Halo!

Rajawali Lembah Huai Chapter 17

Memuat...

“Apa?? Kalian hendak menyerang ayah? Kalian hendal menghancurkan ayah, dan membiarkan orang-orang ini untuk merampok harta benda ayah dan membunuh ayah sekeluarga?” Wajah gadis itu berubah pucat, lalu menjadi merah sekali.

“Jangan salah sangka, sumoi. Lihat, ketika Cu Goan Ciang datang bersama sutenya, diapun tidak mengganggu ayah sekeluarga, hanya ingin menyadarkan kami. Yang dia usir hanyalah para tukang pukul ayah karena merekalah yang mengganas di dusun ini. Sekarangpun, kami hendak menyerbu ke sana bukan untuk memusuhi ayahmu, melainkan untuk menghajar para tukang pukul ayahmu dan bekas tukang pukul ayah kami yang bergabung ke sana. Terhadap ayahmu, kami hanya ingin mengajak agar dia menyadari kesalahannya selama ini dan dapat bekerja sama dengan kami untuk memakmurkan dusun kita.”

“Benar, sumoi,” kata Koa Sek menyambung ucapan kakaknya. “Kita laksanakan semua nasihat guru kita dahulu. Kita tegakkan kebenaran dan keadilan, kita bela yang lemah tertindas dan menentang yang lalim dan yang menindas orang lain seperti ayah kami dan ayahmu. Kita harus menebus semua kesalahan yang telah dilakukan oleh orang-orang tua kita.”

Kui Hwa mengangguk-angguk. “Tapi... kalian berjanji tidak akan menyerang ayahku dan keluargaku?”

“Kami berjanji!”

“Baik, kalau begitu, aku akan membantu kalian!” Ucapan Kui Hwa itu disambut sorak-sorai para penduduk yang menjadi gembira bukan main. Gadis itu memang mereka kenal sebagai seorang gadis yang wataknya baik, jauh berbeda dengan ayahnya, bahkan sering membela mereka dari penindasan ayahnya sendiri. Ketika tadi melihat gadis itu bertanding melawan Cu Goan Ciang, mereka merasa prihatin. Kini, mendengar betapa gadis itu berpihak kepada mereka untuk mengusir semua tukang pukul dari tempat tinggal ayahnya sendiri, tentu saja mereka semua merasa gembira bukan main dan berbesar hati. Juga memandang muka gadis itu, merekapun tidak ingin mencelakai orang tua gadis itu, dan semua kebencian mereka tumpahkan kepada para tukang pukul.

“Goan Ciang, apakah sekarang kita boleh berangkat?” tanya Koa Hok, Goan Ciang mengangguk, gembira melihat betapa Koa Hok dan Koa Sek, kini dibantu Kui Hwa, siap memimpin para penghuni dusun.

“Saudara sekalian,” teriaknya, “mari kita berangkat ke rumah hartawan Ji. Akan tetapi sekali lagi ingat, kita tidak bermaksud membunuh, hanya mengusir para tukang pukul dari dusun ini untuk selamanya. Jangan mengganggu keluarga Ji, jangan pula mengambil barang seperti perampok. Aku sendiri yang akan menghukum siapa yang berani melanggar!”

Berangkatlah mereka berbondong-bondong menuju ke rumah keluarga Ji. Tentu saja berita ini sudah sampai kepada hartawan Ji yang segera mengerahkan semua anak buahnya yang kini berjumlah lebih dari lima puluh orang. “Hantam mereka! Hajar dan keroyok mereka, orang- orang tak tahu diri itu!” Teriak sang hartawan dengan penuh semangat. Anak buahnya juga dengan penuh semangat menyerbu keluar dari rumah itu, dengan senjata di tangan dan penuh semangat, penuh dendam. Kini mereka berbesar hati, merasa bahwa jumlah mereka banyak sehingga mereka percaya bahwa Cu Goan Ciang dan adik seperguruannya takkan mampu menandingi pengeroyokan banyak orang.

