Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Chapter 23

CSI

Cin Liong-hwi ingin ikut berulang kali mohon kepada ayahnya. Diapun ikut menyokong Sutenya, sebab dia merasa sang Sute lebih cerdik, lebih meyakinkan untuk menunaikan tugas ini.

Tapi gurunya memilih dia, bermula ayahnya rasa sangsi namun beliau tidak mengukuhi pendapatnya, setelah dengar gurunya mengatakan bahwa anak Wi lebih dapat dipercaya, maka ayahnyapun tidak bersuara lagi.

Tiat-wi tahu akan sifat Sutenya, pikirnya keputusan ini pasti akan menimbulkan rasa sirik dan dengki Cin Liong-hwi. Betul juga setelah mereka keluar Sutenya menyindir dan mengolok dengan kata kata yang menyakitkan perasaan. Dia bilang dirinya bakal angkat nama dan menonjolkan diri, dia bilang ayahnya terlalu pandang rendah dirinya, tak sangka juga begitu rendah menilai diriku.

"Ayah mengatakan aku kurang dapat dipercaya, tapi ayahmu tidak membujuk atau menyampaikan kata-kata yang memberi muka kepadaku."

Dengan menahan rasa dongkol dan gegetun malam itu juga Hong-thian lui pulang kerumah sendiri, langsung ia bertanya kepada ayahnya, kenapa tidak bantu bicara atas kepentingan sang Sute.

Ayahnya menghela napas, ujarnya: "Justeru karena Sutemu selalu pintar, maka kita kawatir dan tidak rela menyuruhnya pergi."

Hong-thian-lui semakin heran,tanyanya : "Apa maksud ayah ?"

"Beberapa tahun terakhir ini, kalian tidak banyak membuat keributan, tapi waktu kecil, siapa yang lebih banyak membuat perkara ?" demikian tanya ayahnya.

"Boleh dikata semua gara-gara perbuatannya. Tapi akulah yang menerima getahnya."

"Benar, coba kau pikir, waktu masih kecil perkara sepele saja dia tidak berani bertanggung jawab atas perbuatan sendiri, mana bisa diharapkan menunaikan tugas berat dan penting ini?"

Hong-thian-lui terlongong sesaat baru berkata : "Tidak salah. Sute suka mempermainkan orang. Tapi tugas kali ini adalah untuk mengadu kecerdikan dan menguji keuletan dengan In-tiong-yan itu, kepintarannya bukankah sangat tepat untuk tugas ini ?"

Ayahnya menggeleng kepala, katanya : "Yang dikawatirkan hanyalah kepintaran kampungan belaka. Bocah kampung memang tidak terpelajar dan gampang dipermainkan olehnya. Tapi di Kota, kalau berhadapan dengan orang yang jauh lebih pintar, lebih cerdik dari dia, pasti gampang terjebak oleh tipu muslihatnya. Jauh lebih menguntungkan bila seseorang yang jujur polos dan kurang paham kelicikan memikul tugas ini. Dia harus punya keteguhan hati yang tidak gampang putar haluan, dengan bekal pembawaan ini, dia tidak mudah ditipu orang." melihat anaknya masih kurang paham segera ia menambahkan: "Umpamanya kau, kalau kau kebentur sesuatu kejadian yang kau anggap salah, betapa pun kau tidak akan mau mengalah bukan ?"

Hong-thian-lui mengiakan, berpikir sebentar lalu berkata : "Tapi, kadang kala terhadap Sute aku ada kekecualian juga."

Ayahnya tertawa, ujarnya: "Sudah tentu kau punya kekuranganmu sendiri, namun kau dapat membedakan benar atau salah, pilih kebijaksanaan dan membuang perbuatan jahat, sifat-sifat inilah kau jauh lebih dapat dipercaya dari Sutemu. Hanya pintar dan tidak punya pegangan menjadi manusia, kadang kala mendapat tekanan ancaman dan pancingan orang lain, sehingga mudah tertipu, untuk hal ini aku jauh mempercayai. Semula aku rada sungkan menghadapi sahabat lama, gurumu tidak mengijinkan anaknya pergi, kalau aku menyokong Sutemu, sebetulnya tindakanku kurang bijaksana. Demi suksesnya tugas penting ini maka selanjutnya aku tidak sungkan lagi. Maka kau harus paham, tugas dan bijaksana janganlah diabaikan. Nah, sekarang keputusan sudah ditentukan, tak perlu bicara lagi tentang Sutemu, mari aku ingin bicara urusan penting dengan kau.''

Setelah mendengar uraian panjang lebar ayahnya Hong thian-lui masih bingung dan kurang mengerti, tapi ia merasa masuk diakal dan dapat diterima, maka ia berkata : "Untuk pertama kali aku harus kelana, ada persoalan apa yang harus kuperhatikan, harap ayah suka memberitahu."

"Pengalaman Kangouw tidak bisa dipelajari secara teori, hanya secara praktek baru dapat kau selami. Untuk mencari Ping-hoat hanya mengadu untung dan nasib saja. Aku sendiri tidak berani menaruh harapan, yang hendak kukatakan adalah persoalan lain."

"Urusan apa ?" "Paman Lu Tang-wan, apakah kau masih ingat ? Waktu kecil kau pernah melihatnya bukan?"

Agak lama Hong-thian lui berpikir baru teringat, katanya : "Bukankah paman Lu yang pakai pipa cangklong untuk menutuk jalan darah itu?"

"Benar, paman Lu inilah yang hendak kupersoalkan. Dia adalah sahabat kental ayahmu, tapi sudah sepuluh tahun tak pernah jumpa. Paman Lu itu tidak punya putra, hanya seorang putri, beberapa tahun yang lalu Paman Sip It-sian pernah melihatnya, katanya wajahnya jelita ilmu silatnya juga lumayan, mungkin kau sendiri bukan tandingannya."

Hong thian-lui menjadi bingung, katanya : "Ayah, kau bicarakan paman Lu dan putrinya, sebetulnya punya sangkut paut apa dengan tugas yang harus kukerjakan itu?"

"Tanggal sembilan belas bulan delapan tahun ini adalah hari ulang tahun ke 60 paman Lu itu. Hari ini baru tanggal lima bulan tujuh, masih ada satu bulan, setelah usai tugas ini di Liang san, cepat kau pergi kesana. Ai, soal Ping hoat karya Go Yong itu, kita hanya patut berusaha."

"Bila secara kebetulan dapat kutemukan bagaimana?"

"Tak peduli kau berhasil tidak menemukan Ping-hoat itu, kau harus langsung ke Ciat kang menyampaikan selamat ulang tahun kepada paman Lu."

Lalu ia keluarkan sepucuk surat diserahkan kepada putranya, katanya : "Inilah sepucuk surat pribadi yang kutulis untuk paman Lu Tang-wan, simpanlah dalam baju, hati-hati jangan sampai hilang. Jikalau benar kau berhasil menemukan Ping-hoat itu, setelah jumpa dengan Lu Tang-wan, terlebih dulu kau serahkan suratku ini supaya dia baca. Setelah membaca surat ini, bila sikapnya manis dan ramah tamah, anggap kau sebagai keponakan sendiri, boleh kau beritahu persoalan ini kepada beliau. Sebaliknya bila sikapnya sungkan dan anggap kau sebagai tamu umumnya, jangan kau katakan kepadanya. Setelah perjamuan bubar segera kau harus pulang."

"Yah, bukankah kau tadi mengatakan paman Lu adalah sahabat karibmu ? Kenapa kau bisa beranggapan mungkin sikapnya dingin terhadap aku ?"

"Memang waktu muda dulu dia adalah kenalan paling erat dengan aku, tapi setelah puluhan tahun tak bertemu, apakah dia masih seperti dulu kala ?"

Sampai disini seperti ada sesuatu yang dipertimbangkan, rada lama kemudian baru bicara lagi: "Masih ada sebuah pesan yang harus kau ingat. Setelah sampai di rumah keluarga Lu, kecuali Lu Tang-wan, terhadap orang lain jangan kau katakan sebagai putraku. Demikian juga surat ini kecuali berhadapan langsung dengan paman Lu Tang-wan baru boleh kau serahkan kepada beliau."

"Kenapa begitu ?"

"Apa kau lupa bahwa moyangmu adalah pahlawan gagah Liang-san pek ? Sekarang belum cukup seratus tahun, pemerintah Kim masih mengawasi setiap keturunan orang orang gagah gunung Liang san. Banyak orang Kangouw yang tahu perihal diriku, lain dengan kau, orang she Ling dikolong langit entah berapa banyak, orang lain tidak menyangka bahwa Ling Tiatwi adalah keturunan Hong-thian lui Ling Tin dari pahlawan gagah Liang-san pek. Mana boleh kau sebutkan nama aslimu?"

"Ya, pesan ayah pasti kuperhatikan."

Lebih lanjut ayahnya berkata : "Selama puluhan tahun, aku tak berdaya untuk menyirapi keadaan paman Lu itu, karena situasi tidak mengijinkan. Kabarnya dia sudah punya seorang putri remaja yang ayu jelita."

Untuk kesekian kali ayahnya menyinggung putri Lu Tang-wan, Hong-thian-lui sulit ikut bicara, setelah berpikir ia bertanya : "Bukankah paman Sip It-sian juga keturunan orang Liang-san, kenapa dia tidak takut membawa bencana bagi keluarga paman Lu Tang wan, berani pula kerumah kita ?"

"Paman Sip adalah seorang pencuri sakti yang tiada bandingannya di dunia ini. Tidak pernah masuk ke rumah orang lewat pintu besar. Untuk bertemu dengan para sahabat lama juga selalu di tengah malam, selamanya tidak pernah mengejutkan para tetangga."

O^~^~^O

Teringat akan pembicaraan dengan ayahnya malam itu, tanpa merasa Hong thian-lui merasa pucuk surat yang disimpan dalam bajunya, batinnya: "Entah apa yang ditulis ayah dalam surat ini ?" adalah jamak bagi seorang muda yang ketarik akan sesuatu, bila hal ini terjadi pada Sutenya, tentu dia sudah membuka dan mencuri baca surat itu.

Hong thian-lui berpikir : "Syukur aku tidak memperoleh Ping hoat itu, di jalan tak usah kawatir menghadapi bahaya. Apa yang ditulis dalam surat ayah, setelah jumpa dengan paman Lu tentu dapat kuketahui." selanjutnya ia tidak banyak pikir lagi, dengan langkah lebar ia menuju ke Ciat-kang timur untuk menyampaikan sembah sujud kepada ulang tahun Lu Tang wan.

Sepanjang jalan ini tak pernah terjadi suatu apa, suatu hari tibalah dia dikampung halaman Lu Tang wan yang terletak di keresidenan Cing dian di Ciat kang timur pagi adalah itu perayaan hari ulang tahunnya.

Lu Tang-wan adalah seorang Busu kenamaan di Ciat-kang timur, begitu tiba di kampung halamannya, di jalan Hong thian lui mencari tahu pada penduduk yang ramah serta menunjukkan tempatnya.

Tapi waktu dia sampai di depan pintu besar gedung keluarga Lu, sesaat ia berdiri melongo.

Menurut anggapannya Lu Tang adalah Busu kampungan. Busu kampungan mesti tenar umumnya hidup sederhana tidak tinggal di gedung semewah ini. Di luar dugaan, tempat tinggal Lu Tang-wan persis rumah pejabat pemerintah atau hartawan besar, gedung yang megah dikelilingi tembok tinggi dengan berbagai cat warna warni, pintu besarnya dicat merah mengkilap, di luar pintu kanan kiri terdapat sepasang batu singa yang tinggi besar. Disebelah belakang sana kelihatan taman bunga dengan berbagai tanaman yang beraneka ragam.

Saat mana tamu-tamu undangan banyak yang sudah datang, didepan tinggal dua orang lagi, lalu gilirannya masuk. Baru saja kakinya menginjak undakan, salah seorang penyambut tamu maju menghadang.

Baju yang dipakai Hong-thian lui kasar warnanya luntur lagi, setelah menempuh perjalanan ribuan li jauhnya, maka pakaiannya kotor dan berdebu, dalam pandangan penyambut tamu itu, dianggap sebagai pengemis keliling.

"Hai, untuk apa kau kemari ? Minta arak atau sisa hidangan? Tunggu saja diluar," demikian bentak penyambut tamu itu.

Hong-thian lui tertegun, sesaat baru ia sadar maksud teguran orang, seketika merah wajahnya, jawabnya : "Aku bukan pengemis kedatanganku untuk menyampaikan selamat ulang tahun kepada paman Lu."

Penyambut tamu itu tertawa lebar, katanya kepada temannya : "Dari mana Lu cengcu punya keponakan rudin begini, apa kau pernah lihat ?"

Posting Komentar