Halo!

Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Chapter 25

Memuat...

Bagi ahli silat yang punya landasan kuat begitu diserang secara reflek lantas timbul reaksi. Begitu mencengkeram urat nadi Piau-siauya lantas membentak: "Bocah goblok menggelinding keluar !" ia lancarkan jurus Tay-cui ui jiu hendak melemparnya keluar pintu, mendadak terasa lengan Hong thian-lui berubah sekeras baja, kelima jarinya yang mencengkeram dengan tenaga penuh tergetar lepas oleh daya perlawanan musuh.

Hong-thian lui menggentakkan kedua lengannya, ia pun membentak: "Kau usir aku, aku malah tak mau pergi !" meski lwekang Piau-siauya cukup tinggi mana kuat menandingi tenaga pembawaan Hong thian-lui, seketika ia terhuyung beberapa langkah lekas lekas ia kerahkan tenaga daya berat untuk mengendalikan badan.

Kedua penyambut tamu itu berteriak: "Wah kurang ajar, berani pukul Piau-siauya lagi !"

Tiga murid Lu Tang-wan yang ikut keluar bersama Piau-siauya tadi memburu maju, sambil menggerung besar serempak mereka merangsek.

Dari malu Piau-siauya menjadi gusar, hardiknya: "Kalian mundur, biar kuhajar bocah keparat ini !"

Hong thian lui juga naik pitam, gertaknya: "Jelas kau mencari gara-gara, kenapa hendak memberi pengajaran pada aku? Baik, mari maju, layani kepelanku!"

Dikata lambat kenyataan sangat cepat, sementara itu Piau-siauya sudah menerjang maju, sekaligus dua tinjunya menghantam. Hong-thian-lui kenal pukulan lihay orang, adalah Hun-kin-joh-kut (mengedot urat menyeleo tulang) keruan hatinya makin berang, pikirnya: "Kalau dia tidak kuhajar, ia anggap aku gampang dihina dan dipermainkan. Tapi paman Lu adalah Ih tionya jangan aku melukai dia."

Dengan gaya Toh bau-ciat ka, Hong thian lui menekuk dengkul menurunkan tubuh, begitu pundaknya turun secepat kilat badannya berputar seperti ulur tangan balas mencengkeram. Namun kepandaian Piau-siauya tidak lemah, setelah kecundang, ia insyaf bahwa Lwekang Hong-thian lui lebih unggul, mana dia berani mengadu kekerasan lagi? selicin belut ia berputar kesamping, sebat sekali tangannya mencengkeram Joan-yau-hiat Hong-thian lui, jalan darah pelemas tubuh. Dengan loncatan harimau menerkam, Hong thian lui loncat tinggi, beruntun kedua kakinya menendang berantai mengarah kepala orang. Terdengar suara "Bret!" baju kasar Hong-thian lui dicengkeram sobek, sebaliknya tendangan Hong-thian lui mengenai tempat kosong.

Ketiga murid Lu Tang-wan bersorak gembira: "Bagus, hajar saja kunyuk kurang ajar ini !" belum hilang suara mereka, Hong thian-lui menghardik, dua telapak tangan didorong bersama, untung tidak sampai mengenai Piau-siauya, namun sempoyongan mundur terus mundur tanpa dapat menguasai tubuh lagi.

Jelas ia bakal jatuh terjengkang. Hong-thian-lui jadi menyesal, batinnya : "Tenaga Bit-le-ciangku terlalu besar, semoga tidak sampai membuatnya cidera." baru saja hendak maju menolong, tiba-tiba seseorang berlari bagai terbang dari dalam, sebelah tangannya menekan punggung Piau-siauya, sehingga tubuhnya yang terhuyung mundur terus itu terhenti. Padahal dorongan Piau-siauya yang sempoyongan mundur itu sangat besar, namun dengan sebelah tangan orang itu dapat menahan daya tekanan yang begitu besar, sementara dia berdiri tegak tanpa bergeming.

Mengangkat seberat itu bagai seenteng asap, betapa matang dan tinggi kepandaian orang ini, sungguh Hong-thian-lui kagum dan memuji dalam hati. Waktu ia angkat kepala, dilihatnya seorang tua dengan jenggot kambing tiga baris menjuntai turun dari dagunya. Lapat-lapat Hong-thian-lui masih kenal paman Lu yang pernah dilihatnya waktu kecil dulu, kelihatannya seperti yang dilihatnya sekarang, tidak banyak berobah.

Setelah mengatur napas, Piau-siauya berkata : "Ih-tio, bocah ini bertingkah disini! Kuminta dia pergi sebaliknya malah memukul aku."

"Apakah paman Lu ?" seru Hong-thian-lui, "aku tidak pukul mereka, justeru mereka yang memukul aku !"

"Siapa kau ?" suara Lu Tang-wan serak berat.

Hong-thian-lui baru sadar bahwa dia belum memperkenalkan diri, setelah berapa tahun, jelas Lu Tang-wan tidak mengenalnya lagi. Cepat ia berkata : "Aku Ling Tiat-wi, ayah ada kirim surat untuk paman. Sengaja aku diutus kemari menyampaikan selamat ulang tahun kepada kau orang tua."