Dua rombongan bertemu di jalan raya. Betapa kagetnya hati para pimpinan gerombolan tukang pukul itu ketika dari depan, datang bagaikan banjir, banyak sekali penghuni dusun yang semua memegang pentungan! Jumlah mereka jauh lebih banyak, ada dua ratus orang! Dan di depan mereka berjalan dengan gagahnya, bukan hanya Cu Goan Ciang dan Shu Ta, melainkan juga Koa Hok, Koa Sek, dan juga nona majikan mereka sendiri, Ji Kui Hwa! Tentu saja hal ini membuat mereka merasa jerih, akan tetapi sudah kepalang, mereka sudah berhadapan dan dengan nekat para pimpinan tukang pukul, dikepalai Bong Kit yang tinggi besar bermuka bopeng, dan Ban Su Ti yang pendek genduk, menggerakkan golok mereka menyerbu sambil memberi aba-aba kepada anak buah mereka.

Dalam beberapa gebrakan saja, Cu Goan Ciang dan Shu Ta berhasil merobohkan Bong Kit dan Ban Su Ti sehingga mereka tidak mampu bangkit kembali karena tulang kaki mereka patah-patah. Sementara itu, Koa Hok, Koa Sek dan Kui Hwa juga mengamuk. Para penghuni dusun, biarpun tidak pandai silat, namun mereka itu rata-rata adalah para petani yang setiap hari bekerja keras di bawah terik sinar matahari. Tubuh mereka kuat dan semangat mereka besar karena mereka berkelahi untuk membela diri dan membebaskan diri dari penindasan.

Sebaliknya, para tukang pukul itu sudah jerih ketika melihat Cu Goan Ciang, Shu Ta, Koa Hok, Koa Sek, dan Kui Hwa. Ditambah lagi jumlah besar dari semua penduduk yang melakukan perlawanan, mereka menjadi semakin panik dan kocar-kacir, dihajar oleh para penduduk dengan pukulan-pukulan kayu sampai mereka berteriak-teriak minta ampun. Tidak ada seorangpun di antara mereka yang mampu meloloskan diri dari amukan penduduk dusun. Akhirnya, mereka semua menjatuhkan diri berlutut dan menutupi kepala dengan kedua tangan, minta-minta ampun!

“Cukup, semua mundur!” teriak Cu Goan Ciang dan para penduduk dusun itu cepat menahan diri dan mundur, dengan sikap seperti para prajurit yang habis menang perang. Bahkan mereka yang terluka terkena goresan senjata tajam lawan juga masih tetap bersemangat, seolah darah mereka yang mengalir merupakan tanda yang membuat mereka bangga!

Cu Goan Ciang memandang kepada lima puluh orang lebih tukang pukul yang kini berlutut semua, ada yang mengerang kesakitan, ada pula yang rebah pingsan karena pemukulan kayu yang terlalu keras.

“Kalian ini orang-orang jahat yang agaknya tidak tahu diri! Apakah kami harus membunuh dulu kalian agar kalian benar-benar bertaubat?”

Mereka menjadi ketakutan dan terdengar seruan mereka minta ampun. “Biarlah, sekali ini kami memberi ampun. Kalian boleh pergi sekarang juga, cepat tinggalkan dusun ini dan siapa di antara kalian yang berani memperlihatkan diri, tentu kaliaan akan dikeroyok semua penduduk dan dibunuh dengan tubuh hancur lebur! Nah, pergi kalian dan bawa teman-teman kalian yang pingsan dan terluka!” Berbondong-bondong, para tukang pukul itu meninggalkan dusun, membawa keluarga mereka dan juga menggotong teman-teman yang terluka dan tidak mampu berjalan. Suasana menjadi sunyi dan semua orang masih berdiri di jalan raya, di depan rumah besar hartawan Ji yang daun pintunya tertutup semua.

Koa Hok menoleh kepada Cu Goan Ciang. Dia dan adiknya kini mempunyai perasaan yang aneh, yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya, yaitu perasaan bangga bahwa mereka telah berhasil melakukan sesuatu yang baik dan gagah sesuai dengan keadaan mereka sebagai putera seorang kepala dusun, dan sebagai laki-laki. Mereka merasa menjadi pendekar! “Apa yang akan kita lakukan sekarang, Cu-taihiap?”

Goan Ciang tersenyum kepadanya. Baru sekarang Koa Hok menyebutnya taihiap dan diapun tidak menanggapi sebutan ini. “Masih ada satu hal terakhir yang harus kita selesaikan,” katanya sambil menoleh dan memandang kepada Kui Hwa, “yaitu menyadarkan hartawan Ji dan untuk tugas ini, saya kira nona Ji lebih tepat untuk bertindak, kalau saja ia mau melakukannya/”

Kui Hwa memandang kepada Goan Ciang, memandang kagum. Orang ini memang hebat, pikirnya, dan selain pandai memimpin orang, juga tegas, jujur dan memegang janji. Tidak ada tukang pukul yang dibunuh, dan rumah ayahnyapun tidak dijamah. “Baik, aku siap melaksanakan tugas. Apa yang harus kulakukan?” tanyanya dengan sikap yang tegas pula.

“Bagus, engkau sungguh nampak gagah perkasa, sumoi!” kata Koa Sek.

“Nona Ji, kami sudah berjanji padamu dan kita semua bersepakat untuk tidak mengganggu ayahmu. Kami ingin agar dia, seperti juga Lurah Koa, menyadari kesalahannya ini dan menjadi warga dusun yang baik.

Kami ingin menyadarkannya, oleh karena itu, engkau masuklah dan bujuklah mereka semua keluar dan bicara dengan kami di halaman depan.” “Baik akan kulaksanakan!” kata Kui Hwa tanpa ragu lagi dan iapun berlari memasuki halaman rumah ayahnya yang luas. Goan Ciang, Shu Ta, Koa Hok dan Koa Sek juga memasuki halaman, diikuti dari belakang oleh para penduduk dusun yang baru sekali ini merasa gembira dan penuh harapan.

Kui Hwa memasuki ruangan depan rumahnya, akan tetapi daun pintunya terkunci dari dalam. Ia mengetuk pintu dan berteriak memanggil ayah ibunya. Mendengar suara puteri mereka, hartawan Ji memberi isarat kepada pelayan untuk membuka daun pintu. Pelayan wanita membuka daun pintu, membiarkan Kui Hwa masuk, akan tetapi ia segera menutupkan kembali daun pintu dengan mata terbelalak dan muka pucat melihat begitu banyaknya orang memenuhi halaman rumah.

Begitu melihat puterinya, Nyonya Ji segera menubruk dan merangkul sambil menangis. Kui Hwa merangkul ibunya seperti seorang ibu menghibur anaknya yang rewel. Sementara itu, hartawan Ji mengerutkan alisnya. Dia tadi sudah mendengar betapa puterinya ini membantu pihak musuh, ikut menyerbu dan menghajar para tukang pukul sampai mereka semua kocar- kacir dan melarikan diri meninggalkan dusun.

“Kui Hwa, apa yang kaulakukan ini! Engkau menyerang dan memusuhi ayahmu sendiri?” bentaknya dengan muka merah dan mata melotot.

Kui Hwa melepaskan rangkulan ibunya dan menghadapi ayahnya, “Ayah, mereka yang benar. Memelihara tukang-tukang pukul itu mendatangkan penyakit. Mereka adalah orang-orang jahat. Keluarga Lurah Koa sudah sadar dan mengubah jalan hidup mereka, hendak membangun dusun kita dan memakmurkan kehidupan penghuninya. Saya mohon ayah juga menyadari kekeliruan sikap hidup ayah yang sudah-sudah, tidak lagi menindas penghuni dusun, melainkan mengulurkan tangan membantu mereka agar kehidupan di dusun ini menjadi makmur, tenteram dan damai.”

“Huh, mereka itu hanya orang-orang malas yang kini bermaksud merampok harta kita!”

“Tidak, ayah. Buktinya setelah semua tukang pukul dienyahkan, tidak ada seorangpun dari mereka mengganggu rumah ini. Mereka menanti di halaman, menanti ayah keluar agar dapat bicara dengan mereka. Mari kita keluar, ayah.”

“Tidak! Tidak sudi aku bertemu dan bicara dengan para perampok itu! Engkau anak murtad! Seharusnya engkau membela keluargamu, bukan malah membantu musuh menghancurkan keluarga sendiri!”

“Aku tidak berpihak kepada musuh. Mereka bukan musuh kita, ayah. Yang mereka musuhi adalah para tukang pukul. Mereka hendak menyadarkan ayah dari kekeliruan.”

“Sudahlah, aku tidak mau keluar. Hendak kulihat mereka mau apa?”

“Kalau begitu, biarlah aku tinggal di sini, mati hangus bersama seluruh keluarga kita.”

“Mati hangus? Apa maksudmu?” Hartawan Ji Sun memandang wajah puterinya dengan alis berkerut.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment