Siauw Keng, gadis yang berpakaian laki-laki yang kedua itu, hanya tersenyum dan memandang suhunya, seakan- akan meminta izin. Tapi Ciu Pek In berkata kepada Lie Eng,
"Cin-siocia, kita sudahi saja segala permainan berbahaya ini. Kita bukanlah musuh. Kalian bertiga dengarlah dan boleh sampaikan kepada Cin-ciangkun. Kami sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan dia, bukan berarti kami takut kepadanya, tapi kami anggap Cin-ciangkun bukanlah musuh kami."
"Kalau tidak bermaksud menyerang markas kami, untuk apa kalian berkumpul di luar tembok besar ini?" Lie Eng memotong dengan suara keras.
Tertawalah Ciu Pek In mendengar kata-kata nona itu.
"Ha-ha. Ayahmu telah kena kami tipu dengan siasat kami. Memang tadinya pemimpin kami, Thio Sian Tiong yang namanya tentu telah kau dengar, berkumpul di sini dengan semua anggauta. Maka kaisar lalu mengerahkan tenaga ayahmu dan barisannya untuk mencegat di tembok besar hingga lima li panjangnya. Tapi apa kau-kira orang dapat menjaga sepanjang tembok yang laksaan li panjangnya ini? Thio-enghiong telah memimpin barisannya menerobos melalui tembok besar dari sebelah barat dan yang sekarang berada di sini hanyalah beberapa kaum tani dan kawan-kawan yang datangnya menggabungkan diri terlambat. Pada waktu ini, barisan Thio-enghiong telah masuk ke pedalaman dan entah telah menyerbu sampai di mana. Ha-ha-ha..”
Pucatlah muka Lie Eng mendengar ini. Ayahnya telah kena tipu. Mereka semua telah menjaga beberapa lama di tempat itu dengan sia-sia belaka.
"Kalau memang kami mengambil sikap bermusuhan, apakah kalian kira akan dapat keluar dari tempat ini?" Ciu Pek In kembali tertawa. Lie Eng mendengar semua ini lalu cepat membalikkan tubuh dan lari pulang, diikuti oleh Ouwyang Bu.
"Sumoi...... Bu-te...... Tunggulah sebentar." Tapi kedua anak muda itu terus lari cepat tanpa menoleh lagi. Ouwyang Bun ragu-ragu hendak menyusul pula, tapi tiba- tiba Ciu Pek In berkata kepadanya,
"Ouwyang-hengte, dengarlah kata-kataku sebentar. Kau adalah seorang muda yang panjang pikirannya dan cerdik, apakah masih juga belum dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah? Masih tidak percayakah kau bahwa perjuangan para pemberontak ini suci dan mulia?"
Dan tiba-tiba Ouwyang Bun mengurungkan niatnya untuk mengejar adik dan su-moinya.
"Bagaimana siauwte tidak merasa ragu dan bimbang? Memang kalau melihat lo-cianpwe dan saudara-saudara yang berada di sini, siauwte merasa tak percaya bahwa cuwi sekalian tergolong orang-orang yang jahat, perampok dan mengacau rakyat seperti yang sering kudengar dikatakan orang. Akan tetapi sebaliknya, apakah orang-orang seperti suhu, susiok bahkan ayahku sendiri dapat keliru dan salah?"
Ciu Pek In tertawa sebelum menjawab. "Aku tidak pernah mempersalahkan susiok-mu. Cin-ciangkun adalah seorang perwira dan perajurit dan memegang teguh tugas kewajibannya sebagai seorang perajurit sejati. Juga suhumu tak dapat dipersalahkan, karena selain orang tua itu selalu berada di atas gunung hingga tak pernah melihat keadaan dunia ramai dan tidak tahu pula kelaliman raja dan para pembesar korup, juga karena ia percaya penuh kepada sute- nya, yakni Cin-ciangkun, yang dianggapnya sedang bertugas membasmi segala gerombolan perampok jahat. Adapun tentang orang tuamu, yah, aku tak dapat memberi sambutan apa-apa terhadap pandangan seorang hartawan besar seperti ayahmu itu."
Diam-dfem Ouwyang Bun merasa heran sekali terhadap orang tua yang agaknya mengerti segala apa tentang dirinya dan guru serta orang tuanya.
"Anak muda, akupun tidak menyalahkan kau, karena kau masih hijau dan belum berpengalaman. Cobalah kau merantau dan lihatlah dunia dengan segala isinya ini sambil mempergunakan pertimbanganmu, maka kau akan mengerti mengapa orang seperti kami sampai memberontak terhadap kaisar yang memegang pemerintahan pada masa ini."
Dengan hati bingung dan pikiran kacau, Ouwyang Bun akhirnya minta diri dan lari pulang ke markas Cin- ciangkun. Ternyata sumoinya yang sudah tidak tahan lagi pada malam itu juga pergi ke kamar ayahnya dan membangunkan orang tua ini lalu menceritakan pengalamannya.
Cin Cun Ong mendengar ini menjadi marah sekali dan ia berjalan hilir-mudik di dalam kamarnya sambil menggigit- gigit bibir dengan gemas.
"Kurang ajar. Pantas saja mereka tak pernah menyerang, tidak tahunya mengatur muslihat curang. Celaka, kita harus cepat-cepat mundur untuk menjaga serangan mereka di pedalaman."
Ketika Ouwyang Bun tiba di markas, ternyata panglima tua itu telah mengumpulkan semua perwira dan pemimpin pada malam hari itu juga.
"Besok pagi-pagi, di waktu fajar menyingsing, kita semua harus mundur dan berpencar menjadi lima. Sebagian harus tinggal di sini untuk tetap menjaga, kalau-kalau ada barisan pembantu pemberontak hendak lewat di sini. Aku sendiri pimpin barisan induk langsung menuju ke kota raja. Sisa barisan semua menuju ke barat dan bermarkas di kota See- bun, bersatu dengan kesatuan di bawah pimpinan Lu-ciang- kun. Jurusan barat itu harus diperkuat karena kuduga bahwa barisan pimpinan Thio Sian Tiong ini tentu hendak bergabung dengan sisa barisan Lie Cu Seng dari barat."
Setelah memberi instruksi secara cermat kepada semua perwira dan pemimpin regu, pertemuan lalu dibubarkan untuk memberi kesempatan kepada mereka bersiap dan berkemas. Cin Cun Ong lalu memanggil menghadap ketiga orang tua yang menjadi pembantunya itu, yakni Khu Ci Lok si Huncwe Maut dan kedua temannya.
"Sam-wi ketahui sendiri bahwa tugasku di sini gagal. Kalau memang sam-wi berniat membasmi kaum pemberontak, silakan menggabung dengan para pahlawan keraton yakni barisan Sayap Garuda atau Kuku Garuda. Dapat juga sam-wi bekerja sendiri, karena kini pemberontak telah masuk di pedalaman hingga di mana-mana mereka mungkin bergerak."
Kemudian panglima tua itu memberi bekal beberapa kantung emas dan perak kepada tiga orang itu sambil memberi petunjuk-petunjuk. Lalu ia panggil Ouwyang- hengte.
"Kalian berdua telah berjasa karena dengan kenekatanmu keluar dari sini malam tadi dan telah membuka rahasia mereka. Kalian merasa bosan dan tidak senang karena di sini menganggur saja? Nah, di pedalaman akan terjadi banyak pertempuran dan kalian boleh membantu aku membasmi anggauta gerombolan itu sebanyak mungkin. Kita menuju ke kota raja." Ouwyang Bun berkata, "Susiok, kalau kiranya susiok mengijinkan, teecu ingin sekali meluaskan pengalaman dengan merantau, karena sejak turun gunung teecu terus langsung ke sini dan belum mendapat pengalaman. Maka, ijinkanlah teecu berdua menuju ke kota raja dengan jalan memutar dan biarlah teecu menjumpai susiok di kota raja dan menggabungkan diri di sana."
Cin Cun Ong tidak keberatan dan memberi pesan agar kedua murid keponakan itu berlaku hati-hati di sepanjang jalan.
Maka pada keesokan harinya berangkatlah semua orang memenuhi tugas masing-masing.
Berbeda dengan rombongan Cin-ciangkun yang menuju langsung ke selatan, Ouwyang-hengte memutar ke barat. Tapi ketika mereka melarikan kuda belum ada duapuluh li meninggalkan benteng itu, tiba-tiba dari belakang terdengar suara kaki kuda dilarikan dengan cepat dan ketika mereka menengok, ternyata yang mengejar mereka adalah Cin Lie Eng.
"Eh, sumoi, engkau menyusul kami?" terdengar Ouwyang Bu berseru girang sekali hingga kakaknya diam- diam memperhatikan adiknya ini, karena semenjak pergi tadi adiknya tampak tidak gembira, tapi kini tiba-tiba melihat sumoi itu lalu berobah menjadi girang sekali.
"Aku hendak ikut kalian merantau." jawab Lie Eng dengan muka merah karena tadi ia terlalu cepat melarikan kudanya.
"Sumoi, apakah hal ini sudah mendapat persetujuan ayahmu?" tanya Ouwyang Bun.
Lie Eng memandangnya dengan mata berseri. "Tentu saja, twa-suheng. Ayah juga menganggap ada baiknya aku mencari pengalaman, sekalian memata-matai keadaan dan gerakan lawan."
Ouwyang Bun tak dapat mengatakan ketidakcocokan hatinya terhadap sumoinya ini dan terpaksa menerimanya. Mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanan dengan perlahan sambil mengobrol dan melihat-lihat pemandangan di sepanjang jalan.
Di sepanjang jalan, dengan diam-diam Ouwyang Bun memperhatikan keadaan rakyat dan keadaan kampung- kampung serta kota-kota. Sedikit demi sedikit terbukalah matanya terhadap kenyataan yang pahit dan menyakitkan hati. Memang, semenjak pertemuannya dengan Ciu Pek In, dalam hatinya timbul keraguan akan kesucian tugas yang sedang dijalankan oleh susioknya. Dalam pandangannya, Ciu Pek In tampak begitu gagah dan budiman, sedangkan kedua nona yang menjadi murid Ciu Pek In tampak begitu cantik dan gagah. Orang-orang macam itukah yang harus dibasmi?
Ia kini melihat betapa semua sawah ladang yang berada di bumi Tiongkok sebagian besar dimiliki oleh beberapa gelintir orang saja, pertama-tama oleh para pembesar negeri, dari lurah sampai yang berpangkat tinggi, kedua oleh para hartawan yang seakan-akan menjadi raja kecil di kampung-kampung.
0o-dw-o0
Pada suatu hari mereka bertiga masuk ke dalam sebuah kampung yang cukup besar dan ramai. Ketika tiba di sebuah jembatan, terpaksa mereka hentikan kuda mereka karena jembatan itu penuh dengan orang-orang. kampung yang sedang mengelilingi seorang laki-laki tua yang sedang menangis. Mereka memegangi kedua lengan orang tua itu dan membujuk-bujuk-nya. Ouwyang Bun segera meloncat turun dari kuda dan bertanya kepada seorang di antara mereka, ?
"Eh, laoko, apakah yang terjadi di sini?"