Demikianlah, mulai hari itu Cui Hong menjad i murid kakek yang berjuluk Toat-beng Hek- mo, seorang kakek yang sudah puluhan tahun la manya tidak pernah lagi muncul di dunia kang-ouw, yang mengasingkan diri berperang dengan batin sendiri mencar i kebebasan, seorang kakek yang me miliki ilmu kepandaian silat tinggi akan tetapi yang memiliki pengetahuan tentang filsafat hidup melalui ayat-ayat kitab suci yang hanya diketahui kulitnya saja, dengan penafsiran isinya yang kacau balau. Kebebasan, dalam arti kata bebas lahir batin, tidak mungkin bisa didapatkan dengan jalan mencari dan mengejar. Kebebasan, seperti juga kebahagiaan, adalah satu keadaan, bukan merupakan suatu hasil dari pengejaran atau usaha. Kebebasan yang sudah didapatkan me lalui usaha bukan merupakan kebebasan lagi, me lainkan merupa kan kebebasan semu yang terbelenggu oleh KEINGINAN UNTUK BEBAS. Dan di mana ada keinginan, dalam bentuk apapun juga, maka takkan mungkin ada kebebasan. Kebebasan adalah suatu keadaan di mana tidak ada lagi aku yang ingin ini dan itu, tidak ada lagi aku yang sarat dengan nafsu-nafsu yang me mbe lenggu. Kebebasan bukan sekedar bebas dari ikatan dengan manus ia lain atau dengan benda, sehingga tidak mungkin didapatkan melalui pengasingan diri jauh dari manus ia dan harta benda. Sebaliknya, orang dapat berada dalam keadaan bebas walaupun hidup di tengah-tengah masyarakat ramai. Batin yang tidak me miliki apa-apa walaupun lahirnya me mpunyai banyak benda, batin yang sama sekali tidak terbelenggu walaupun badannya me mpunyai ikatan, dengan pekerjaan, dengan keluarga, dengan kewajiban-kewajiban dan sebagainya.
Memang lebih mudah dibicarakan tentang kebebasan, namun se mua pe mbicaraan itu hanya teori belaka. Kebebasan bukan untuk dibicarakan, melainkan untuk dihayati dalam kehidupan ini karena tanpa adanya kebebasan, takkan mungkin ada cinta kasih, takkan mungkin ada kebahagiaan. Hidup kita ini sudah de mikian sarat dengan beban, demikian ruwet penuh ikatan-ikatan sehingga is inya hanyalah permainan e mosi belaka karena sang aku sudah terlanjur merajalela diper mainkan oleh Im dan Yang (Positif dan Negatif).
0odwo0
Semenjak me ngikuti gurunya ke puncak yang amat sunyi, sebuah di antara puncak-puncak yang tinggi dari Pegunungan Lu-Iiang-san di sebelah barat kota raja, Cui Hong mulai suka akan warna pilihan gurunya, yaitu warna hitam. Ia menyukai warna hita m karena untuk menyusup-nyusup ke dalam hutan dan semak-se mak belukar, warna ini paling a man, tidak cepat kotor. Dan setelah beberapa bulan la manya ikut gurunya, berlatih ilmu silat setiap hari sa mbil mengurus kepentingan gurunya dan diri sendiri, mencuci, mencar i air, me masak dan sebagainya, mulai pulih kembali keadaan badan Cui Hong. Kedua pipinya menjadi kemerahan lagi, wajahnya nampak segar berseri, sepasang matanya menjadi hidup dan lincah. Agaknya sisa-sisa peristiwa hebat itu, bekas-bekas malapetaka yang menimpanya, tidak lagi meninggalkan bekas di tubuhnya, walaupun jauh di dalam hatinya, bekas-bekas itu tak mungkin dapat dihapus begitu saja biarpun Cui Hong tidak pernah me mbicarakannya dengan suhunya. Dendam yang amat hebat itu disimpannya di dalam hati sebagai suatu rahasia pribadi yang takkan diungkapkan kepada siapa pun juga, kepada gurunya pun tidak. Apalagi karena ia melihat sikap gurunya yang tidak setuju dengan peme liharaan dendam itu.
Kakek yang berjuluk Toat-beng Hok- mo itu ternyata me mang seorang yang sakti. Ilmu kepandaiannya tinggi sekali dan hal ini dirasakan benar oleh Cui Hong. Dari hari pertama saja ia sudah menerima latihan sinkang yang luar bisa. Kakek itu bahkan me mbantunya dengan kedua tangannya diletakkan di punggung dara itu, me mbantunya agar dapat dengan cepat menghimpun tenaga sakti, me mpergunakannya di seluruh tubuh dan berlatih samadhi untuk me mperkuat sinkang di dalam tubuhnya. Setelah berlatih selama hampir dua tahun, barulah ia dianggap mulai me miliki sinkang yang cukup kuat untuk me mpe lajari ilmu silat kakek itu. Dan Toat-beng Hek-mo juga tidak mengajarkan banyak ilmu silat, hanya satu maca m saja! Akan tetapi ilmu s ilat ini dapat dima inkan dengan tangan kosong maupun dengan senjata tongkat. Nama ilmu silat ini menyeramkan, sama dengan nama julukannya, yaitu Toat- beng-kun (Ilmu Silat Mencabut Nyawa)! Kalau dimainkan dengan tongkat maka na ma ilmu itu me njadi Toat-beng Koai- tung (Tongkat Aneh Mencabut Nyawa ). Dan biarpun hanya satu maca m, ternyata ilmu silat ini sede mikian sukar, aneh dan dahsyat sehingga untuk melatihnya sampai se mpurnya, dibutuhkan waktu ha mpir lima tahun! Dapat dibayangkan betapa kesepian rasanya harus hidup sampai bertahun-tahun di te mpat sunyi dan dingin itu. Hanya berte man seorang kakek tua renta yang buruk, dan yang jarang sekali bicara karena kakek itu lebih banyak bersa madhi dan hanya bicara kalau sedang me mberi petunjuk dalam pelajaran ilmu silat. Bahkan di waktu makan pun Toat-beng Hek- mo jarang mengajak bicara muridnya.
Waktu yang seolah-olah meray ap itu merupakan latihan yang paling berat bagi Cui Hong. Hampir ia kehilangan kesabaran dan beberapa kali ada dorongan kuat dalam hatinya untuk melarikan diri, turun gunung dan mencari musuh-musuhnya. Apalagi setelah ia merasa bahwa kepandaiannya telah meningkat dengan cepat. Namun, dendam yang amat mendalam itu me mbuat ia cerdik dan tidak mau bertindak lancang dan tanpa perhitungan. Ia teringat akan kelihaian Thian-cin Bu-tek Sa m-eng. Kalau ia sekali turun tangan me mbalas denda m, ia tidak boleh gagal! Kegagalan berarti me mbuat musuh-musuhnya menjadi kuat, berjaga dan akan semakin sukarlah kelak baginya untuk mengulangi usahanya me mbalas denda m. Ia harus berhasil dengan sekali pukul dan untuk dapat me mperoleh keyakinan dalam hal ini, ia harus tekun belajar sampai gurunya menyatakan bahwa pelajarannya sudah tamat.
Cui Hong adalah seorang gadis yang masih muda, dan me miliki pembawaan lincah ge mbira. Biarpun ia pernah mender ita ma lapetaka hebat hampir saja me mbuatnya putus asa dan membunuh diri, namun setelah tinggal di puncak gunung itu dan menyibukkan diri dengan pekerjaan sehari-hari dan latihan-latihan, kesegarannya pulih kembali bagaikan setangkai bunga yang pernah layu kini hidup dan segar kembali mendapatkan air dan embun. Bahkan kini, setelah lewat kurang lebih enam tahun, Cui Hong telah berubah, dari seorang dara remaja yang masih me miliki sifat kekanak- kanakan, menjadi seorang gadis yang bagaikan bunga sedang me kar semerbak. Tubuhnya ramping dan padat, keindahan bentuk tubuhnya yang tidak dapat disembunyikan oleh pakaian sederhana berwarna hita m itu. Bahkan pakaian serba hitam itu me mbuat kulitnya yang putih kuning dan halus nampak se makin menyolok. Cui Hong telah menjadi seorang gadis dewasa yang amat cantik, seorang perempuan yang penuh daya tarik.
Pada suatu pagi, seperti biasa dilakukannya satu dua kali setiap bulan, ia berpamit kepada suhunya untuk me mbe li bumbu dan sedikit kain untuk me mbuat pakaian baru di sebuah dusun di kaki gunung. Untuk me mperoleh uang guna berbelanja, Cui Hong me mbawa sekarung dendeng yang dibuatnya. Di hutan yang terletak di balik puncak terdapat banyak binatang hutan. Cui Hong banyak berburu binatang ini, dagingnya didendeng dan kulitnya dije mur, ke mudian kulit dan dendeng ini dibawanya ke dusun, dijualnya atau ditukarnya dengan bumbu-bumbu dapur, pakaian dan keperluan lain.
Karena selama enam tahun lebih ini sudah seringkali ia berkunjung ke dusun itu, maka se mua orang dusun mengenalnya sebagai nona penghuni puncak yang cantik man is. Melihat betapa nona berpakaian serba hitam itu me mbawa beban berat dan turun dari puncak, semua orang dapat menduga bahwa tentu nona cantik ini seorang yang me miliki ilmu kepandaian tinggi, maka tak seorang pun berani mengganggunya.
Akan tetapi pada pagi hari itu, setelah menjual dendeng sekarung dan me mbeli bumbu masa kan, kain hita m dan lain keperluan, seperti minyak, lilin dan lain-lain, terjadi keributan yang sama sekali tidak dikehendakinya. Sejak terjadi ma lapetaka yang menimpa dirinya, Cui Hong merasa tidak senang kalau me lihat mata laki- laki me mandangnya penuh gairah. Ingin ia marah- marah dan menghajar orang le laki yang berani me mandangnya seperti itu, namun ia mas ih harus menahan kesabarannya selama ini. la teringat akan pesan suhunya, bahwa ia tidak boleh mencari keributan, permusuhan dan tidak boleh meca mpuri urusan orang la in. Maka, karena pandang mata itu tak mungkin d ianggap sebagai gangguan, ia pun pura-pura tidak me lihatnya saja walaupun hatinya merasa mendongkol. Agaknya, perbuatan empat orang musuh besarnya terhadap dirinya menumbuhkan semaca m perasaan benci di dalam hatinya terhadap pria pada umumnya, apalagi kalau pria itu me mandangnya dengan sinar mata kagum dan me mbayangkan gairah birahi. Hal itu dianggapnya kurang ajar, dianggapnya bahwa pria yang me mandangnya itu tiada bedanya dengan empat orang musuh besarnya, dan kalau me mpunyai kese mpatan tentu akan me lakukan kekejian yang sama seperti yang pernah dilakukan e mpat orang musuh besarnya itu terhadap dirinya.
Ketika Cui Hong selesai berbelanja dan berjalan perlahan- lahan hendak men inggalkan dusun itu, me mbawa buntalan terisi barang-barang belanjaannya, tiba-tiba terdengar suara laki- laki di belakangnya, "Nona, bolehkah aku mene manimu?"
Cui Hong terkejut dan seketika mukanya berubah merah. Ia me lir ik sa mbil meno leh dan melihat bahwa yang menegurnya itu seorang laki- laki berusia tiga puluhan tahun yang bertubuh besar dan perutnya agak gendut, matanya sipit dan sinar matanya penuh gairah, mulutnya menyeringai dan sikapnya jelas menunjukkan bahwa orang ini kagum kepadanya dan berniat meng godanya. Cui Hong me mbuang muka dan tidak me layaninya, tidak menjawabnya, melainkan berjalan terus tanpa me mperdulikan orang itu.
"Aih, nona, mengapa diam saja? Aku sudah tahu bahwa nona tinggal di puncak gunung. Siapakah nama nona dan dengan siapakah nona tinggal di puncak? Kasihan sekali, seorang perempuan cantik jelita tinggal di tempat yang begitu tinggi, dingin dan sunyi."
Cui Hong ha mpir tak dapat menahan lagi kemarahannya. Tanpa menoleh ia me mbentak lirih dan ketus, "Pergilah kau dan jangan ganggu aku!"
Akan tetapi, orang itu bahkan me mperlebar langkahnya sehingga kini dia berjalan di sa mping Cui Hong. Ketika Cui Hong melirik, dilihatnya orang itu menyeringai dan muka yang agak bulat putih itu me ngingatkan ia akan muka seorang di antara musuh-musuh besarnya yang paling dibencinya, yaitu Koo Cai Sun. Akan tetapi jelas bukan karena orang ini masih muda, baru tiga puluh tahun usianya, sedangkan musuh besarnya itu sekarang sudah lebih dari empat puluh tahun.
"Wahai, nona, kenapa marah? Aku ber ma ksud baik, ingin berkenalan dengan mu. Marilah kute mani kau naik ke puncak dan biarlah barang-barangmu yang berat itu kubantu kubawakan." laki-laki itu kembali berkata dengan suara mengandung rayuan. Dia bukan penduduk dusun itu, me lainkan pendatang dari kota lain yang datang ke dusun itu untuk berdagang kain. Ketika dia tadi melihat Cui Hong, hatinya segera tertarik sekali. Dia me mang seorang yang mata keranjang dan melihat ada seorang dusun demikian cantik man isnya, dia merasa ge mbira dan ingin sekali me metik bunga dusun itu. Apalagi ketika dia bertanya dan mendapat keterangan bahwa wanita serba hitam yang manis itu tinggal di puncak gunung, dan tak seorang pun mengenal na manya, agaknya merupakan seorang wanita penuh rahasia, hatinya menjad i se makin kagum. Dibereskannya dagangan-nya, dititipkan kepada seorang kenalannya dan diapun cepat meng ikut i Cui Hong dan menegur di tengah jalan.
"Aku tidak mau berkenalan dan tidak mau dibantu. Pergilah kau!" kata pula Cui Hong. Laki- laki itu terkekeh. Mereka t iba di pinggir dusun, di mana keadaan sepi sehingga laki-laki itu menjad i se makin berani. Dia tahu, menurut pengalamannya, bahwa jika seorang wanita berkata tidak dengan mulutnya, hal itu besar kemungkinan berarti ya di dalam hatinya. Pengetahuan ini me mbuat ia semakin berani melihat betapa wanita cantik yang menarik hatinya ini "pura-pura" tidak mau.
"Nona man is, tidak usah malu-malu. Aku adalah pedagang kain. Nanti kuberi segulung kain yang paling baik, sutera halus yang mahal. Mari kute mani, mau bukan?" Dan tiba-tiba saja, sungguh di luar dugaan Cui Hong, laki-laki itu menggunakan tangan kirinya untuk meraba dan mencubit pinggulnya! Meledak kemarahan di hati Cui Hong dan sekali me mbalikkan tubuhnya dan mencengkera m, punggung baju baju orang itu sudah dicengkeramnya dan sekali ia berseru, tubuh laki- laki itu sudah diangkatnya ke atas. Buntalannya dilepaskan begitu saja dan kini tangan kirinya sudah diangkat hendak memukul remuk kepala orang yang berani kurang ajar kepadanya itu! Laki- laki itu terkejut, meronta namun tidak ma mpu me lepaskan diri.
Tangan kir i Cui Hong sudah diangkat dan sudah berisi tenaga sinkang sepenuhnya, akan tetapi mendadak ia teringat akan sumpahnya kepada suhunya. Dilarang me mbunuh! Maka, ketika tangannya meluncur turun, ia mengubah serangannya, bukan kepala orang itu melainkan tangan kirinya yang menjadi serangan tangan Cui Hong yang meluncur ke depan.
"Krekkk..... I" Pergelangan tangan laki-laki itu remuk tulang- tulangnya dan dia pun menjerit-jerit kesakitan. Cui Hong me lontarkan tubuh itu jauh ke depan.
"Brukkkk....!" Tubuh itu terbanting ke atas tanah dan tidak ma mpu bergerak lagi karena saking nyerinya laki-laki ceriwis itu jatuh pingsan ketika tubuhnya terbanting.
Cui Hong tidak menengok lagi kepada laki-laki itu, menga mbil buntalannya kemudian pergi dari situ dengan cepat. Setelah tidak ada orang melihatnya, ia lalu mengerahkan tenaganya dan menggunakan ilmu berlari cepat mendaki puncak. Wajahnya masih merah sekali, sepasang matanya menge luarkan sinar berapi. Marah sekali ia. Kalau menurut kan hatinya, ingin ia menghancurkan kepala orang tadi, menginjak-injak dadanya sa mpai patah-patah semua tulang iganya! Orang itu baginya tadi seolah-olah menjadi pengganti empat orang musuh besarnya dan semua dendam dan kebencian ia tu mpahkan kepada orang itu. Akan tetapi ia sudah bersumpah tidak akan me mbunuh dan bagaimanapun juga, ia tidak boleh me langgar sumpahnya sendiri.
0 oo -dw- oo 0
KETIKA tiba di depan pondok kayu kasar yang menjadi tempat tinggal mereka, Cui Hong melihat suhunya sudah duduk bersila di depan rumah, tidak seperti biasanya karena pada saat seperti itu biasanya gurunya itu masih bersamadhi di depan kamarnya dan baru akan keluar kalau ia sudah me mber itahukan bahwa ma kanan siang telah tersedia. Dan gurunya itu me mandang kepadanya dengan matanya yang kecil mencorong itu dengan sinar aneh. Agaknya gurunya me lihat perubahan pada wajahnya yang kemerahan, pada sinar matanya yang berapi itu.
"Cui Hong, apakah yang telah terjadi?"
"Suhu, teecu seperti yang telah teecu katakan ketika berpamit pagi tadi, pergi menjua l ikan kering dan me mbe li bumbu-bumbu dan kain hitam untuk pakaian kita. Sayang benang hitamnya habis dan tidak ada yang menjual, suhu, terpaksa nanti teecu menjahit dengan benang merah. "