Halo!

Sakit Hati Seorang Wanita Chapter 18

Memuat...

"Bukan itu ma ksudku. Engkau penuh dengan se mangat berapi, penuh kemarahan. Apakah engkau telah me mbunuh orang?" Cui Hong terkejut. "Tidak, suhu. Mana berani teecu me langgar sumpah teecu sendiri? Teecu tidak me mbunuh orang, hanya..... teecu menghajar seorang laki-laki yang kurang ajar terhadap teecu."

"Apa yang dia lakukan dan apa pula yang telah kaulakukan?"

"Dia kurang ajar terhadap teecu, tidak teecu layani, akan tetapi dia berani meraba tubuh teecu. Teecu mematahkan tangan itu dan melemparkannya akan tetapi tidak me mbunuhnya, lalu teecu pulang."

Kakek itu mengangguk-angguk, me mandang muridnya dan berkata, "Cui Hong, sudah berapa la ma engkau menjadi muridku?"

"Teecu tidak dapat menghitung tepat, akan tetapi kurang lebih tujuh tahun."

"Nah, bersiaplah, mari kau hadapi serangan-seranganku. Ini merupakan latihan terakhir, kalau lulus engkau boleh pergi, kalau tidak lulus engkau harus mene mani aku sa mpai aku mati." Tiba-tiba kakek itu bangkit berdiri.

Dia m-dia m Cui Hong terkejut mendengar ini. Suhunya sering mengajak latihan dan kadang-kadang menyerangnya dengan sungguh-sungguh, akan tetapi dalam batas-batas latihan. Kini, suhunya ingin men gujinya, sebagai latihan terakhir dan yang mengejut kan hatinya adalah kalimat terakhir itu. Kalau ia lulus, ia boleh pergi, kalau tidak lulus, ia harus mene man i suhunya itu sampai suhunya mati! Jantungnya berdebar keras, inilah saat yang dinanti-nantikannya selama ini, yang ditunggunya dengan menyabarkan hatinya. Agaknya pelajarannya sudah tiba di saat terakhir, sudah ta mat!

"Teecu menaati perintah suhu." katanya dan ia pun menyingkir kan buntalan itu, lalu berdiri tegak, menghadap suhunya, kedua tangan lurus ke bawah di kanan kiri tubuh, kedua kaki rapat. Inilah kuda-kuda yang aneh dari Toat-beng- kun! Gurunya juga me masang kuda-kuda yang sama. Mereka berdua itu saling berhadapan dengan berdiri tegak seperti patung, dengan kedua tangan merapat di kanan kir i dan kedua kaki juga merapat. Pasangan kuda-kuda yang lucu sekali, akan tetapi jangan dikira bahwa kuda- kuda seperti ini le mah! Biarpun pe masangan kuda-kuda itu de mikian kaku, akan tetapi kaki dan tangan ini dapat bergerak setiap saat ke segala jurusan, baik ketika menghadap i serangan maupun ketika menyerang. Keistimewaan kuda-kuda ini adalah sukar bagi lawan untuk me nduga ke arah mana kaki dan tangan akan bergerak dalam serangan pertama.

"Lihat serangan!" tiba-tiba kakek itu berseru dan mula ilah dia menyerang dengan cepat, kuat dan dahsyat sekali. Namun, Cui Hong sudah siap s iaga dan ke manapun gurunya menyerang, ia selalu dapat mengelak atau menang kis dengan tepat sekali. Dan gadis itu pun tidak sungkan-sungkan lagi, hal yang diperbolehkan dalam latihan itu, dan ia pun me mba las serangan gurunya setiap kali terbuka kesempatan baginya. Terjadilah serang-menyerang antara guru dan murid itu. Kakek itu tidak ma in-main, me lainkan me ngeluarkan se mua keahliannya dan mengerahkan se mua tenaganya. Juga Cui Hong tidak bersikap sungkan dan gurunya itu dianggap seorang lawan yang harus dilawannya mati- matian. Dia m- diam Toat-beng Hek- mo merasa kagum, bangga dan girang sekali. Tidak percuma sela ma tujuh tahun mengge mbleng muridnya ini. Biarpun d ia berkelahi sungguh-sungguh, na mun dia sama sekali tidak ma mpu mendesak muridnya dan setelah mereka bertanding sela ma seratus jurus, napasnya sendiri mulai terengah-engah sedangkan muridnya mas ih segar bugar.

