Sakit Hati Seorang Wanita Chapter 16

NIC

Bukan main girangnya hati Cui Hong dan iapun segera me mber i hor mat sambil berlutut. "Suhu, teecu (murid) Kim Cui Hong siap menerima petunjuk dan perintah suhu yang akan teecu taati dengan taruhan nyawa."

"Heh-heh-heh, bangkit dan duduklah, Cui Hong. Kuharap saja engkau akan menjad i murid yang baik. Akan tetapi ketahuilah bahwa tidak enak menjadi murid orang seperti aku, tidak enak dan tidak mudah. Melihat tingkat kepandaian- mu, sedikitnya engkau harus berlatih dengan penuh se mangat dan tekun selama lima tahun, baru boleh diharapkan engkau akan me mpero leh ke majuan."

"Teecu berjanji akan berlatih dengan tekun dan biarpun sampai lima tahun lebih teecu tidak akan mengendurkan semangat dan akan selalu mentaati petunjuk dan perintah suhu."

"Bagus, dan sekarang sebagai tugas pertama, engkau harus bersu mpah bahwa kepandaian yang kau pelajari dariku tidak akan kau pergunakan untuk me mbunuh! Engkau tidak boleh me mbunuh!"

Mendengar ini, Cui Hong terkejut bukan main sa mpai mukanya berubah agak pucat dan kedua matanya terbelalak. Tidak boleh me mbunuh? Dan ia ingin be lajar silat yang tinggi hanya dengan satu tujuan, yaitu me mbalas dendam dan me mbunuh musuh-musuhnya!

"Cui Hong, aku bertemu denganmu ketika engkau hendak me mbunuh diri. Karena itu, aku ingin menghapus semua keinginan me mbunuh dari dalam lubuk hatimu. Engkau tidak boleh me mbunuh, baik me mbunuh diri sendiri maup un orang lain! Engkau me mpunyai musuh-musuh dan dendam kebencian me mbayang di wajah mu, karena itu lah ma ka aku minta kau bersumpah bahwa engkau tidak akan menggunakan kepandaian dariku untuk me mbunuh!"

Biarpun ia terkejut dan kecewa mendengar larangan me mbunuh ini, na mun Cui Hong yang mendapatkan kemba li kecerdikannya, cepat me mutar otaknya dan iapun lalu tanpa ragu-ragu lagi bersumpah, "Baiklah, suhu. Teecu bersu mpah bahwa teecu tidak akan meng gunakan kepandaian dari suhu untuk me mbunuh orang." Ia me mbayangkan bahwa untuk me mba las dendam kepada musuh-musuhnya, tidak perlu me mbunuh! Masih banyak jalan lain kecuali me mbunuh untuk me la mpiaskan denda mnya.

Kakek ini menarik napas panjang. "Bagus, Cui Hong. Aku percaya engkau akan me megang teguh sumpahmu. Ketahuilah, mengapa aku menyuruh engkau bersu mpah untuk pantang me mbunuh? Tiada lain karena aku sudah terlalu banyak me mbunuh orang! Dan aku tidak ingin muridku, selain mewarisi ilmu-ilmu-ku, juga mewarisi pula kesenanganku me mbunuh orang." Dia mengangkat tongkat hitamnya dan menc ium tongkat itu. "Dengan kaki tanganku, terutama dengan tongkat ini, entah sudah berapa ratus atau ribu nyawa orang kurenggut dari tubuhnya. Gurumu ini pernah dijuluki orang Toat-beng Hek- mo (Iblis Hita m Merenggut Nyawa) karena paling suka me mbunuh orang tanpa pilih bulu! Aku diperha mba nafsu-nafsuku sendiri, karena itu lah aku me larikan diri ke hutan-hutan, ke gunung-gunung, tidak mau bertemu manus ia dan aku selalu men cari kebebasan, bebas dari nafsu- nafsuku sendiri. Aih, betapa tersiksanya batinku, betapa kuatnya ikatan-ikatan ini. Karena itu, aku tidak ingin melihat engkau terbelenggu oleh denda m, diperha mba nafsu sendiri. Aku tidak ingin melihat muridku menderita seperti aku."

Cui Hong tidak mengerti, akan tetapi t idak membantah. Ia tidak peduli akan semua masalah gurunya. Yang penting baginya me mpelajari ilmu agar dapat me mbalas dendam kepada musuh-musuhnya. Dan ia sudah bersumpah takkan me mbunuh, maka iapun tidak akan me mbunuh musuh- musuhnya, akan tetapi mem balas denda m, itu harus dan merupakan tujuan tunggal hidupnya! Ia tidak sama dengan gurunya. Gurunya suka me mbunuh orang tanpa pilih bulu. Ia tidak, sama sekali tidak! Dendamnya hanya kepada empat orang saja.

"Teecu akan menaati se mua petunjuk dan perintah suhu," katanya lagi untuk melega kan hati kakek itu. Suhunya dijuluki Toat-beng Hek- mo, tentu saja me miliki kesaktian luar biasa, pikirnya dengan girang. Tidak peduli apakah gurunya itu seorang datuk sesat, seperti julukannya, yang penting ia dapat me mpe lajari ilmu silat tinggi dari kakek itu untuk kelak menghadap i Thian-cin Bu-tek Sa m-eng!

"Engkau tidak akan menyesal telah bertemu dengan aku yang menggagalkan niat mu me mbunuh diri tadi, Cui Hong. Kalau engkau sudah mewarisi ilmu-ilmu-ku, maka engkau akan ma mpu menjelajahi dunia ini tanpa khawatir diganggu lagi. Engkau akan sukar mene mukan tandingan!"

"Terima kasih, suhu."

"Akan tetapi, jangan dikira menjad i muridku itu enak, Cui Hong. Aku orang miskin, tidak punya apa-apa, rumah pun tidak punya. Aku sudah tua, untuk mencari ma kan sehari-hari pun sukar. Kalau kau menjadi muridku harus mencarikan makan setiap hari untukku dan untukmu sendiri, kalau perlu menge mis, atau menc uri."

"Teecu sanggup!" kata Cui Hong.

"Masih ada satu hal lagi." kata kakek itu, mula i ge mbira me lihat betapa dara itu me mang keras hati dan besar semangat, tidak pantang mundur menghadap i segala maca m kesukaran. "Selama engkau belajar silat, kita akan tinggal di puncak gunung yang sunyi terpencil dan sela ma itu, engkau hanya boleh turun ke dusun kalau kehabisan bumbu masak dan keperluan lain, dan itu pun harus kaulakukan dengan singkat, sama sekali engkau tidak boleh me libatkan diri dengan urusan dan pertikaian dengan orang lain, tidak boleh menca mpuri urusan orang lain. Sanggup kati?"

"Teecu (murid) sanggup!" kata pula Cui Hong. Apa pun syarat-syarat gurunya akan disanggupinya karena me mang tujuannya hanya satu, ialah me mpelajari ilmu silat dari kakek ini.

Posting Komentar