Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Chapter 26

CSI

Terdengar Lu Tang-wan menghela napas, ujarnya : "Tentang keluarga bocah she Ling ini, aku agak sulit untuk menerangkan."

"Kenapa?" tanya Lu-hujin.

"Ayahnya bernama Ling Ho yang pernah kusinggung padamu dulu."

Lu-hujin terperanjat, katanya : "Bukankah Ling Ho keturunan pahlawan gagah Liang-san yang bernama Hong-thian-lui Ling Tin ?"

"Benar sebagai golongan pendekar dalam kaum Bulim, keluarga Ling adalah keturunan orang gagah. Merupakan keluarga kelas tinggi yang patut dihargai. Tapi bagi orang biasa tentu tidak berpandangan demikian."

"Beberapa tahun terakhir ini terhitung kita berhasil membangun rumah tangga yang sejahtera, betapapun kau harus hati-hati, jangan mengundang bencana."

"Waktu aku kelana di Kangouw pernah mendapat budi kebaikan Ling Ho. Terhadap anak seorang sahabat memangnya aku tidak pantas terima dan asuh dia ? Tapi kaupun tak perlu kawatir, aku sudah suruh dia tutup mulut !"

"Hidup manusia harus mengutamakan budi pekerti, sudah tentu kita harus sambut dan ladeni dia supaya jangan dianggap kita tidak berbudi dan tidak tahu tatakrama. Tapi meladeni dan soal nikah adalah berlainan, jangan dicampur adukkan."

Mendengar sampai disini mencelos perasaan Khu Tay-seng. Batinnya, "Soal nikah ? Jadi bocah busuk itu hendak melamar Piau-moay? Huh, katak buduk merindukan bulan !" Dugaan Khu-tay seng memang tidak salah. Dalam surat ayah Hong thian-lui memang melamar putri Lu Tang wan untuk dijodohkan dengan Hong-thian lui. Namun Hong thian-lui tidak tahu. Khu Tay seng anggap dia katak busuk merindukan bulan, ini terlalu dan fitnah belaka.

Jantung Khu Tayseng berdebar debar sembunyi dibelakang gunung, kupingnya dipasang lebih cermat.

Lu Tang-wan termenung sesaat lamanya baru bicara : "Ilmu silat tiat-wi memang lumayan, tadi aku menjajalnya sendiri. Soal martabatnya kelihatan polos dan jujur, sederhana lagi."

"Jadi kau sudah setujui dia ?" tanya Lu hujin dengan sikap dingin.

"Sayang bocah ini belum punya pengalaman, sikapnya kekanak-kanakan dasar bocah kampung."

"Kanak-kanak atau watak kampungan bisa dirobah, dia menetap disini, pelan-pelan dapat kau ajar dan bimbing dia, apa kawatir dia bakal tidak pintar ?"

"Lalu bagaimana maksudmu ?"

Tiba tiba Lu hujin tertawa dingin, ujarnya : "Tapi, kau lupa satu hal, putri kita itu sejak kecil bergaul intim dengan anak Seng, kulihat hubungan mereka sangat cocok dan setimpal. Beberapa waktu yang lalu, Toaci (ibu Tay-seng) pernah menyinggung soal perjodohan ini, kukatakan Giok-ji masih terlalu muda. Ai, hmm kalau tahu, tatkala itu seharusnya aku segera menerima lamarannya."

Kata-kata Lu-hujin laksana pil penenang urat syaraf, setelah mendengar ucapan bibinya Khu Tay seng merasa tentram, pikirnya, "Kiranya bibi penujui aku, ucapannya tadi hanya sindiran belaka."

Cepat Lu Tang wan menyanggah : "Aku kan tidak mengatakan harus menerima lamaran keluarga Ling, kenapa kau uring-uringan? Tapi ...."

"Tapi apa ?" "Ini soal masa depan Giok ji, menurut hematku biarlah dia sendiri yang menentukan pilihannya."

"Apa kau hendak beritahu soal ini kepadanya ?"

"Tidak. Aku hanya memberitahu kedatangan seorang putra sahabatku lama, supaya dia anggap Tiat wi sebagai abang sendiri. Soal selanjutnya, terserah kepada mereka kelak."