"Haiiiitttt....." Tiba-tiba kakek itu berseru keras dan tahu- tahu tongkat hitam sudah berada di tangannya. Dia menyerang dengan tongkatnya, memukul ke arah kepala Cui Hong. Gadis ini cepat mengelak dengan melempar diri ke kiri. Tongkat itu menyambar, dekat sekali dengannya dan agak la mbat sehingga me mikat orang untuk menang kap dan mencoba merebutnya. Namun Cui Hong tidak mau melakukan ini. Ia tahu bahwa itulah satu di antara keampuhan Ilmu Tongkat Toat-beng Koai-tung. Nampak begitu mudah dira mpas, akan tetapi sekali lawan mera mpasnya, tentu dia akan terkena hantaman tongkat itu sendiri. Tongkat itu menya mbar ke bawah, me mbabat kedua kakinya. Cui Hong me lo mpat ke atas dan berjungkir balik ke belakang. Akan tetapi tongkat itu terus mengejar-sehingga terpaksa ia me mbuat jungkir balik berkali-kali ma kin me ndekati pohon yang berada di sebelah kanan pondok. Ketika tongkat itu masih terus mengejar, Cui Hong tiba-tiba melempar tubuh ke belakang dan bergulingan di atas tanah, menuju ke pohon. Ketika tiba di bawah pohon, tiba-tiba ia mengeluarkan suara me lengking dan tangannya bergerak. Segenggam pasir dan tanah menyambar ke depan, ke arah muka Toat-beng Hek- mo. Kakek ini tentu saja tidak mau kalau mata atau hidungnya kena sa mbaran pasir dan tanah. Dia me loncat ke sa mping menghindarkan diri. Akan tetapi pada saat itu, Cui Hong sudah me loncat ke atas, menyambar sebatang dahan pohon sebesar lengannya. Terdengar dahan patah dan ketika meloncat turun kembali, gadis itu sudah me megang tongkat dari dahan pohon yang masih ada daunnya pada ranting-ranting kecil.

"Haiiittt....!" Cui Hong berteriak, menggerakkan tongkatnya dan berhamburanlah ranting dan daun-daun itu sehingga dahan itu kini gundul dan berubah menjadi sebatang tongkat yang menjad i senjatanya.

"Bagus!" Gurunya me muji kagum dan menyerang lagi. Cui Hong menangkis dan balas menyerang. Kembali guru dan murid itu saling serang dan kedua tongkat mereka berkali-kali saling bertemu mengeluarkan bunyi tak - tuk - tak - tuk. Keduanya bergerak cepat sehingga tubuh mereka lenyap terbungkus sinar kedua senjata itu. Kembali seratus jurus telah lewat dan Toat-beng Hek-mo sudah merasa lelah. Tiba-tiba dia meloncat jauh ke belakang dan berseru,

"Cui Hong, kau lulus!"

Cui Hong girang bukan ma in, me mbuang tongkatnya dan cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kaki gurunya.

"Su-he, teecu menghaturkan terima kasih atas segala budi suhu yang telah me mbimbing teecu selama tujuh tahun ini. Teecu tidak akan mampu me mba las budi kebaikan suhu."

"Hemm, akupun t idak mengharapkan balasan, Cui Hong. Asal saja engkau me megang teguh sumpah mu, tidak me lakukan pe mbunuhan, berarti engkau telah me mbalas b udi itu."

"Teecu pasti akan me megang teguh sumpah teecu."

"Bagus, kalau begitu kau pergilah turun gunung, muridku." "Tapi, suhu. Suhu sudah tua, bagaimana teecu tega

men inggalkan suhu hidup sendirian di sini? Siapa yang akan menanak nasi untuk suhu, me mbuatkan minuman hangat, siapa yang akan merawat suhu?"

Kakek itu menyeringai dan mulutnya menjadi sebuah guha kecil meng hita m. "Heh-heh, engkau ini me mbuat diriku menjad i manja saja. Sebelum ada engkau, aku pun hidup sendirian dan ma mpu merawat diri sendiri. Pula, setelah engkau pergi, aku pun hendak pergi dari sini. Sudah bosan aku terlalu la ma tinggal di sini. Pergilah dengan tenang, muridku, engkau berhak untuk men ikmat i hidup di dunia ramai."

Cui Hong me mber i hormat lagi la lu mengusir keharuan hatinya yang tiba-tiba saja muncul. Ia tidak pernah merasa cinta kepada gurunya ini dan ia bahkan ingin menguasai ilmu silat tinggi. Akan tetapi setelah secara tiba-tiba gurunya menga mbil keputusan bahwa ia telah selesai belajar me mperbo lehkan turun gunung, setelah secara tiba-tiba mereka hendak saling berpisah, timbul juga keharuan itu di dalam hatinya. Baru terasa olehnya betapa selama tujuh tahun ini, tanpa mengenal lelah, kakek ini me latihnya dengan ilmu silat yang hebat dan biarpun tak pernah memperlihatkan sikap kasih sayang, namun dari ketekunan kakek itu saja ia pun kini dapat melihat dengan jelas bahwa kakek itu a mat sayang kepadanya! Dan selama hidup bersa ma tujuh tahun itu, Toat- beng Hek-mo yang sudah me lepas budi, me mberikan ilmunya yang tinggi, sebaliknya ia tidak pernah me mberi apa-apa.

"Suhu, teecu akan selalu ingat kebaikan-kebaikan suhu dan tidak akan melanggar sumpah teecu. Selamat tinggal, suhu, harap suhu menjaga diri baik-baik."

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment