Si Rajawali Sakti Chapter 16

NIC

Liu Cin berlari secepatnya meninggalkan tempat itu. Dia berlari terus sampai napasnya terengah-engah dan akhirnya saking lelah dan kehabisan napas, tubuhnya tidak kuat lagi bertahan dan di terguling roboh. Dia menelungkup di atas tanah berumput. Tubuhnya berdenyut-denyut, lelah bercampur lapar dan haus ditambah rasa nyeri bekas tendanga Lurah Ci dan tamparan tukang pukul tadi. Akan tetapi perasaan campur aduk itu kini terasa nyaman setelah dia menelungkup di atas tanah. Tubuhnya terasa sejuk terkena rumput-rumput yang gemuk dan basah bekas embun, dan alangkah harumnya bau tanah dan rumput. Ah, dia tak ingin bangun lagi, biarlah dialah dia rebah begini selamanya! Liu Cin memejamkan matanya, akan tetapi dia kini membayangkan wajah hwesio tua yang telah menolongnya, membayangkan penolakan hwesio itu kepalanya. Tak terasa lagi kedua matanya mencucurkan air mata karena kecewa dan kesal. Apa yang dapat dia lakukan? Ke mana dia akan pergi? Apa yang akan dimakannya untuk menghentikan rontaan dalam perutnya yang lapar? Apakah tidak lebih baik kalau dia mati saja menyusul ayah ibunya? Tiba-tiba dia teringat beberapa tahun yang lalu ketika seorang tetangga mati menggantung diri karena putus asa telah bertahun-tahun menderita sakit berat. Ayahnya dahulu berkata bahwa bunuh diri merupakan perbuatan seorang pengecut yang berdosa besar! Selagi hidup tidak boleh putus asa, harus berdaya upaya, berikhtiar untuk mengatasi semua kesulitan dalam kehidupan!

Teringat akan ini, Liu Cin bangkit duduk, memaki diri sendiri yang tadi putus asa dan ingin mati saja. Dia menoleh ke kanan kiri dan melihat tumbuh-tumbuhan sayur yang dapat dimakan. walaupun biasanya sayur itu dimasak dan diberi bumbu lebih dulu. Dia bangkit dan memetik daun yang muda lalu memakannya. Tidak selezat kalau dimasak dan dibumbui, akan tetapi setidaknya dapat dimakan dan mengurangi rasa perih lambungnya.

Dia berjalan lagi, tak pernah berhenti dan pada sore hari itu dia tiba di tepi sungai yang amat lebar. Sungai Ya ce! Dia pernah mendengar cerita ayah tentang sungai yang amat luas ini sekarang baru dia berhadapan dengan sungai itu. Akan tetapi dia menjadi bingung. Perjalanannya terhalang sungai yang demikian lebarnya. Akan tetapi, dia berkata kepada dirinya sendiri, andaika ada perahu penyeberangan, dia pun tidak mampu membayar biaya penyeberangan. Lagi pula, menyeberang pun dia hendak pergi ke manakah?

Berpikir demikian, Liu Cin lalu menyusuri pantai sungai itu menuju ke kiri, ke arah Barat. Akan tetapi baru beberapa li (mil) dia berjalan, kakinya sudah tidak kuat melangkah lagi dan dia pun menjatuhkan diri di bawah sebatang pohon, merebahkan badan di atas rumput tebal tian tertidur saking lelahnya.

Liu Cin tertidur setengah pingsan sampai lama dan ketika akhirnya dia terbangun, dia melihat kegelapan menyelimutinya sehingga sejenak dia menjadi panik. Digosok- gosoknya kedua matanya yang tidak dapat melihat apa-apa, dengan hati takut dia mengira bahwa kedua matanya telah menjadi buta! Akan tetapi ketika dia mengarahkan pandang matanya ke atas, dia melihat bintang-bintang bertaburan di langit, maka tahulah dia bahwa hari telah menjadi malam. Hatinya merasa lega. Dia tidak buta, dan ternyata dia telah tertidur sampai malam.

Kesunyian malam yang diisi musik lembut dari bunyi jengkerik dan belalang, membuat suasana menjadi seram. Dia teringat akan dongeng tentang setan dan hantu, maka Lui Cin mulai menggigil. Kemudian dia menyadari bahwa dia menggigil bukan hanya karena rasa takut melainkan karena hawa malam yang amat dingin. Dia pun teringat akan binatang binatang malam yang buas. Siapa tahu di tempat sunyi ini terdapat binatang buas. Teringat akan ini, Liu Cin lalu memanjat pohon besar itu dan duduk di atas cabang, tinggi diatas pohon. Dia tidak boleh tidur, dia akan bergadang semalam suntuk karena kalau dia tertidur, ada bahayanya dia akan terjatuh. Dia duduk di antara ranting dan cabang, daun-daun pohon itu dan semakin larut malam hawanya semakin dingin. Rasa takut semakin mencengkeram hati Liu Cin sehingga dia menggigil dan merangkul batang yang menjulang di depannya seolah mencari perlindungan.

Teringat akan semua cerita yang pernah didengarnya tentang hantu-hantu mendatangkan perasaan ngeri dan takut dan orang yang ketakutan selalu membayangkan hal-hal menyeramkan yang belum terjadi. Pendengaran yang terpengaruh rasa takut membuat apa pun yang didengarnya menjadi seram bunyinya. Bunyi binatang malam yang tadinya terdengar merdu dan lembut, kini berubah Menjadi seperti suara iblis menjerit-jerit. suara gemersik air terdengar seperti para setan dan hantu sedang bercakap-cakap dan berbisik-bisik, membicarakan dirinya! Juga pandang mata terpengaruh, bayangan-bayangan kini membentuk gambaran-gambaran mengerikan, seperti gambaran, hantu-hantu, apalagi karena bayangan itu bergerak-gerak oleh angin, bahaya yang datang dari binatang-binatang hanya remang-remang sehingga segala sesuatu tampak

menakutkan, Bahkan erasaan badan juga terpengaruh rasa takut. Ketika ada beberapa ekor semut merayap ke kakinya, Liu Cin hampir menjerit dan menepuk- nepuk kaki itu, sama sekali tidak ingat akan semut karena dia membayangkan bahwa itu adalah jari-jari hantu yang menggerayangi kakinya.

"Losuhu !" Dia mengeluh. Dahulu, kalau dia merasa sedih dan bingung, hati dan

mulutnya selalu mengeluh dan menyebut nama ayah ibunya yang sudah tiada. Akan tetapi sekarang tiba-tiba di teringat akan hwesio yang pernah menolongnya itu dan otomatis mulutny menyebut hwesio itu.

Tiba-tiba telinganya mendengar bunyi berdesir kuat dan matanya melihat bayangan putih-putih melayang dari pohon di depan ke arah pohon di mana di berada!

Bayangan putih itu kemudian hinggap di atas ujung cabang, hanya sekitar dua tombak jauhnya. Cabang itu bergoyang-goyang sehingga tubuhnya pun ikut bergoyang. Liu Cin ketakutan setengah mati dan dia merangkul kuat kuat cabang di depannya agar jangan jatuh karena pingsan. Kemudian terdengar suara dari arah bayangan putih itu.

"Liu Cin !" Suara itu memanggil dan suaranya terdengar demikian

menyeramkan, bukan seperti suara manusiai demikian parau, dalam, dan mendatangkan hawa dingin.

"Liu Cin, jadilah muridku dan engkau akan menjadi Hantu yang sakti, tidak adalagi yang mengganggumu, bahkan engkau boleh mencuri apa saja yang kau sukai, boleh membunuh dan menyiksa siapa saja yang kau benci. Engkau akan hidup senang!

Hayo, katakan bahwa engkau mau menjadi muridku, ha-ha-ha !"

Setan, dia setan, pikir Liu Cin yang hampir pingsan saking takutnya. Dia Raja setan! Akan tetapi dia tidak mau mencuri, apalagi membunuh. Dia tidak mau menjadi hantu yang menakutkan orang. dia tidak berani menjawab, hanya mengelengkan kepalanya kuat-kuat!

Dengan mata terbelalak Liu Cin melihat betapa tiba-tiba bayangan putih itu melayang dan terdengar suara tawanya yang menyeramkan. Bayangkan itu hinggap di puncak pohon dan terdengar lagi uaranya

.

"Liu Cin, besok pagi engkau turunlah dari sini, berlututlah di depan pohon ini sebagai muridku! Engkau akan kuberi banyak emas dan juga kesaktian. Kalau engkau tidak mau melakukannya, kau akan kubunuh!" Kemudian terdengar lagi suara tawa dan bayangan itu berkelebat lenyap.

Liu Cin semakin ketakutan. Apalagi mengingat bahwa kalau besok dia tidak mau berlutut pada pohon ini mengaku murid, dia akan dibunuh! Berlutut pada pohon ini? Kalau begitu, yang muncul tadi tentulah Hantu Pohon ini! Ingin sekali dia turun dari pohon dan melarikan diri, akan tetapi saking takutnya kedua kakinya terasa lumpuh dan tak dapat digerakkan.

"Losuhu............. Losuhu, tolonglah saya Liu Cin merintih perlahan. Setelah dia

beberapa kali menyebut hwesio penolongnya itu, degup jantungnya agak tenang dan dia dapat menggerakkan kaki tangannya. Dengan hati-hati dan perlan-lahan seolah-olah takut kalau kalau Hantu Pohon terbangun dan melihat niatnya melarikan diri, dia mulai menuruni pohon itu. Akhirnya dia dapat turun dan berdiri di atas tanah. Lalu, tanpa menoleh lagi dia segera lari sekuatnya.

Akan tetapi baru beberapa langkai dia lari, tiba-tiba berkelebat bayangar putih yang menghadang di depannya dan suara yang menyeramkan itu memanggil. "Liu Cin !"

