Tiba-tiba Cui Hong teringat akan sesuatu dan ketika kemarahannya lenyap. "Kakek, engkaukah yang bernyanyi tadi? Bernyanyi lagu Bebas?"
"Heh-heh-heh, kalau benar begitu, mengapa? Kau marah- marah karena nyanyianku tadi?" Kakek itu balas bertanya sambil men ga mang-a mangkan tongkatnya. "Kalau marah- marah, boleh maju, akan kuhajar lagi. Anak nakal perlu dihajar sa mpai jera!"
Cui Hong mengge leng kepalanya. "Aku tidak ingin digebuk lagi. Akan tetapi engkau adalah seorang yang berhati palsu, kek."
"Lho! Palsu? Eh, bocah bengal. Kapan engkau menjenguk hatiku? Bagaimana engkau bisa mengatakan hatiku palsu?"
"Orang yang lain tindakannya dari ucapannya, dia berhati palsu. Nyanyianmu tadi menyatakan satu hal, akan tetapi perbuatanmu terhadap diriku mer upakan lain hal yang sama sekali bertentangan."
"Eh, kok begitu? Apanya yang berlainan? Kau bocah tolol, tiada hujan tiada angin mau gantung diri. Apa yang bermimpi bahwa kau telah menjadi Giam Lo Ong Si Raja Akhirat? Hal itu sama sekali tidak boleh, maka aku terpaksa menggunakan tongkat saktiku untuk menggagalkan perbuatan mu yang tolol dan pengecut."
"Nah, perbuatanmu itulah yang palsu! Engkau tadi bernyanyi tentang kebebasan, dan nyanyianmu menggugah hatiku. Aku ingin bebas dari kehidupan yang penuh derita ini. Aku ingin bebas dari kesengsaraan lahir batin, dari duka, dari dendam yang tak mungkin dapat dibalas, dari keputusasaan. Aku ingin bebas dan menga khiri ini se mua. Akan tetapi engkau begitu jahil untuk menggagalkan keinginanku untuk bebas. Bukankah perbuatan mu itu berlawanan dengan nyanyianmu di mana engkau mengatakan bahwa engkau ingin bebas pula?"
"Ho-ho-ha-ha, wah ngawur! Bebas bukan berarti lalu me mbunuh diri agar terlepas dari semua kesengsaraan lahir batin. Siapa bilang kalau sudah mat i itu la lu dapat bebas dari kesengsaraan lahir batin? Heh-heh, anak bengal, mari kita duduk dan bicara. Tubuhku yang tua ini tidak enak kalau harus bicara sa mbil berdiri la ma-lama." Dan kakek itu dengan santainya menjatuhkan diri begitu saja di atas tanah "berumput tebal. Sampai kaget hati Cui Hong dan ha mpir ia turun tangan menyambut tubuh kakek yang agaknya terpelanting jatuh itu. Akan tetapi ia teringat bahwa kakek itu bukan orang sembarangan, maka ia menahan diri dan benar saja. Biarpun tadi kelihatan terguling, kakek itu ternyata dapat mendarat dengan lunak, duduk bersila di atas tanah. Cui Hong menarik napas panjang. Orang ini aneh dan sakti seperti setan. Ada-ada saja peristiwa yang dihadapinya dalam hidup ini. Entah perkembangan apa yang akan menimpa dirinya, bertemu dengan man usia luar biasa ini. Iapun tidak peduli lagi. Mati pun bukan apa-apa lagi baginya, apalagi menghadap i malapetaka lain. Tidak akan ada malapetaka yang lebih hebat daripada yang pernah dialaminya. Ia pun duduk di depan kakek itu, me mandang penuh perhatian dan kembali merasa seram. Wajah kakek itu memang menyeramkan sekali.
Tiba-tiba kakek serta hitam itu lalu me nggerakkan bibirnya me mbaca sajak sambil me mukul- mukulkan tongkatnya ke atas sebuah batu sehingga terdengar suara "tak-tok-tak-tok" berirama. Mula- mula hanya suara tak-tok-tak-tok berirama itulah yang terdengar, kemudian disusul suara kakek itu yang terdengar lembut dan lirih na mun amat jelas me masu ki telinga Cui Hong, seolah-olah kakek itu berbisik di dekat telinganya. Dan Cui Hong yang sejak kecil pernah menerima pelajaran sastera dari mend iang ayahnya, kini me ndengar kata-kata dalam nyanyian itu yang t idak asing baginya.
"Tidak condong itulah Tiong (tegak lurus) tidak berubah itulah Yong (seimbang)
Tiong adalah Jalan Kebenaran Yong adalah hukum alam.”
Mendengar kata-kata itu, Cui Hong lalu berkata, "Kakek yang aneh apa maksudmu meng utip kata-kata dari Sang Budiman Beng Cu itu? Bukankah itu merupakan penjelasan tentang kitab Tiong Yong?"
Kini kakek itu yang mencoba untuk melebarkan sepasang matanya yang sipit dan dia kelihatan lucu, seperti orang mengantuk yang berusaha me mbuka mata lebar-lebar me mandang dara itu. "Eh, eh....! Kau tahu tentang Tiong Yong?" Tiong Yong adalah satu di antara kitab-kitab suci pelajaran Agama Khong Kauw.
"Aku pernah me mbaca kitab suci itu walaupun sukar untuk mengerti maksudnya." jawab Cui Hong dengan jujur.
Kakek itu na mpa k girang sekali, terkekeh senang mendengar bahwa dara itu pernah membaca kitab Tiong Yong. Dia tidak tahu bahwa mendiang ayah dara ini adalah seorang penggemar pelajaran Khong Kauw, bahkan banyak pula me mbaca kitab-kitab Too Kauw sehingga ketika me mberi pelajaran me mbaca kepada puterinya, dia menyuruh puterinya me mbaca kitab-kitab itu. Memang pada ja man itu, belajar me mbaca didasarkan kepada pe mbacaan kitab-kitab agama atau filsafat yang tinggi-tinggi sehingga anak-anak itu hanya ma mpu men ghafal huruf-huruf itu tanpa mengerti artinya secara mendalam.
"Kalau beg itu dengarkan ini: Hi Nouw Ai Lok Ci Bi Hoat, Wi Ci Tiongl"
"Ah, aku ingat!" seru Cui Hong, terseret oleh kegembiraan kakek itu yang meng ingatkan dia akan masa kecilnya ketika me mpe lajari se mua ujar-ujar itu. "Itulah bagian ke empat dari kitab Tiong Yong dan artinya Sebelum timbul perasaan Senang, Marah, Duka dan Girang, keadaan itu disebut Tiong (tegak lurus tidak mir ing)!"
"Heh-heh, bagus, bagus! Atau dengan lain kata-kata, keadaan itulah yang dinamakan Kosong atau Bebas! Aku selalu r indu akan keadaan itu." seru kakek serba hita m dengan girang. "Tapi kau tadi bernyanyi bahwa kau rindu akan kebebasan. Aku yang terhimpit kekecewaan ingin bebas dari semua kesenangan dengan jalan mengakhiri hidup, akan tetapi engkau menghalangiku. Bebas yang bagaimana yang kaumaksudkan, kek?"
"Dengarkan ini Lima warna me mbutakan mata, Lima nada menulikan telinga, Lima kelezatan menumpulkan rasa."
"Wah, itu kitab Tao-tek-keng. !" seru Cui Hong.
Kakek itu menjad i semakin g irang. "Bagus! Engkau seorang anak perempuan aneh. Hafal akan ujar-ujar dalam kitab Tiong Yong dan Tao-tek-keng, akan tetapi hendak me mbunuh diri. Bebas yang kaumaksudkan bukan melarikan diri dari kenyataan, betapapun pahit kenyataan itu terasa oleh kita, me lainkan bebas dari se mua pengaruh panca indranya, bebas dari pengaruh perasaan dan pikiran. Eh, anak baik, siapakah engkau dan me ngapa engkau seorang diri berada di te mpat ini dan ingin membunuh diri?" Dia berhenti sebentar, me mukul- mukulkan tongkatnya ke atas tanah lalu berkata lagi, "Sungguh pun engkau pernah me mpelajar i ilmu silat, akan tetapi kepandaianmu itu mas ih terlampau rendah untuk dapat kau pakai me mbe la diri, padahal di dunia ini penuh dengan kekerasan."
Setelah semua perasaan kecewa, dendam dan keputusasaan meninggalkan batinnya untuk saat itu karena pikirannya dipenuhi dengan pertemuan aneh itu, maka kecerdikan Cui Hong pun timbul kembali. Ia me mang seorang gadis yang cerdik dan kini ia melihat jelas terbukanya suatu kesempatan yang amat baik baginya. Kakek inilah yang akan dapat menolongnya! Kakek ini adalah seorang sakti, hal itu tak dapat diragukannya lagi dan kalau ia bisa mewarisi ilmu-ilmu kesaktian dari kakek ini, tentu bukan hal mustahil lagi baginya untuk kelak me mbalas dendam terhadap empat orang musuh besarnya! Cui Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. "Locianpwe, saya adalah seorang yang menderita ma lapetaka. Ayah dan suheng saya dibunuh orang, sehingga sekarang saya hidup sebatangkara di dunia ini. Karena putus asa, tadi saya bermaksud mengakhir i penderitaan ini dengan bunuh diri. Akan tetapi, setelah bertemu dengan locianpwe, baru saya sadari betapa kelirunya niat saya tadi. Saya akan merasa beruntung sekali kalau locianpwe sudi menerima saya sebagai murid locianpwe. "
"Heh-heh-heh, aku harus tertawa agar tidak menang is. Di pelosok manapun di dunia ini selalu kute mui kebencian, kekerasan, permusuhan, bunuh- me mbunuh di antara manus ia. Tidak mudah untuk menjadi muridku, karena selamanya aku tak pernah menerima murid. Akan tetapi....
engkau ini anak pere mpuan yang aneh, hapal akan kitab-kitab suci akan tetapi mau bunuh diri, hemm, siapakah na ma mu?"
"Na ma saya Kim Cui Hong."
"Kenapa ayahmu dan suhengmu dibunuh orang?"
"Mula- mula putera jaksa di Thian-cin me minang saya. Karena saya sudah ditunangkan dengan suheng, maka pinangan itu dito lak oleh ayah. Hal ini me mbuat marah putera jaksa itu dan dia hendak menggunakan kekerasan. Kami me lawan dan akhirnya kami ditangkap, ayah dan suheng dibunuh dan saya..... saya mengalami penghinaan- penghinaan, akan tetapi tidak dibunuh dan dibuang di dalam hutan ini "
"Aihhh.....! Sungguh benar sekali para bijaksana mengatakan bahwa kecantikan, kekayaan, kedudukan, kepandaian lebih banyak mendatangkan sengketa dan permusuhan daripada kedamaian dan persahabatan. Kim Cui Hong, jadi sekarang engkau hidup sebatangkara, tanpa sanak- kadang, tanpa rumah tinggal?" "Benar, locianpwe, saya tidak me miliki apa-apa lagi dan karena itu mohon sudilah locianpwe menerima saya sebagai murid."
"Hemmm, sela manya aku belum pernah mener ima murid, dalam usia setua ini muncul engkau. Inikah yang dina makan nasib, jodoh atau kebetulan saja? Agaknya aku harus men inggalkan se mua yang pernah kupelajari kepada seseorang, akan tetapi bagaimana kalau kelak kepandaian itu dipergunakan untuk kejahatan?"
Cui Hong yang mendengarkan kakek itu bicara seperti bicara kepada diri sendiri, cepat menjawab, "Saya bersumpah tidak akan me mpergunakan ilmu yang saya terima dari suhu untuk kejahatan. Saya akan mentaati semua pesan dan perintah suhu!" Dengan cerdiknya ia langsung menyebut "suhu" kepada kakek itu untuk melenyapkan sa ma sekali keraguan yang masih me mbayang pada suara kakek itu.
"Suhu..... aih, sungguh enak sebutan itu, agaknya sama dengan sebutan ayah yang belum pernah kurasakan. Suhu.....
heh-heh-heh, anak baik, aku suka menjadi suhumu."