Halo!

Rajawali Lembah Huai Chapter 16

Memuat...

Ketika semua penduduk menyambut ajakan Shu Ta itu dengan sorak-sorai, Cu Goan Ciang mengangkat kedua tangan ke atas minta perhatian dan semua orang berdiam diri, memperhatikan. “Saudara sekalian! Mulai sekarang, kalian sebagai warga dusun haruslah taat kepada Lurah Koa yang telah menyadari kekeliruannya di masa lampau. Dia diwakili oleh dua orang puteranya yang gagah. Ingat, ketaatan kalian adalah demi menjaga keamanan dusun kita sendiri. Kalau kalian, di bawah pimpinan dua saudara Koa, bersatu padu, kiranya tidak mungkin ada gerombolan penjahat berani mengusik dusun kita, tidak ada yang berani melakukan penindasan kepada kalian. Akan tetapi ingat, kalian menghadapi perampok, haruslah bersikap benar dan menentang kejahatan. Jangan lalu kalian membalas dengan jalan merampok pula sehingga tidak tahu lagi kita bedanya antara kalian dan para perampok. Dan ingat pula, bukan maksudku mengajak kalian menjadi pembunuh kejam. Kita hajar mereka, agar mereka bertaubat. Kita hajar kekuasaan sewenang-wenang dari hartawan Ji, bukan hendak mencelakai dia dan keluarganya. Mengerti?”

“Mengerti!” teriak para penghuni dusun. Kalau mereka mendapatkan kembali tanah mereka, tidak lagi ditindas dan dapat hidup aman dan tenteram di dusun mereka sendiri, hal itu sudah cukup, lebih dari pada baik. Tentu saja mereka tidak mempunyai keinginan sedikitpun untuk membalas dengan jalan merampok dan membunuh. Mereka bukan orang-orang jahat.

“Saudara sekalian, sekarang harap kalian mempersenjatai diri, bukan dengan senjata tajam, melainkan alat-alat pemukul saja dari kayu, atau tongkat, apa saja yang dapat kita pakai untuk melawan, akan tetapi bukan untuk membunuh!” terdengar Koa Hok berteriak lantang, membuat Goan Ciang dan Shu Ta saling pandang dan tersenyum girang. Para penghuni itu bersorak dan segera mereka berlari ke sana-sini untuk mencari alat pemukul.

“Bagus, dengan semangat kalian, aku yang kalian akan menang,” kata Goan Ciang kepada kakak beradik itu.

“Terima kasih, Goan Ciang. Akan tetapi kami membutuhkan bantuan engkau dan sutemu,” kata Koa Sek.

Tiba-tiba suasana menjadi tegang ketika nampak berkelebat sesosok bayangan dan di situ telah berdiri seorang gadis yang bukan lain adalah Ji Kui Hwa! Gadis ini berdiri tegak dengan wajah marah, sepasang matanya bersinar dan mulut yang manis itu kini cemberut.

”Sumoi...!!” Koa Hok dan Koa Sek berseru hampir berbareng. Dalam suara mereka saja sudah diketahui bahwa kakak beradik ini sayang kepada sumoi mereka.

“Hok-suheng dan Sek-suheng, aku datang bukan untuk berurusan dengan kalian, melainkan dengan orang yang bernama Siauw Cu! Yang mana dia?” Ucapan itu terdengar ketus dan mata yang indah tajam itu mengamati Goan Ciang dan Shu Ta.

Goan Ciang melangkah maju menghadapi gadis itu. “Akulah yang dipanggil Siauw Cu, nona.”

Sepasang mata itu berkilat dan mulut yang indah bentuknya itu tersenyum mengejek. “Bagus jadi engkau yang bernama Siauw Cu, si sombong! Engkau dahulu adalah seorang anak dusun ini, akan tetapi setelah minggat, kini engkau kembali ke sini, mengandalkan kepandaian untuk mengacau! Jangan dikira bahwa semua orang takut padamu. Aku Ji Kui Hwa tidak takut!”

“Sumoi... tunggu dulu...!” seru Koa Sek sambil mendekati sumoinya. Akan tetapi, kibasan tangan gadis itu membuat dia terpaksa mundur.