Saking kaget dan takutnya karena dia yakin bahwa itu tentulah Setan Penjaga Pohon yang menghadangnya, Liu Cin jatuh terjerembab di atas tanah, menelungkup, menyembunyikan mukanya di antara rumput-rumput dan tubuhnya menggigil, mulutnya tanpa disadarinya berseru, "Losuhu, tolooonggggg !" Dan dia pun

pingsan! Ceng In Hosiang yang gemuk pendek itu tertawa senang. Dia menghampiri, membungkuk lalu mengangkat tubuh Liu Cin yang pingsan, memanggulnya dan dia lari dengan cepatnya.

"Ha-ha-ha, anak baik! Muridku yang baik. !"

Sejak saat itu, Liu Cin menjadi murid Ceng In Hosiang yang semalam sengaja menguji anak itu. Ternyata Liu Cin tidak terpikat oleh harta dan kesaktian dari iblis yang harus dia gunakan untuk melakukan kejahatan. Pada dasarnya, anak itu memiliki bakat dan watak yang baik.

ooOOoo

Lima tahun cepat sekali lewat sejak Si Han Lin menjadi murid Thai Kek Siansu di Puncak Cemara, sebuah di antara puncak-puncak di Pegunungan Cin-ling san. Waktu memang akan melesat bagaikan tatit kalau tidak diperhatikan. Juga Sang Waktu amat perkasa, segala sesu dilahapnya .sehingga akhirnya semua a' tunduk dan menyerah kalah.

Selama lima tahun, Si Han Lin y dulu berusia sepuluh tahun ketika diba Thai Kek Siansu, telah menerima pendidikan yang dipelajari dan dilatih! dengan tekun. Anak ini memang cerdas dan tahu diri, rajin sekali sehingga gurunya merasa senang. Dia mendapat latihan dasar-dasar ilmu silat. Juga Thai Siansu mengajarkan ilmu sastra sehingga Han Lin bukan saja pandai membaca menulis, bahkan dia dapat membaca kitab-kitab kuno, filsafat-filsafat para arif bijaksana di jaman dahulu, bahkan pandai pula menuliskan huruf indah dan merangkai kata-kata menjadi sajak.

Setelah kini hidup terbebas dari tekanan-tekanan, muncullah watak aseli Han Lin, yaitu watak yang gembira dan suka humor, lincah jenaka. Hal ini tidak dilarang oleh Thai Kek Siansu karena kakek itu selalu mengingatkan muridnya bahwa hidup ini merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Kasih. Anugerah itu haruslah dinikmati dan disyukuri, bukan hanya di mulut dan dalam pikiran, namun kalau orang merasa bersyukur dan bahagia, sudah tentu hal itu mendatangkan kegembiraan dan gairah hidup. Kegembiraan dan gairah hidup inilah yang membuat seseorang, terutama yang masih muda, menjadi lincah jenaka dan suka bercanda. Segala sesuatu atau segala

peristiwa diterima dengan hati yang selalu bersyukur dan memuji keagungan dan kemurahan Tuhan, dipandang dari sudut yang selalu cerah.

Setelah kini berusia lima belas tahun, mulailah Thai Kek Siansu bicara tentang kehidupan, membuka mata batin muridnya agar melihat kenyataan-kenyataan dalam hidup. Han Lin juga mulai mengajukan banyak pertanyaan akan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan kepada gurunya. Karena dia sering turun gunung untuk menjual hasil tanaman rempah-rempah bahan obat yang mereka tanam di puncak, kemudian pendapatan penjualan itu dibelikan segala kebutuhan hiduf mereka, bahan makanan dan pakaian maka Han Lin mendapat banyak kesempatan untuk melihat kehidupan manusia di dusun-dusun yang terdapat di kaki Pegunungan Cin- ling-san. Pada suatu pagi, Han Lin berlatil silat tangan kosong di dalam taman di belakang pondok. Setelah dia berada di puncak sebagai murid Thai Kek Siansu anak ini membantu gurunya menanan sayur mayur dan rempah-rempah bahan obat, juga dia membuat sebuah taman bunga. Dengan gerakan yang lembut dari indah Han Lin berlatih silat. Dia hanys mengenakan celana tanpa baju. Tubuhnya yang tegap walaupun kurus tampak berkilau oleh keringat karena dia telah berlatih silat sejak fajar menyingsing tadi.

Setiap kali berlatih silat, Han Lin selalu ingat akan ucapan gurunya tentang Ilmu silat. "Ilmu silat adalah perpaduan antara keindahan dan kesehatan. Keindahan seni tari, keindahan gerak seni bela diri, kesehatan jasmani dan kesehatan rohani. Tanpa adanya empat unsur itu, Ilmu silat akan menjadi buruk, kasar dan condong mengarah perbuatan jahat dan sesat."

Han Lin selalu teringat akan ucapan mi, maka kalau dia berlatih ilmu silat, ke empat unsur itu seolah menyatu dalam dirinya. Dia selalu bergerak dengan lembut dan indah namun di balik keindahan itu terdapat pertahanan atau perlindungan diri yang kuat. Tubuhnya terasa segar dan sehat, dan jiwanya tenang tenteram penuh damai karena pikiran atau lengkapnya, hati akal pikirannya bagaikan air telaga yang dalam, diam tidak terdapat banyak keriput yang dapat menimbulkan gelombang.

Posting Komentar