“Ah, tidak... Siauw Cu...”
“Sudahlah, akupun tahu akan segala yang kaulakukan melalui tukang-tukang pukulmu. Akan tetapi aku bukan datang untuk membalas dendam. Aku hanya ingin agar semua penindasan terhadap penghuni dusun ini dihentikan!”
“Siauw Cu, maafkan kami,” kata pula Koa Hok, diikuti oleh adiknya, Koa Sek.
“Bagus, kalian minta maaf, berarti kalian menyadari akan kesalahan kalian. Kalian, adalah pemuda-pemuda, jangan mengikuti jejak ayahmu yang kotor, bahkan kewajiban kalian untuk mengingatkan ayah kalian. Sekarang, semua tukang pukul sudah kita usir. Selanjutnya, semua sawah ladang yang pernah kausita, harus dikembalikan kepada pemiliknya semula. Dan mengenai pajak, memang sudah semestinya penghuni dusun yang berpenghasilan, dikenakan pajak untuk membangun dusun, akan tetapi jangan sekali-kali menekan dan sewenang- wenang. Kalau semua ini tidak segera dilaksanakan sekarang juga, kami berduapun tidak dapat bersikap lunak.”
“Baiklah... akan kulaksanakan kehendakmu, Siauw Cu,” kata Lurah Koa.
“Lurah Koa, aku bukan anak kecil Siauw Cu lagi, namaku Cu Goan Ciang. Tidak enak dipanggil Siauw Cu seolah aku masih seorang kanak-kanak. Nah, aku percaya bahwa engkau akan bertindak jujur dan benar-benar hendak bertaubat. Oleh karena itu, pelaksanaan pengembalian tanah sawah kepada para pemiliknya semula, kuserahkan kepada kakak beradik Koa!”
“Suheng, mereka ini sudah terbiasa bertindak curang, bagaimana kalau pelaksanaan itu tidak berjalan dengan seadilnya dan mereka menipu para petani?” tiba-tiba Shu Ta berkata.
“Tidak, sute. Mereka adalah dua orang pemuda yang tentu saja akan berani mengubah sikap dan tindakan masa lalu yang keliru, dan memulai dengan kehidupan baru yang sesuai dengan keadaan mereka. Pemuda-pemuda yang sudah mempelajari ilmu silat yang cukup baik, sudah sepatutnya menjadi orang-orang gagah perkasa berwatak pendekar, tidak pantas menjadi penjahat yang curang dan kejam!” kata Cu Goan Ciang sambil memberi isarat dengan pandang matanya kepada Shu Ta. Diam-diam Shu Ta kagum kepada suhengnya. Suhengnya ini, ternyata pandai bersiasat untuk membangunkan semangat orang, untuk memberi harapan kepada orang agar dapat hidup lebih baik dan bermanfaat!
Perhitungan Goan Ciang memang tepat sekali dengan penyerahan tugas itu kepada dua orang pemuda Koa itu. Dua orang pemuda itu, yang tadinya dengan munculnya Siauw Cu merasa amat terpukul dan terbanting, merasa tidak berarti, kini mendapatkan kembali kepercayaan diri mereka, merasa diri penting. Bahkan merekalah yang menghapus keraguan ayah mereka yang tidak rela mengembalikan sawah ladang kepada penghuni dusun. Mereka berdua segera membuat daftar, dan membuat pengumuman, memanggil para penghuni dusun yang bersangkutan dan mengembalikan hak milik atas sawah ladang yang dahulu disita oleh kepala dusun dari mereka sebagai pembayar hutang dan pajak. Gegerlah seluruh dusun! Dan mereka tahu bahwa semua ini berkat pembelaan Siauw Cu. Mereka bersyukur sekali dan memuji-muji Siauw Cu sebagai dewa penolong. Akan tetapi masih banyak di antara mereka yang masih merasa sengsara karena tertimbun hutang mereka kepada hartawan Ji yang kini bahkan memaksa mereka membayar hutang dengan tenaga mereka sebagai buruh tani tanpa bayar, hanya sekedar diberi makan! Juga mereka yang dahulu terpaksa membayar hutang mereka berikut bunganya kepada hartawan Ji dengan menyerahkan sawah ladang, kini masih belum mendapatkan kembali tanah mereka seperti para penghuni yang menerima kembali tanah mereka dari Lurah Koa.
“Hidup Cu-taihiap (pendekar Cu)!” terdengar seruan orang-orang di dusun itu. Kehidupan di hari itu seperti dalam suasana pesta, kecuali mereka yang masih tertindas oleh kekuasaan Ji wan-gwe.
Dengan hati gembira Goan Ciang dan Shu Ta menyaksikan pengembalian tanah yang diatur oleh kedua orang kakak beradik Koa, sedangkan Lurah Koa yang tidak berdaya ternyata jatuh sakit! Dia tinggal di kamarnya saja, namun dia sudah benar-benar menyerah, bahkan diam- diam dia menyesali semua sikap dan prilakunya selama ini. Dia terlalu gila kekuasaan, terlalu mabok kemewahan dan juga dengan kekuasaannya dia mengumbar kesenangannya akan wanita cantik, melakukan pemaksaan dan merampas anak isteri orang! Diam-diam diapun merasa terhibur dan timbul harapannya melihat sikap dua orang puteranya yang memenuhi permintaan Goan Ciang dengan rela dan sepenuh hati. Mudah-mudahan mereka tidak seperti aku, pikirnya, agar kelak tidak harus memetik buahnya yang pahit seperti aku.
Ketika Goan Ciang dan Shu Ta sedang menyaksikan pengembalian tanah yang dilakukan dua orang kakak beradik Koa, tiba-tiba datang beberapa orang dusun berlari-larian menghampiri Cu Goan Ciang. Wajah mereka pucat dan napas mereka terengah, nampaknya mereka ketakutan sekali.
“Cu-taihiap... celaka... sungguh celaka...” teriak mereka setelah tiba dekat.
Cu Goan Ciang dengan sikap tenang bertanya, “Harap paman sekalian tenang. Apakah yang terjadi maka paman kelihatan begitu ketakutan?”
Shu Ta juga ingin tahu, demikian pula Koa Hok dan Koa Sek. Seorang di antara orang-orang yang datang berlarian itu, mewakili teman-temannya dan berkata, “Hartawan Ji... dia... dia mendatangkan lagi semua jagoan bekas anak buah Lurah Koa yang telah diusir keluar dusun. Berbondong-bondong mereka datang dengan lagak sombong, di sepanjang jalan menendangi penghuni yang menonton di sepanjang jalan dan kini mereka semua memasuki perumahan hartawan Ji.”
Cu Goan Ciang mengerutkan alisnya dan Shu Ta menggeleng-geleng kepalanya, “Suheng, jelas ini sebuah tantangan. Agaknya kita harus membersihkan penyakit kedua di dusun ini, hartawan Ji!”
Cu Goan Ciang mengangguk, “Agaknya demikian, sute. Akan tetapi kita harus mendidik penduduk agar dapat membela diri terhadap penindasan penjahat. Koa Hok dan Koa Sek, kalian dengar laporan mereka tadi?”
Dua orang kakak beradik Koa itu mengangguk. “Kalau kalian sudah mendengar, lalu apa yang akan kalian lakukan?” tanya pula Goan Ciang.
Kakak beradik itu saling pandang, tertegun lalu memandang kembali kepada Goan Ciang. “Apa yang dapat kami lakukan?” Koa Hok balas bertanya. “Kami tidak dapat berbuat apa- apa.”
“Hemm, jawaban macam apa itu?” Kalian adalah putera-putera lurah di dusun ini yang berkewajiban untuk mengatur dan menenteramkan dusun ini! Juga kalian adalah dua orang pemuda yang sudah susah-payah mempelajari ilmu silat dan telah memiliki ilmu kepandaian yang cukup untuk membuat kalian menjadi orang-orang gagah. Dan kini, melihat di dusun ini terancam penindasan hartawan Ji yang mengumpulkan banyak penjahat sebagai anak buah, kalian mengatakan tidak dapat berbuat apa-apa? Kalian harus bangkit dan menghadapi ancaman bahaya bagi dusun itu, kalian harus menentangnya dan menghalau para penjahat dari dusun ini!”
“Maksudmu... kami harus melawan paman Ji?”
Ketika Goan Ciang mengangguk, Koa Sek yang berseru kaget. “Tapi itu tidak mungkin. Paman Ji adalah sahabat baik ayah dan kedua, mungkin dia akan menjadi ayah mertua seorang di antara kami, ke tiga, puterinya itupun adalah sumoi (adik seperguruan) kami! Dan ke empat, kami hanya berdua, bagaimanan mungkin menentang anak buah paman Ji yang banyak apa lagi sekarang ditambah dengan bekas anak buah ayah?”
Cu Goan Ciang memandang tajam kepada kakak beradik itu, dan sementara itu, di situ sudah berkumpul banyak sekali penduduk dusun yang ketakutan mendengar berita bahwa semua tukang pukul Lurah Koa kini telah dipanggil oleh hartawan Ji. Kemudian Cu Goan Ciang berkata dengan suara lantang dan pandang mata tajam.
”Koa Hok dan Koa Sek, dengar baik-baik, kujawab satu demi satu alasanmu tadi. Pertama, kini hartawan Ji bukan lagi sahabat ayah kalian yang telah sadar, bukan lagi sekutu hartawan Ji dalam memeras penghuni dusun. Ke dua dan ke tiga, seorang gagah selalu bertugas untuk mempertahankan kebenaran dan keadilan, meluruskan yang bengkok dan membela yang lurus tidak perduli calon mertua, tidak perduli sumoi sendiri, kalau tidak benar haruslah dihadapi sebagai lawan. Yang dimusuhi bukanlah orangnya melainkan perbuatannya. Membela yang melakukan kejahatan, sama saja dengan kita sendiri membantu kejahatan itu. Alangkah akan baiknya kalau kalian dapat menyadarkan hartawan Ji seperti halnya ayah kalian. Kemudian ke empat, untuk membela kebenaran dan keadilan, kenapa kalian harus takut menghadapi puluhan orang anak buah hartawan Ji? Tengoklah, bukankah semua saudara kita di dusun ini akan siap membantu kalian?” Cu Goan Ciang lalu menghadapi para penghuni dusun yang berkumpul di situ, melihat dan mendengarkan, “Saudara-saudara sekalian, kalau kakak beradik Koa bangkit melawan anak buah hartawan Ji, apakah kalian berani membantu mereka demi keselamatan dusun kita dari penindasan?”
Serentak semua orang berteriak-teriak, “Berani! Berani!”
Cu Goan Ciang tersenyum. “Nah, mereka berani. Apakah kalian tidak berani, Koa Hok dan Koa Sek?”
Kakak beradik itu saling pandang, lalu sama-sama tersenyum. “Tentu saja kami berani!” Shu Ta bertepuk tangan. “Bagus! Mari kita hajar mereka!”