"Berapa lama kau hendak tahan dia disini ?"

"Terserah berapa lama dia suka tinggal di sini, masa enak aku mengusir pergi ?"

"Apa benar dia tidak tahu isi surat ini ?"

"Bocah itu bukan pembual, menurut nada kata-katanya bukan saja dia tidak berani membuka surat ini, ayahnya juga tidak menyinggung soal lamaran itu kepadanya.''

Lu-hujin lega, sekarang ia bisa unjuk seri tawa, katanya: "Begitupun baik, biar Giok-ji yang pilih calon suaminya. Sebagai ibunya aku dapat menyelami sanubarinya, Giok ji takkan memilih bocah gendeng itu !"

Sementara itu, Khu Tay-seng tengah membatin : "Piau-moay sejak kecil bergaul dengan aku, selama ini suka kepadaku. Bocah busuk itu merindukan bulan, Hah, biar dia mimpi di siang hari bolong. Tapi aku harus mencari akal untuk mengusir dia secepat mungkin."

Tengah ia menerawang cara bagaimana mengatur rencananya, mendadak terdengar derap langkah mendatangi, diujung taman muncul seorang gadis, sambil berjalan gadis itu berloncatan sambil memetik bunga dan daun-daun kembang.

Gadis ini adalah Piau-moaynya yang bernama Lu Giok-yau. Dari pintu bulan sabit jauh-jauh Khu Tay seng sudah melihat kedatangan sang Piau-moay, cepat-cepat ia mengkeret lalu melompat keluar dari atas tembok supaya tidak konangan jejaknya, setelah itu pura pura seperti baru datang dan muncul dari luar pintu, teriaknya : "Piau-moay !"

"Lho, kenapa kau tidak menyambut tamu diluar ?" tanya Lu Giok yau.

"Datang dua tamu, aku harus memberi lapor kepada Ih-tio."

"Ayah juga sedang menanti aku. Entah ada urusan apa dia panggil aku."

Mendengar percakapan mereka, segera Lu Tang wan berseru ; "Sungguh kebetulan kedatangan kalian, mari masuk!''

Setelah mereka didalam kamar, pertama-tama Lu Tang-wan tanya kepada Khu Tay-seng: "Orang macam apa yang datang?"

Khu Tay-seng menyebut nama dua orang tamu itu. Berkerut alis Lu Tang wan, ujarnya, "Kedua orang ini cukup ternama, tapi kau saja yang layani mereka."

"Mereka datang dari jauh, ingin sekali menyampaikan selamat pada Ih-tio, karena begitu besar keinginan mereka terpaksa aku masuk memberi laporan, harap Ih-tio maklum," demikian Khu Tay-seng mengada-ada.

"Kalau begitu boleh kau keluar dulu layani mereka." demikian sela Lu hujin.

Lu Tang wan juga tak memperpanjang persoalan, katanya : "Giok-ji, apakah Piauko sudah memberi tahu tadi datang seorang tamu. Tamu ini bukan tamu biasa, dia adalah putra seorang sahabat lamaku."

"O ya ? Piauko belum beritahu padaku. Anak sahabat lama yang manakah ?"

"Kau belum pernah melihatnya."

Tengah ia menimang nimang apakah perlu memberi tahu asal usul Hong-thian-lui di-hadapan Khu Tay-seng, tiba-tiba seorang pelayan berjalan masuk, yaitu Tong-bwe yang melayani Hong thian-lui.

Tanya Lu Tang-wan: "Ling-siauya sudah ganti pakaian belum?" dia sangka setelah memanggil si nona, pelayan ini melayani Hong-thian lui di kamar buku, baru sekarang balik kesini.

"Entahlah." sahut Tong-bwe, "Loya bukankah tadi kau suruh aku tidak usah melayani dia?"

"Lalu untuk apa kau kemari?"

"Aku baru saja keluar dari kamar Siocia dan ketemu Ting-taysiok yang sedang mencari Loya, dia suruh menyampaikan sepucuk kartu nama kepada kau. Menurut katanya kedua tamu ini tidak dikenal oleh penyambut tamu, katanya berwibawa dan angker, jadi mereka tidak berani menghalangi, mereka sudah disilahkan masuk."

Ting-taysiok adalah pengurus rumah tangga keluarga Lu. Setelah menjelaskan Tong-bwe menyodorkan sebuah kotak kepada majikannya.

"Dua tamu kenapa hanya sebuah kartu nama, siapakah nama mereka?"

"Menurut Ting-taysiok, seorang tua dan seorang muda, yang tua she Lian, yang muda adalah muridnya."

Begitu mendengar she Tian, berubah air muka Lu Tang-wan, lekas ia buka kotak kayu itu serta mengeluarkan sebuah kartu nama.

Dari samping Khu Tay-seng ikut melihat, tampak kartu nama itu bergambar dua bendera silang warna hitam, sebelah atas bendera hitam itu terdapat seekor elang hitam sedang terbang. Kartu nama itu tidak tertera nama terang, kecuali gambar itu terdapat satu huruf 'Lian' yang cukup besar.

"Ih-tio." kata Khu Tayseng, "Siapakah orang ini tidak tahu sopan santun?"

Lu Tang wan seperti tidak dengar pertanyaannya, gumamnya: "Sudah kuduga dia bakal datang mencari onar, tak nyana begitu besar nyalinya tidak pada hari-hari biasa justru dia pilih hari ini."

Lu Giok-yau ketarik, tanyanya: "Yah, Piauko sedang tanya kau. Macam apakah orang she Lian ini?"

Lu Tang-wan menghela napas, ujarnya: "Kalian tak usah turut campur soal ini. Tay seng coba kau kekamar buku, apakah Ling Tiat-wi sudah ganti pakaian, kau temani dia ngobrol saja."

"Bukankah kau hendak perkenalkan dengan para sanak dan sahabat?" tanya Tay seng.

"Semula ingin kuperkenalkan dengan para sahabat, dengan adanya soal ini tunda dulu kalau segala urusan sudah beres."

Diam diam girang hati Khu Tay-seng katanya dalam hati; "Kepandaian bocah itu lebih tinggi dari aku, kalau Ih tio ajak dia bercengkerama dihadapan sekian banyak orang-orang gagah mungkin aku asor dibanding dia. Nah, dengan kesempatan ini akan mengorek sedikit keterangannya.'' segera ia mengiakan lalu mengundurkan diri.

Walaupun Lu Tang-wan tidak memberi tahu siapa sebenarnya tamu she Lian itu, namun Khu Tay seng sudah maklum, tentu seorang musuh besar Ih-tionya yang mencari perkara. Kalau Khu Tay-seng paham, sudah tentu Lu Giok-yau juga mengerti.

Tak kuasa mengendalikan ingin tahunya Lu Giok-yau bertanya; "Yah, mari keluar bersama, hadapi tamu tak diundang ini."

"Untuk apa kau keluar?"

"Bantu kau kan ! Yah, betapa tenar dan tinggi kedudukanmu di Bulim, mana boleh berkelahi dengan orang? Biar aku saja yang layani dia !"

Lu Tang-wan tersenyum getir, ujarnya: "Memang kau benar, orang biasa aku takkan sudi turun tangan. Tapi untuk tamu ini mau tidak mau harus kulayani sendiri."

Terperanjat Lu Giok-yau, tanyanya: "Tokoh macam apakah dia? Yah, begitu penting sampai kau harus turun tangan?"

Lu Tang-wan menarik muka, katanya, "Sudah kuberitahu, jangan kau ikut campur. Ibumu ingin bicara dengan kau. Kau harus patuh tinggal didalam kamar saja!"

Lu Giok-yau merengut, hatinya uring-uringan; "Kau larang aku keluar, nanti sebentar aku akan lolos kesana." di saat ia jengkel inilah Lu Tang-wan sudah melangkah keluar.

Para tamu dalam ruang perjamuanpun heran-heran, hati mereka dirundung pertanyaan seperti Lu Giok-yau. "Orang macam apakah sebetulnya she Lian ini?"

O^~^~^O

Orang ini mengenakan mantel kulit serigala, seperti muridnya itu pakaian mereka serba parlente bagai hartawan besar.

Posting Komentar