Lu Tang-wan tertegun sebentar sambil mengerut alis, tiba-tiba ia berkakakan katanya : "O, kiranya kau adalah Tiat-wi. Ini betul-betul salah paham belaka. Mari bicara dalam saja."

Piau-siauya menjadi kaget, serunya : "Orang ini . . siapakah dia ?" sebetulnya dia hendak bilang 'gendeng', melihat gelagat merubah haluan, karena Ih-tio sudah kenal bocah goblok itu, terpaksa ia pun ganti sebutan.

Kedua penyambut tamu itu menjadi kikuk dan malu-malu, katanya : "Dia tak sudi menyebut nama ayahnya, tak mau serahkan suratnya kepada kami, kami sebelum bertemu dengan kau orang tua, betapapun kami tak berani beri ijin kepadanya masuk kedalam.''

Lu Tang-wan maklum duduk perkara sebenarnya, iapun tertawa-tawa, katanya : "Dia putra seorang sahabat kentalku, agaknya baru pertama kali ini keluar pintu, tidak mengenal adat istiadat kaum Bulim, pandanglah mukaku, jangan salahkan dia." lalu ia berkata lagi sembari tersenyum riang : "Tiat-wi, watakmu masih seperti kecil, tapi cukup ceroboh juga."

Akhirnya Hong-thian-lui berhasil bertemu dengan Lu Tang wan. Lu Tang-wan begitu ramah pula terhadapnya, rasa marahnyapun lantas hilang. Kalau dipikir pikir memang bukan salah penyambut tamu itu, maka ia merasa menyesal dan risi malah, beruntun ia mengiakan dan minta maaf kepada kedua penyambut tamu itu.

Kata Lu Tang-wan tertawa: "Tanpa berkelahi kalian takkan berkenalan, mari berjabatan. Dia adalah keponakanku, bernama Khu Tay-seng."

Khu Tay-seng berkata: "Saudara Ling, pepatah mengatakan yang tidak tahu tak bersalah. Tadi aku ceroboh dan kurang hormat, maafkan jangan kau berkecil hati, ilmu silatmu cukup tinggi, sungguh aku sangat kagum. Kalau ada senggang harap suka memberi petunjuk !" sikapnya ramah beda jauh dengan sikap kasarnya tadi.

Jantung Hong-thian-lui masih kebat-kebit kawatir Khu Tay-seng menjajalnya lagi, dia ulur tangan untuk berjabatan. Kali ini Khu Tay-seng berlaku simpatik dan cukup hormat sedikitpun tidak kerahkan tenaga dalam. Justru sikap Hong-thian-lui yang tegang dapat dilihat Lu Tang-wan, terasa bahwa waktu Hong-thian-lui cepat dan kurang wajar, dalam hati ia membatin: "Maklum bocah kampung, baru keluar lantas membuat onar dan lucu."

Selanjutnya Hong-thian-lui unjuk hormat kepada Lu Tang-wan, Lu Tang-wan berkata; "Tak usah sungkan !" enteng saja ia jinjing dan membangunkan Hong-thian-lui. Namun demikian Hong thian lui masih berhasil menekuk dengkul dan membungkuk tubuh setengah hormat. Diam-diam Lu Tang-wan sudah menjajal Lwekangnya, ternyata memang lihay, hati rada terhibur dan senang, katanya; "Mari ikut aku !"

Khu Tay-sengpun ikut masuk.

"Tay-seng !" kata Lu Tang-wan, "keluarlah bantu menyambut tamu. Kalau ada tamu agung datang, mintakan maafku kepada mereka, aku perlu sedikit tempo baru bisa keluar lagi."

Khu Tay-seng jadi uring-uringan, batinnya: "Entah bocah dari mana dia, Ih-tio bersikap begitu ramah kepadanya, nanti biar kucari tahu kepada bibi, tentu beliau memberi tahu kepadaku." terpaksa ia mengiakan, lalu keruang tamu.

Lu Tang-wan membawa Hong-thian-lui ke sebuah kamar rahasia, tanyanya: "Apakah ayah dan gurumu baik-baik?"

"Baik, banyak terima kasih akan perhatian paman. Inilah surat ayah untuk disampaikan kepada kau orang tua." demikian kata Hong-thian-lui menyerahkan surat ayahnya.

Lu Tang-wan terima surat itu, sebelum dibuka ia berkata: "Aku bersama ayah dan gurumu adalah sahabat lama, setelah ada disini, anggap seperti orang sendiri. Tapi jangan sekali kali kau mengatakan bahwa kau adalah putra Ling Ho, demikian juga nama gurumu jangan kau sebut."

"Paman jangan kawatir. Siautit paham!" Setelah memberi pesan Lu Tang-wan membuka sampul surat serta membacanya sekali. Dari mula sampai akhir Hong thian lui memperhatikan wajah, tampak orang hanya sedikit mengerut alis, tanpa bicara apapun juga.

Hong-thian lui berpikir: "Entah apa yang ditulis dalam surat itu. Kelihatannya paman Lu kurang senang. Sesuai pesan ayah, tak usah kuceritakan tugasku ke Liang san mencari Ping-hoat itu. Setelah perayaan ulang tahunnya usai segera aku harus pulang."

Seperti mempertimbangkan sesuatu, pelan-pelan Lu Tang wan melepit surat itu, lalu disimpan dalam bajunya, katanya: "Surat ayahmu ini apakah pernah kau baca?"

"Tidak. Entah apa yang dikatakan ayah?" tanya Hong-thian-lui.

Pertanyaan ini sengaja hendak mengartikan bahwa bukan saja dia belum pernah baca, ayahnyapun tidak menyinggung isi surat itu.

Lu Tang-wan tersenyum, ujarnya: "Bukan soal penting, dia minta aku menyapa dan meniliki kau. Sebenarnya antara kawan lama masa perlu basa basi dan sungkan segala !" Sikapnya berubah ramah dan dekat lagi, meski tidak seramah waktu bertemu tadi, betapa pun tidak dingin.

Lu Tang-wan membuka pintu memanggil seorang pelayan, katanya tertawa: "Tiat-wi, sepanjang jalan ini tentu kau amat lelah. Pergilah kekamar belakang, istirahatlah dan ganti pakaian yang bersih. Para tamu yang datang hari ini tokoh-tokoh kosen yang kenamaan dalam kalangan persilatan, setelah ganti pakaian, nanti ikut aku keluar. Yah, kuanggap kau sebagai keponakan sendiri, jangan kau salah paham."

Lalu ia berpesan kepada pelayan: "Tong-bwe ambilkan jubah baruku untuk ganti Ling-sauya, perawakanku hampir sama dengan kau, mungkin bajuku bisa kau pakai."

Baju yang dipakai Hong-thian Iui sudah butut dan sobek lagi, waktu berkelahi dengan Khu Thay seng dicengkeram dilengannya, dalam hati ia membatin: "Paman Lu kuatir aku bikin malu, tapi bajuku ini memang juga harus kuganti, baru enak bertemu dengan tamu, tapi seorang pelayan harus meladeni aku ganti pakaian, ah, sungguh berabe dan malu !"

Selama hidup belum pernah Hong thian-lui diladeni oleh pelayan, tanpa merasa mukanya menjadi merah jengah.

Lu Tang wan tahu dan tertawa geli dalam hati, pikirnya: "Maklum orang desa!" segera ia berkata pula: "Tiong bwe, bawa Ling Siauya kekamar tulisku, keluarkan beberapa stel pakaianku supaya dipilih, lalu kau panggil Siocia, suruh segera menemui aku."

Tahu tak diladeni, Hong thian lui merasa lega.

Dalam pada itu Khu Tay seng melayani para tamu dengan hati kurang tenteram. Ih-tio dengan bocah goblok itu sedang bicara dikamar rahasia, sehingga semangatnya kendor. Kebetulan datang dua tokoh persilatan yang kenamaan dan punya kedudukan tinggi dengan alasan ini segera ia masuk kedalam hendak mencari tahu. Sebetulnya Lu Tang-wan tak perlu menyambut kedua tamu ini.

Khu Tayseng berhubungan dekat dengan keluarga Lu, sudah bisa keluar masuk seperti rumah sendiri. Tapi dia tahu hari ini luar biasa, sikap yang diutarakan Lu Tang-wan jelas tidak suka ada orang ketiga hadir ditengah mereka, mendengarkan percakapannya dengan bocah goblok itu. Takut membuat marah Ih thionya, Khu Tay seng tak berani masuk kedalam kamar rahasia itu, sesuai rencana semula ia menemui bibinya lebih dulu, supaya bibinya yang memanggil sang suami. Sekaligus mencari tahu asal usul bocah she Ling itu.

Diluar kamar suami isteri Lu Tang-wan adalah sebuah taman kembang, dalam taman ini dibangun sebuah gunung palsu dikelilingi pepohonan yang cukup rimbun. Setelah melewati pintu bulan sabit, tiba-tiba terdengar percakapan lirih Lu Tang wan dan istrinya didalam kamar.

Walau percakapan mereka lirih, sejak kecil Khu Tay-seng sudah berlatih senjata rahasia semacam Bwe hwa ciam dan lain-lain, pendengarannya amat peka, ia dengar percakapan itu dengan jelas.

Terdengar bibinya sedang bertanya : "O, sungguh aku tidak menyangka akan hal ini. Bagaimana keadaan keluarga pemuda she Ling itu, bagaimana pula martabatnya ?"

Khu Tay seng tertegun, batinnya, "Kenapa bibi menanyakan asal usul keluarga bocah she Ling itu?" diam-diam lantas ia sembunyi dibelakang gunung palsu mencari dengar percakapan mereka. Bila jejaknya konangan baru ia menggunakan alasannya tadi.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment