“Kalau ayah tidak mau keluar, mereka akan membakar rumah ini untuk memaksa semua keluarga keluar dan membiarkan rumah ini habis dimakan api. Kalau kita tetap tidak mau keluar, berarti kita akan mati hangus di dalam sini.” Mendengar ucapan itu, Nyonya Ji dan para pelayan menjerit.
Wajah hartawan itu menjadi pucat sekali. “Kau... kau anak murtad... anak durhaka...”
Kui Hwa menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya. Dengan kedua mata basah ia berkata, “Ayah, bukan maksudku untuk murtad dan durhaka. Bahkan aku bermaksud baik. Ayah, apa artinya harta bertumpuk kalau penghuni dusun ini hidup sengsara dan kita dikelilingi musuh? Bukankah jauh lebih baik hidup tenteram dan damai, menggunakan sebagian dari harta kita untuk menolong manusia lain dari kelaparan dan kesengsaraan? Kalau ayah menganggap aku durhaka, terserah, akan tetapi Tuhan yang tahu bahwa bukan maksudku untuk menjadi anak durhaka. Mari, ayah, mari kita keluar dan bicara dengan mereka. Percayalah, sampai bagaimanapun, aku akan melindungi dan membela ayah.”
Setelah Kui Hwa membujuk, juga ibu gadis itu, akhirnya hartawan Ji mau keluar dari pintu depan, mereka disambut sorak-sorai para penghuni dusun. Hartawan itu terbelalak pucat melihat betapa dapat dibilang seluruh penduduk dusun itu, yang pria, hadir di halaman rumahnya! Dan yang berada di depan adalah dua orang pemuda gagah bersama dua orang pemuda Koa putera-putera Lurah Koa.
Koa Hok dan Koa Sek yang oleh Goan Ciang diserahi tugas memimpin penghuni dusun dan bicara dengan hartawan Ji, segera melangkah maju dengan tegap dan sikap gagah, sampai mereka berhadapan dekat dengan keluarga hartawan itu.
“Paman Ji, kami girang sekali bahwa paman suka keluar untuk bicara dengan kami,” kata Koa Hok setelah mereka berdua memberi hormat kepada hartawan itu.
“Hemm, kalian berdua telah melupakan hubungan baik antara aku dan ayah kalian, dan kalian membawa penduduk untuk menyerbu dan mengusir anak buahku. Mau bicara apa lagi?” tanya hartawan itu dengan nada marah!
“Paman, justeru karena kami menyayang keluarga paman, maka kami melakukan ini. Ayah kami telah menyadari kesalahannya selama ini, dan kami mengharap agar paman juga menyadari. Ayah kami dan paman merupakan dua orang tokoh di dusun kita ini yang dapat memperkuat dusun, memakmurkan kehidupan penghuni dusun, bukan menjadi dua orang tokoh yang menekan dan menindas penghuni dusun. Dengan kekayaan kedua keluarga, dengan kedudukan ayah sebagai kepala dusun, keluarga kita berdua dapat berbuat banyak demi kebaikan dusun dan para penghuninya.”
“Apa yang harus kulakukan?” tanya hartawan itu dengan alis berkerut.
“Yang terpenting, paman menyadari bahwa menggunakan tukang-tukang pukul untuk menindas penghuni dusun kita merupakan tindakan yang salah. Kalau paman sudah menyadari, tentu paman tahu apa yang dapat paman lakukan. Hal itu kiranya dapat paman tanyakan kepada puteri paman sendiri, sumoi Ji Kui Hwa.”
Mendengar ucapan itu, hartawan Ji menoleh kepada puterinya dan gadis itu dengan suara lantang berkata, “Ayah, sekarang bukan waktunya lagi bagi ayah untuk menumpuk harta. Apa artinya kaya-raya kalau hidup ini tidak tenteram dan dimusuhi semua penghuni dusun? Kita dapat pertama-tama mengembalikan seluruh sawah ladang yang pernah ayah sita dari para penduduk dusun, kemudian, kita memberi pinjaman kepada mereka berupa bibit dan lain keperluan dengan janji pinjaman itu akan dikembalikan ketika panen, tanpa bunga! Dan kita harus membantu penduduk yang benar-benar kekurangan, memberi mereka pekerjaan dengan upah memadai.”
Hartawan itu terbelalak, seperti mimpi saja mendengar ucapan puterinya itu dan hatinya tentu saja membantah, “Tapi... tapi...”
“Ayah, dengan cara itu, kita akan hidup tenang dan tenteram, menjadi sahabat baik seluruh penghuni dusun! Dan kita tidak perlu lagi mempunyai tukang-tukang pukul. Kalau ada gerombolan penjahat berani mengacau dusun kita, maka seluruh penduduk akan bangkit melawan penjahat! Kita semua akan membangun dusun ini menjadi tempat yang makmur dan tenteram! Atau ayah memilih menjadi hartawan yang diasingkan semua penduduk, kalau ada gerombolan penjahat mengganggu kita, penduduk diam saja? Apakah ayah lebih senang hidup di antara orang-orang yang membenci kita?”
Hartawan Ji menjadi pening tujuh keliling. Mendadak dia merasa betapa kepalanya pusing dan tubuhnya gemetar, lemas, “Sesukamulah, Kui Hwa. Kau atur sajalah, aku tidak tahu lagi... terserah kepadamu bagaimana baiknya saja...” dan dengan terhuyung diapun masuk ke dalam dibimbing isterinya.
“Ayah telah setuju untuk bekerja sama! Seluruh tanah yang pernah disita ayah akan dikembalikan kepada pemilik semula!” teriak Kui Hwa, disambut sorak-sorai para penduduk dusun Cang-cin.
Dusun itu dalam suasana pesta, bukan pesta makan minum, melainkan pesta meriah yang nampak di wajah, senyum, dan suara mereka. Orang bergembira ria dan merasa seperti orang- orang yang tiba-tiba saja dibebaskan dari hukuman berat. Dengan bijaksana, Cu Goan Ciang lalu memancing persetujuan semua penghuni, termasuk Lurah Koa dan hartawan Ji, bahwa mulai saat itu, kedudukan kepala dusun dipegang oleh Koa Hok dan dibantu oleh Koa Sek.
Kakak beradik ini bertugas untuk mengatur keamanan dan keadilan di dusun itu, menyusun dan melatih para pemuda dusun sehingga terbentuk pasukan keamanan yang kuat untuk menjaga keamanan dusun, menetapkan pajak yang adil dan uang pajak dipergunakan untuk upah dan pembangunan dusun. Sedangkan urusan kesejahteraan dan perdagangan dusun itu diserahkan kepada Ji Kui Hwa.
Diam-diam Shu Ta kagum bukan main melihat tindakan suhengnya yang tegas dan yang demikian pandainya mengatur orang banyak sehingga dusun itu dalam sehari saja telah berubah sama sekali keadaannya. Kalau tadinya, seolah-olah ratap tangis penghuni dusun membubung ke angkasa mohon keadilan kepada Tuhan, kini ratap tangis itu berubah menjadi tawa riang menghaturkan terima kasih kepada Tuhan. Setelah semua beres, beberapa hari kemudian Cu Goan Ciang dan Shu Ta meninggalkan dusun Cang-cin, diantar oleh Koa Hok, Koa Sek, Kui Hwa dan bahkan hampir seluruh penghuni dusun mengantar kedua orang pemuda itu sampai keluar dari pintu gerbang dusun.
Setelah tiba di luar dusun dan semua pengantar kembali ke dusun, Shu Ta memandang kepada suhengnya. “Suheng, selain bakatmu dalam ilmu silat amat baik, juga engkau berbakat untuk menjadi pemimpin. Semua itu dapat kulihat ketika engkau mengatur dusunmu itu.” “Ah, sute terlalu memuji. Semua itu kulakukan karena sejak kecil aku merasa prihatin sekali menyaksikan kehidupan penghuni dusunku. Bahkan keluargaku sendiri habis karena kehidupan yang menderita kekurangan. Andai kata kita berdua tidak datang dan mengatur seperti itu, suatu ketika mungkin saja penduduk akan memberontak dan keluarga Koa dan Ji akan menjadi korban penumpahan kebencian yang terpendam selama puluhan tahun.”
“Engkau benar, suheng. Tindakanmu itu, selain menolong keadaan hidup para petani miskin di dusun itu, juga telah menyelamatkan keluarga Koa dan Ji. Mereka semua kini hidup berbahagia dan aku yakin dusun itu akan menjadi sebuah dusun yang paling makmur di seluruh daerah ini.”
“Mudah-mudahan begitu. Sekarang engkau hendak pergi ke mana, sute?”
“Seperti usulmu tempo hari, suheng, kita berpisah di sini dan mari kita berdua memperluas pengalaman di dunia kang-ouw, menyelidiki keadaan dan menyusun kekuatan untuk menentang pemerintah penjajah Mongol yang lalim.”
“Baik, sute. Selamat berpisah dan sampai berjumpa kembali.” Kakak beradik seperguruan itu saling peluk, kemudian saling memberi hormat dan keduanya mengambil jalan masing- masing di persimpangan itu.
Sungai Yang-ce merupakan sungai kedua sesudah sungai Kuning yang terbesar di seluruh Cina. Sungai ini merupakan penampungan dari banyak sungai yang lebih kecil, mengalir sejak ribuan kilometer dari barat, bermula dari dua sumber yang berada di pegunungan
Thang-la, yang bertemu menjadi sungai Chin-sa, mengalir turun ke selatan sampai ke propinsi Yun-nan, kemudian membelok ke timur, menerima penumpahan banyak sungai seperti sungai Cia-ling. Sungai Han-sui dan masih banyak lagi sungai yang lebih kecil sampai akhirnya tiba di Nan-king dan memuntahkan airnya di sebelah timur Nan-king, ke laut Kuning. Karena sungai ini melalui banyak propinsi, banyak kota dan dusun, maka tentu saja sungai ini merupakan sarana pengangkutan dan lalu lintas yang teramat penting. Saking panjangnya sungai ini disebut pula sungai Panjang.
Satu di antara kota yang dilalui sungai Yang-ce adalah kota Wu-han. Kota ini menjadi besar dan ramai, satu di antara sebabnya adalah karena menjadi kota bandar sungai Yang-ce itulah. Wu-han menerima kiriman barang-barang yang mengalir dari barat, dan mengirim barang- barang dagangan ke timur, sampai ke Nan-king dan kota-kota lainnya.
Pada suatu pagi, Cu Goan Ciang memasuki kota Wu-han. Dia melakukan perjalanan dari dusunnya menuju ke selatan dan baru sekarang dia melihat sebuah kota yang demikian ramai dan besarnya seperti Wu-han. Beberapa kali dia berhenti dan bengong penuh kekaguman memperhatikan bangunan besar yang indah atau taman yang rapi, toko-toko penuh dengan barang yang serba aneh baginya. Rumah-rumah makan yang mengeluarkan uap yang sedap. Namun, dia tidak berani masuk ke dalam sebuah di antara toko-toko atau rumah makan itu karena memang dia tidak mempunyai uang. Ketika kakak beradik Koa hendak memberi bekal kepadanya, dia menolak keras, demikian pula Shu Ta. Goan Ciang mempunyai hati yang keras, yang tidak mau menerima pemberian begitu saja. Aku harus bekerja untuk mencari uang pembeli makanan dan pakaian, pikirnya.