhunya menghampiri bangku dan dibersihkannya bangku itu dengan sapu tangannya sebelum gurunya duduk. Setelah mereka duduk di sebuah bangku panjang, Thai Kek Siansu mengamati muridnya dan dia berkata lembut.
"Han Lin, apakah yang ingin kau tanyakan pagi ini?"
"Banyak, Suhu. Akan tetapi teecu (murid) mohon Suhu suka menjelaskan, mengapa sejak kecil teecu dibiasakan untuk mengajukan pertanyaan kepada Suhu setiap seminggu sekali?"
"Karena orang mempelajari kehidupan hanya dengan bertanya, Han Lin. Kita harus selalu waspada dan peka akan lingkungan kita, dan kita harus selalu mempertanyakan dan menyelidiki segala hal yang belum kita mengerti benar. Hanya dengan kewaspadaan dan pertanyaan, penyelidikan, kita akan menjadi mengerti akan makna kehidupan ini. Siapa suka bertanya, dia akan bertambah pengertian.
Yang tidak mau bertanya hanya orang yang sombong dan merasa pintar sendiri yang begitu sudah pasti tidak akan mendapatkan kemajuan dalam kewaspadaa nya. Nah, sekarang, apa yang ingin kau tanyakan? Engkau sekarang sudah mulai dewasa, tentu pertanyaanmu juga lebih dewasa lagi."
"Suhu, ketika teecu memperhatikan kehidupan orang-orang di dusun dan kota teecu melihat betapa banyaknya orang yang menderita kesengsaraan. Banyak wajah yang tampak keruh, di mana-mana orang mengeluh tentang hidupnya yang tidak bahagia. Kebanyakan orang diliputi perasaan hidupnya dan juga khawatir, bahkan ada yang takut menghadapi kehidupan. Mengapa demikian, Suhu? Teecu sudah terbiasa selalu merasa bahagia gembira seperti yang Suhu maksudkan bahwa hidup merupakan anugerah Tuhan yang patut dinikmati dan disyukuri. Maka, melihat keadaan para penduduk dusun, terutama yang di kota teecu merasa heran dan juga kasihan."
"Han Lin, segala macam perasaan itu sesungguhnya muncul dari pikiran manusia sendiri. Hati akal pikiran mencintakan aku yang sesungguhnya hanya mengaku-aku dan permainan pikiran yang dikuasai nafsu, sehingga segala sesuatu berputar di sekitar si-aku itu. Kalau pikiran mengenang apa yang telah terjadi, yang merugikan aku, muncullah luka karena merasa iba diri, merasa betapa aku yang paling sengsara. Kalau hati akal pikiran membayangkan masa depan, membayangkan sesuatu yang belum terjadi, sesuatu yang tidak enak yang mungkin akan menimpaku, maka muncullah perasaan khawatir dan takut. Takut kalau-kalau aku terganggu, dirugikan atau disakiti. Kalau orang dapat menerima apa pun yang terjadi seperti apa adanya, tanpa ada penilaian dari si-aku yang selalu menilai apakah hal itu menguntungkan atau merugikan diri sendiri, maka tidak akan ada perasaan yang dipengaruhi kepentingan si-aku yang selalu ingin benar sendiri, menang sendiri, enak sendiri."
"Lalu, bagaimana sebaiknya, Suhu?" "
“Hidup adalah saat ini, saat demi saat, yang lalu tidak perlu diingat ingat sehingga mengganggu perasaan, yang belum terjadi juga tidak ada gunanya dibayangkan. Saat inilah hidup kita, yang penting saat ini harus benar, kalau sasuai demi saat kita tidak menyimpang dan kebenaran, maka akhirnya pun pasti benar. Seperti pernah kubicarakan denganmu, Han Lin, kebenaran sejati hanya datang dengan sendirinya sebagai buah Kasih yang telah menyelimuti diri. Memikiran hal lalu dan masa mendatangi hanya memperkuat si-aku dan nafsu yang mengaku-aku itu akan merupakan lawan yang dapat menutupi Sinar Kasih."
"Kalau kita hanya menerima apa adanya, hanya pasrah kepada Tuhan, berarti kita malas dan tidak melakukan apa-apa, Suhu?"