“Sek-suheng, jangan mencampuri urusanku dengan si sombong ini! Aku bahkan merasa heran mengapa engkau akrab dengan pengkhianat ini!”

“Nona, apa sebabnya engkau mengatakan aku sombong, pengacau dan bahkan pengkhianat?” Goan Ciang bertanya penasaran.

Kui Hwa berdiri tegak dan kedua tangannya bertolak pinggang sehingga seolah ia hendak mengukur pinggangnya yang ramping itu dengan jari kedua tangannya.

“Hemm, engkau masih bertanya? Engkau telah ditolong oleh Lurah Koa, sehingga selain jenazah ibumu dapat dikubur selayaknya, juga engkau diberi pekerjaan menggembala ternak. Engkau diberi makan dan pakaian secukupnya. Akan tetapi apa yang kaulakukan sebagai balas budi? Engkau memukuli kedua suhengku ini sampai pingsan, lalu engkau melarikan diri, minggat tidak berani mempertanggung jawabkan perbuatanmu. Setelah bertahun menghilang, kini engkau kembali dan engkau membalas budi paman Lurah Koa dengan menghinanya, bahkan membubarkan pasukannya dan membuat kekacauan di dusun ini!”

“Sumoi, nanti dulu!” kini Koa Hok yang berteriak dan di meloncat ke depan gadis itu, menghalangi gadis itu menentang Goan Ciang. “Engkau mendapatkan keterangan yang keliru! Memang Goan Ciang memukuli kami berdua sampai pingsan, akan tetapi itu kesalahan kami berdua. Kami merasa iri karena kalah pandai darinya, maka kami sengaja menghadangnya dan kami yang memukulinya untuk melampiaskan penasaran dan iri. Dia hanya melawan untuk membela diri, dan setelah kami roboh, dia melarikan diri, takut akan pembalasan ayah.”

Sepasang mata itu terbelalak, akan tetapi Kui Hwa masih penasaran. “Kalau begitu, dia kini datang untuk membalas dendam kepada kalian dan ayah kalian?”

“Tidak, sumoi!” kini Koa Sek yang bicara. “Goan Ciang datang untuk menyadarkan ayah dan kami dari kekeliruan. Mungkin engkau sudah mendengar. Kami mengembalikan semua tanah penduduk yang pernah dirampas ayah. Kami ingin menjadi pemimpin dan sahabat penduduk dusun kita, bukan menjadi musuh mereka. Goan Ciang benar dan kami berterima kasih kepadanya!”

Kui Hwa merasa kecelik, akan tetapi ia memang galak dan keras hati, tidak mau sudah begitu saja. “Jadi kalian mengangkat dia sebagai pimpinan?”

“Dia memang patut menjadi pemimpin kita, sumoi. Dia lihai, bijaksana dan adil, mengingatkan kami akan pesan suhu bahwa kita harus membela kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas...”

“Huh, aku tidak mau percaya begitu saja sebelum merasakan sendiri kelihaiannya.” “Sumoi!” Kakak beradik itu berseru kaget. “Cu Goan Ciang, majulah dan cabut senjatamu!” bentak Kui Hwa sambil mencabut pedangnya.

“Sumoi, jangan...!” kembali kakak beradik itu berteriak.

Shu Ta menegur mereka. “Sudahlah, saudara Koa berdua, tidak perlu mencegahnya. Nona ini benar. Sebelum berkenalan dengan orangnya, memang lebih baik kalau lebih dahulu berkenalan dengan ketangguhannya!”

Setelah dua orang kakak beradik itu mundur Goan Ciang melangkah maju, lebih mendekati gadis itu. “Baiklah, nona. Kalau nona ingin menguji kepandaian, majulah. Nona boleh menggunakan pedangmu, dan aku akan menghadapimu dengan dua tangan kosong saja.”

“Sombong, aku bisa membunuhmu!”

“Apa boleh buat, kalau aku kalah dan terbunuh olehmu, takkan ada yang menyesal, silahkan!” “Sumoi, kau takkan menang!” teriak kakak beradik Koa itu.

Mendengar ini, kemarahan Kui Hwa bagaikan api disiram minyak. “Bagus, Cu Goan Ciang, kaulihat pedangku dan jaga serangan ini!” pedangnya berkelebat dan gadis itu sudah menyerang dengan tusukan ke arah dada Goan Ciang. Kalau Goan Ciang berani menghadapi gadis itu dengan tangan kosong, hal ini bukan karena dia sombong, melainkan karena dia sudah tahu atau dapat memperhitungkan sampai di mana tingkat kepandaian sumoi dari kakak beradik Koa yang sudah dia ketahui kepandaian mereka itu.

Tusukan itu dapat dielakkan dengan mudah oleh Goan Ciang dan sampai sepuluh jurus serangan, dia selalu mengelak, membuat Kui Hwa menjadi semakin penasaran. Pada jurus berikutnya, ketika pedang itu menyambar. Goan Ciang memapaki dengan gerakan kedua tangan. Tangan kiri dengan berani menyambut bacokan pedang itu, dan jari-jari tangannya mencengkeram pedang, lalu jari tangan kanannya bergerak menotok ke arah pergelangan tangan yang memegang pedang. Kui Hwa mengeluh dan tangan kanannya seperti lumpuh. Di lain saat, pedangnya telah dirampas Goan Ciang.

Akan tetapi, dasar dara ini seorang yang bandel dan tidak mau mudah mengalah, biar pedangnya sudah dirampas, ia masih belum mau menerima kalah. Ia berteriak dan maju sambil mengirim serangan dengan pukulan-pukulan. Goan Ciang hanya mundur sambil menangkis dan ketika tangan kanan Kui Hwa memukulnya dengan jari terbuka, memukul dengan dorongan telapak tangan, dia memapaki dengan telapak tangan kirinya.

“Dukkk!!” Tubuh gadis itu terjengkang roboh kalau saja Koa Hok tidak cepat menyambutnya dari belakang dan mencegah gadis itu terbanting.

Wajah Kui Hwa menjadi merah sekali. “Sumoi, kami berduapun tidak mampu menandinginya, apa lagi engkau seorang diri,” kata Koa Hok dan kini Kui Hwa yakin bahwa ilmu kepandaian Cu Goan Ciang memang jauh lebih tinggi dari pada ilmunya, bahkan mungkin lebih tinggi dari tingkat gurunya.

Pada saat itu, para penghuni dusun sudah berkumpul membawa kayu-kayu pemukul dan jumlah mereka tidak kurang dari dua ratus orang. Agaknya seluruh penghuni dusun sudah berkumpul sekarang, siap berperang! Melihat ini, Kui Hwa terkejut bukan main.

“Mau apa mereka itu? Suheng, apa yang hendak kalian lakukan?”

“Sumoi, penduduk dusun terancam, tidak tahukah engkau bahwa ayahmu telah memanggil kembali dua puluh lima orang bekas anak buah ayah kembali ke dalam dusun ini dan agaknya menjadi anak buah ayahmu?” kata Koa Hok.

Gadis itu bersungut. “Itulah yang membuat hatiku jengkel! Karena peristiwa di sini, ayah menjadi marah dan dia mengumpulkan kekuatan, mengundang para jagoan yang diusir dari sini. Bahkan aku sendiri tidak mampu mencegah, dan ketika aku memperingatkan ayah, dia malah marah kepadaku, membuat aku jengkel dan aku mencari biang keladinya di sini!”

“Ah, engkau salah sangka, sumoi. Cu Goan Ciang adalah seorang pendekar yang hendak membersihkan dusun ini dari gangguan dan berusaha agar kehidupan penghuni dusun menjadi tenteram dan makmur. Kau ingat, sumoi, dia melakukan segala hal sesuai dengan nasihat guru kita dahulu,” kata Koa Hok.

“Tapi, apa yang hendak kalian lakukan dengan para penduduk yang membawa alat pemukul itu?”

“Kami hendak menyerbu ke tempat ayahmu, sumoi,” kata Koa Sek.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment