Sepasang Pendekar Kembar Chapter 16

NIC

Kemudian ternyata bahwa adanya gadis itu menguntungkan mereka karena Lie Eng telah tahu di mana tempat yang digunakan sebagai markas oleh pihak musuh. Bulan bercahaya terang hingga mereka dapat melakukan perjalanan dengan mudah. Lie Eng membawa kedua saudara itu menyusur sepanjang tembok menuju ke barat, lalu membelok ke utara menuju ke sebuah hutan yang lebat.

"Ji-wi suheng, berhati-hatilah. Aku tidak suka melihat keadaan yang terlalu sunyi di sini," kata Lie Eng setelah mereka tiba di dalam hutan yang sunyi itu.

Belum sempat Ouwyang-hengte menjawab, tiba-tiba terdengar suara ranting ter-pijak kaki di sekeliling mereka dan tahu-tahu mereka telah dikurung oleh orang-orang yang bersenjata tajam. Orang-orang yang mengurung mereka itu terdiri dari bermacam-macam orang. Ada yang masih muda sekali, ada pula yang sudah kakek-kakek. Ada yang berpakaian pendeta, hwesio, dan sastrawan. Tapi sebagian besar dari mereka berpakaian petani sederhana.

Ouwyang-hengte dan Lie Eng cepat mencabut pedang mereka dan siap mengamuk tapi tiba-tiba terdengar suara orang berkata,

"Sam-wi, tahan dulu. Apakah maksud dan kehendak kalian maka malam ini datang ke tempat kami rakyat miskin?"

Suara ini mereka kenal dan ternyata dari luar kurungan masuklah kakek tua yang siang tadi mereka jumpa di dalam hutan sebelah dalam tembok besar. Lie Eng dan, Ouwyang- hengte merasa heran sekali bagaimana orang tua itu dapat melewati tembok besar yang terjaga kuat itu.

Mendengar teguran kakek itu, dengan suara gagah Lie Eng menjawab, "Kami ingin menyaksikan sendiri apakah kalian masih hidup, karena mengapa kalian tidak bergerak menyerang benteng pertahanan kami. Apakah kalian sudah kehabisan tenaga dan tidak berani bertempur lagi? Ketahuilah, para tentara kami telah gatal-gatal tangan untuk menghadapi kalian."

Kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha, ayah harimau anakpun harimau. Gagah dan berani. Nona Cin, jangan khawatir. Kawan-kawan kami bukannya takut bertempur, tapi sesungguhnya lawan dan musuh kami bukanlah ayahmu dan anak buahnya. Ayahmu adalah perajurit yang baik dan amat berguna bagi negara dan rakyat. Yang kami musuhi ialah raja lalim, para pembesar durjana, dan para pembesar penindas rakyat jelata. Mereka inilah yang hendak kami basmi."

Mendengar kata-kata ini Ouwyang Bun merasa makin tertarik, maka ia lalu maju dan menjura kepada orang tua itu. "Siauwte tadi mendengar bahwa locian-pwe adalah Sin- liong Ciu Pek In yang terkenal di kalangan kang-ouw, betulkah itu?" :

Orang tua itu tertawa. "Tentu Cin-ciangkun yang memberitahukan padamu, bukan? Aha, ia masih ingat padaku. Memang betul aku Ciu Pek In."

"Siauwte mendengar bahwa locianpwe mengutamakan kegagahan dan keadilan serta membela pihak yang benar. Tapi mengapa locianpwe menggabungkan diri dengan para pemberontak yang selain mengacau negara juga menyusahkan rakyat? Apakah ini laku seorang gagah yang mengutamakan kebaikan dan yang pantas disebut ho-han (orang budiman)?"

Ucapan Ouwyang Bun yang panjang ini memang ia sengaja. Ia bukan tidak tahu bahwa kata-katanya ini berbahaya, tapi karena terdorong oleh rasa penasarannya, ia tidak perdulikan lagi bahaya yang mungkin timbul karena perkataannya.

Sementara itu, semua orang yang mengurung terdengar berseru marah mendengar betapa anak muda ini berani sekali menghina kakek yang mereka hormati itu. Mereka siap untuk maju menerjang, tapi Ciu Pek In mengangkat tangan memberi tanda dan berkata,

"Anak muda, kau bagaikan seekor burung yang baru belajar terbang dan tidak tahu keadaan dunia luas. Tahumu hanya bahwa setiap orang yang memberontak a-dalah jahat dan salah. Tapi aku tidak menyalahkan engkau karena kau kebetulan sekali menjadi murid si Iblis Tua Tangan Delapan yang justeru menjadi sute dari Cin-ciangkun. Ya..ya, aku tahu, anak, aku tahu kau dan adikmu ini siapa dan mengapa ikut membantu Cin-ciangkun. Kalian Ouwyang-hengte kena diperalat dan mengotorkan tangan tanpa kalian sadari. Sayang, sayang, sungguh sayang."

"Suheng, mari kita beri mereka pelajaran." kata Lie Eng yang merasa marah sekali mendengar ucapan Ciu Pek In.

"Beda lagi halnya dengan Cin-siocia ini," kata kakek itu lagi tanpa memperdulikan kemarahan Lie Eng. "Ia adalah puteri Cin-ciangkun dan sudah seharusnya menurut jejak kaki ayahnya."

"Orang tua, kami datang ke sini bukan hendak mendengarkan obrolan kosong. Beritahukan apa maksud kalian mengurung kami, jangan kira kami bertiga takut." tiba-tiba Ouwyang Bu membentak sambil melangkah maju dengan dada terangkat.

"Suhu, jangan kasih hati kepada orang kasar ini." tiba- tiba seorang gadis yang berpakaian laki-laki meloncat maju dari belakang kakek itu. Ia adalah seorang gadis yang baru berusia kurang lebih tujuh-belas tahun, wajahnya manis dan sepasang matanya bersinar tajam dan berani. Ia menatap wajah Ouwyang Bu dengan marah sekali.

"Kau anak kecil mau apa?" Ouwyang Bu membalas membentak sambil tersenyum mengejek. Gadis itu marah sekali, sambil membanting-bantingkan kakinya ia berkata kepada Ciu Pek In.

"Suhu, biarkan teecu memberi pelajaran kepadanya."

Tiba-tiba kakek itu nampak gembira. Ia memberi tanda kepada semua orang untuk mundur dan memperlebar kurungan.

Lalu katanya kepada gadis muridnya itu, "Siauw Leng, kau selalu menganggap dirimu paling pandai. Kaukira anak muda ini makanan lunak? Ha, kau salah sangka. Tapi biarlah kau mencobanya." Kemudian ia berpaling kepada Ouwyang Bu dan berkata,

"Anak muda, muridku yang bodoh ini hendak minta sedikit pelajaran darimu, harap kau tidak mengecewakannya."

Ouwyang Bu tidak suka melihat gadis yang dianggapnya memandang rendah padanya itu, tapi ia juga tidak senang bertempur melawan seorang anak perempuan. Ia merasa tidak ada harganya dan memalukan, tapi melihat sinar mata gadis itu ditujukan padanya dengan menghina, ia lalu melangkah setindak lagi ke depan dan berkata,

"Boleh, boleh. Kau hendak bertanding dengan tangan kosong atau senjata?"

Gadis muda yang berpakaian laki-laki dan bernama Siauw Leng itu tersenyum, dan tampaklah sebaris gigi yang putih dan rapi. "Kau bersikap seperti orang yang mau menang saja," katanya, "kulihat kau membawa-bawa pedang, mari kita bermain pedang." Ia lalu menghunus senjatanya yang ternyata adalah sebatang pedang yang berkilauan terkena cahaya bulan

Biarpun merasa gemas, mereka masih ingat akan sopan santun orang berpibu (beradu kepandaian) dan mereka bukanlah sedang berhadapan sebagai musuh hendak bertempur, oleh karena itu terlebih dulu mereka saling memberi hormat dengan menjura.

"Awas pedang." tiba-tiba gadis itu setelah menjura berseru nyaring dan pedangnya berkelebat membuka serangan yang cukup cepat. Ouwyang Bu cepat menangkis dan menggunakan tenaga sepenuhnya dengan maksud membuat pedang lawannya terpental dan membuat gentar hati gadis itu. Tapi si gadis bergerak gesit dan pedang yang hendak disabet lawan itu cepat ditarik mundur lalu diteruskan dalam serangan kedua yang lebih berbahaya. Diam-diam Ouwyang Bu terkejut juga melihat kegesitan dara ini, maka ia tidak mau berlaku sembrono dan bersilat lebih hati-hati. Ia sengaja menanti serangan-serangan lebih dulu untuk mengukur kepandaian gadis itu dan melihat sampai di mana kehebatannya.

Sementara itu, Ouwyang Bun dan Lie Eng berdiri tenang-tenang saja setelah memasukkan kembali pedang ke dalam sarung pedang masing-masing. Mereka lalu menonton pertempuran itu dengan hati tertarik karena ternyata bahwa gadis muda itu memiliki ilmu pedang yang hebat sekali.

Hal inipun terasa benar oleh Ouwyang Bu. Ia tadinya mempertahankan diri dengan tenang untuk mengukur kepandaian gadis itu, tapi alangkah herannya ketika melihat betapa ilmu pedang gadis itu luar biasa hebatnya. Terpaksa ia mengeluarkan seluruh kepandaiannya karena tiba-tiba ia teringat bahwa gadis muda ini adalah murid dari Sin-liong Ciu Pek In, seorang ahli pedang dan teringatlah ia akan penuturan susioknya bahwa Ciu Pek In memiliki kepandaian tunggal yang istimewa, yakni Sin-liong Kiam- sut (Ilmu Pedang Naga Sakti). Kalau begitu kiam-sut gadis inipun tentu Sin-liong Kiam-sut.

Ouwyang Bu lalu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengalahkan lawannya. Oleh karena itu, maka sebentar saja keduanya bertempur hebat dan seru sekali. Keduanya saling mengeluarkan ilmu pedang yang hebat dan cepat gerakannya hingga merupakan dua gulung sinar pedang saling melibat dan membelit.

Dari permainan pedang kedua anak muda ini ternyata bahwa ilmu pedang gadis itu masih setingkat lebih tinggi dari ilmu Ouwyang Bu. Akan tetapi pemuda itu lebih matang latihannya dan juga lebih besar tenaganya. Ketika pertempuran sedang hebat-hebatnya, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan suara kakek itu terdengar.

"Sudah cukup, sudah cukup." Siauw Leng segera meloncat mundur sedangkan Ouwyang Bu tiba-tiba merasa betapa pedangnya tertolak oleh tenaga yang besar dan kuat hingga hampir terlepas dari pegangannya. Maka terpaksa iapun meloncat mundur. Pemisah itu, yakni Ciu Pek In, tertawa dan berkata kepada muridnya,

"Betul tidak kata-kataku tadi? Kau baru berlatih pedang tiga tahun, mana dapat melawan murid dari Pat-jiu Lo- mo?"

Ouwyang Bu makin kaget dan heran mendengar bahwa gadis itu baru saja berlatih pedang tiga tahun, sedangkan ia yang sudah berlatih lebih dari delapan tahun masih juga belum dapat mengalahkan gadis itu. Maka diam-diam ia merasa khawatir, karena kalau sampai terjadi pertempuran, maka pihaknya tentu takkan mungkin menang.

Pada saat itu, gadis yang seorang lagi, yang agaknya kakak perempuan.dari Siauw Leng, juga berpakaian laki- laki, maju dan berkata kepada kakek itu, "Suhu, aku juga ingin sekali mengukur tenaga tamu-tamu kita."

"Kau sudah lebih lama belajar daripada adikmu, masih juga berlaku seperti kanak-kanak?" suhunya berkata sambil tertawa. Sementara itu, Lie Eng merasa penasaran dan maju sambil berkata,

"Kalau kau gatal tangan, marilah mencoba kepandaianku." ia menantang.

"Sumoi, jangan sembrono."

Posting Komentar