Temannya itu segera menjawab : "Kau pamili atau kenalan Lu cengcu ? Coba sebutkan namamu."
"Aku bernama Ling Tiat-wi, mohon dilaporkan akan kedatanganku kepada Lu-locianpwe." dia takut dianggap mencari sedekah, maka ia mengubah sebutan 'paman Lu' menjadi 'Lu locianpwe'.
Kedua penyambut tamu saling pandang dan menyengir tawa, yang bicara duluan tadi berkata : "Tidak sukar memberi lapor, kau punya kartu nama tidak ?" bagi seseorang yang punya kartu nama, biasanya ditaruh dalam sebuah kotak kayu penyambut tamu, ini sudah tahu dan sengaja tanya, jelas hendak mempersulit dan mencari gara-gara.
Serta merta Hong-thian-lui melengak lagi : "Kartu nama apa?" tanyanya.
Penyambut tamu itu tertawa dingin, jengeknya : "Kartu nama yang tercantum nama besarmu. Kartu nama saja tidak tahu, kau mau mengacau ya ?"
Sebetulnya apakah kartu nama itu Hong-thian lui tahu. Tapi dia tidak pernah berpikir untuk menyiapkan kartu namanya. Ayahnya juga tidak menyangka dia bakal menghadapi kesulitan seperti sekarang. Lu Tang wan adalah sahabat karibnya, dengan sepucuk surat pribadi yang dibawa anaknya, ia kira sudah jauh dari cukup.
"Aku punya sepucuk surat untuk disampaikan kepada Lu locianpwe, setelah bertemu tentu dia tahu siapa aku ini." terdesak oleh keadaan terpaksa Hong-thian-lui memberikan alasannya.
"Surat siapa itu ?"
"Dari ayahku!" "O, tokoh kenamaan macam apakah itu, harap perkenalkan." dengan nada menghina dan cengar cengir penyambut tamu itu bertanya.
Wanti-wanti sang ayah pernah berpesan, namun kedua penyambut tamu ini bersikap tengik dan kurang ajar sungguh membuat jengkel dan dongkol, seumpama Hong thian-lui seorang batu juga berkobar amarahnya.
"Aku minta kalian masuk memberi laporan, bukan untuk diperiksa indentitasku?"
"Hah, bocah busuk macam kau unjuk tampang garang apa ? Kutanya bapakmu berarti memberi muka padamu, kecuali kau anak haram, kalau tidak masa tidak mau sebut nama ayah sendiri?"
Menurut lazimnya, penyambut tamu tanya nama ayahnya adalah suatu kehormatan. Tapi nada bicara dan sikap kedua penyambut tamu ini amat tengik dan menghina tak heran kalau dia berang.
Hong thian Lui seorang pemuda yang patuh dan bakti terhadap orang tua, mana terima orang menghina ayahnya ? Apalagi mendengar 'anak haram' segala, keruan ia naik pitam, kedua biji mata merah membara bentaknya : "Keparat, apa kau bilang?" kedua tinju berkeretekan.
Kedua penyambut tamu ini mahir silat juga, tapi melihat sikap garang Hong thian-lui yang bengis, mereka menjadi gentar, kata salah seorang : "Bocah kampung, ajak berkelahi ?" seorang yang lain berteriak ; "Kunyuk, berani bertingkah di sini, bosan hidup ya ?" mulut menggertak kaki menyurut mundur.
Kedua orang penyambut tamu ini berkepandaian lumayan didaerah Ciat-kang timur, pergaulan luas dan banyak pengalaman, namun tidak punya kepandaian sejati. Karena mereka pandai bicara dan mengerti tata tertib, maka Lu Tang Wan minta mereka membantu sebagai penyambut tamu. Meski rendah kepandaian, namun mereka punya pandangan tajam, melihat Hong thian-lui siap berkelahi, jari jarinya berkuretan, maka bocah ini tentu sukar dilayani, pihak sendiri belum tentu mampu melawan.
Ingin rasanya Hong-thian lui menghajar mereka, mendadak teringat olehnya akan nasehat gurunya, sabar dan jangan mengumbar adat, serta ia berpikir : "Pukul anjing juga harus pandang muka majikannya, kalau kuhajar, maka malu rasanya bertemu dengan paman Lu nanti."
Mengingat segi-segi yang merikuhkan, Hong-thian-lui tidak hiraukan mereka, langsung menerobos masuk saja.
"Hai, apa kerjamu di sini ?" ingat akan tugasnya, meski insyaf bocah ini sukar dilayani, kedua penyambut tamu itu menjadi nekad, terpaksa mereka merintangi.
"Kalau kalian tidak mau memberi lapor, biar aku masuk sendiri." demikian kata Hong-thian-lui.
"Tidak boleh !" teriak kedua penyambut tamu itu, setelah saling memberi lirikan mata serempak mereka mengerahkan tenaga lantas mendorong kearah Hong thian-lui.
Dalam hati mereka berpikir: "Tokoh-tokoh silat dalam keluarga Lu sekarang banyak sekali, jangan sampai bocah ini mengambil keuntungan. Kalau benar-benar dia menerobos masuk, betapa malu kami dibuatnya!"
Siapa tahu, bila mereka tidak mengerahkan tenaga masih mending, karena didera tenaga gabungan mereka, serta merta timbul reaksi dari tubuh Hong-thian lui, kontan kedua penyambut tamu itu terpental jungkir balik ditanah.
Waktu merangkak bangun, hidung berdarah dahi benjot, untung tidak kena batu, kalau tidak akibatnya pasti lebih runyam, setelah berdiri mereka berkaok-kaok: "Hai, kawan-kawan lekas datang. Ada orang berani bertingkah di sini!"
Sebetulnya tanpa dipanggil beberapa orang sudah memburu keluar, yang berjalan paling depan adalah seorang pemuda berjubah mewah dan baru.
Kedua penyambut tamu itu segera berteriak lagi: "Bagus, Piau-siauya telah datang! Piau siauya, bocah ini berani bertingkah disini !"
Piau siauya yang dimaksud adalah pemuda bersikap halus dan sopan santun, tahu tata krama, tanyanya: "Siapa kau, kenapa memukul orang?"
Hong-thian-lui tidak mengira kedua penyambut tamu itu jatuh tergulung, tanpa merasa ia jadi melongo, sahutnya tercekat: "Aku tidak memukul, mereka sendiri yang jatuh bangun."
Piau siauya inipun seorang ahli silat, sekali pandang lantas tahu bahwa ucapan Hong-thian-lui tidak bohong. Dalam hati ia berpikir: "Meskipun kedua orang ini tidak punya kepandaian sejati, tapi bocah ini hanya mengandal tenaga tolak dalam-dalam melontar mereka jatuh, kepandaiannya cukup lumayan juga. Siapa tahu dia murid seorang tokoh Kang-ouw, coba kutanyakan dulu."
Tanpa menanti orang bertanya Hong-thian lui berkata lebih dulu: "Aku datang untuk menyampaikan selamat ulang tahun kepada Lu-locianpwe."
Kedua penyambut tamu segera menimbrung, "Dia tidak punya kartu nama, mau menerjang masuk saja, bukan salah kami kalau merintangi dia. Dia bilang ada sepucuk surat tulisan ayahnya yang disampaikan kepada Lu-loya, kutanya siapa nama ayahnya kan jamak dan menjadi kewajiban kami, entah punya penyakit sinting atau kesurupan setan gentayangan, bocah ini memukul orang. Piau siauya, harap kau memberi keadilan."
Piau-sauya tersenyum, katanya: "Mungkin hanya salah paham saja. Hari ini adalah ulang tahun Ih-tio, ada orang ingin menyampaikan 'Selamat? tak peduli siapa dia, betapapun jangan kita membuat kecewa orang. Namun tamu terlalu banyak, Ih-tio tiada waktu melayani para tamunya. Kau punya surat dari ayahmu, apa boleh serahkan pada aku untuk kusampaikan?" Jelas maksudnya, nanti setelah Lu Tang wan melihat suratnya baru bisa memberi putusan apakah akan menemui dia tidak.
Melihat orang bicara sopan, punya aturan lagi, Hong-thian-lui merasa simpatik, tapi sang ayah berpesan untuk menyampaikan suratnya langsung kepada Lu Tang wan, maka segera ia berkata: "Aku yang rendah ingin menyerahkan langsung kepada Lu-locianpwe sendiri. Aku hanya mohon bertemu sebentar, kukira tidak akan mengganggu Ih-tiomu."
Piau-siauya rada kurang senang, ia tertawa lebar, katanya: "Urusan besar kecil dalam keluarga ini, biasanya aku yang urus. Tuan tak percaya padaku, silakan masuk saja. Oh, ya, aku belum tanya nama besar saudara, boleh bukan?" sambil bicara ia uIur tangan berjabatan dengan Hong-thian-lui.
Tiga diantara beberapa orang yang ikut keluar adalah murid Lu Tang-wan, sembari ketawa dingin mereka berkata bersama: "Bocah ini tidak tahu adat, saudara Khu, kenapa kau sungkan terhadapnya?"
Berjabatan adalah tata kehormatan yang layak Hong-thian-lui sedikitpun tidak curiga dengan wajar ia ulur tangannya untuk jabatan, tak nyana begitu saling genggam segelombang tenaga menggetar sehingga pergelangan tangannya sakit kesemutan. Berbareng kelima jari Piau siauya laksana jepitan besi mencengkeram urat nadinya.
Karena Hong-thian-lui terperanjat, baru sekarang ia insaf bahwa orang sengaja menjajal kepandaiannya.
Dikata ?Jajal? sebenarnya kurang tepat. Untuk jajal seharusnya cukup saling raba atau tutul saja, tapi dalam keadaan tanpa siap siaga lawan mendadak melancarkan sergapan licik dengan kekuatan tenaga dalamnya, malah mencengkeram nadi pergelangan tangannya lagi tujuannya jelas untuk mendesak posisinya menjadi pihak yang digempur tanpa balas atau melawan, hakikatnya tidak mungkin dikatakan ?jajal? atau adu kepandaian segalanya.