Peninggalan Pusaka Keramat Chapter 18

NIC

Tapi baru saja tubuhnya menghempas di tepi jalan, tiba- tiba matanya melihat dua berkas cahaya yang berkilauan. Gerakannya seperti cahaya kilat. Cep! Cep! terdengar suara sebanyak dua kali. Ter-nyata sepasang pedang emas dan perak itu juga dilontarkan keluar dengan pecut di tangan gadis tadi. Sedangkan jatuhnya tepat di samping leher Tao Ling.

Tubuh Tao Ling tidak dapat digerakkan. Dengan mata membelalak dia melihat kereta kuda itu meluncur pergi dengan cepat. Pada saat itu, dia baru melihat bahwa kereta kuda itu juga berwarna putih keperakan. Rumbai-rumbai benang yang menghiasi tepian kereta melambai-lambai ketika kereta itu bergerak. Tidak lama kemudian, kereta kuda itu hanya tinggal tampak setitik warna perak di kejauhan.

Tao Ling berusaha mempertahankan ke-sadarannya. Dia benar-benar tidak dapat menduga apakah gadis dan orang tua itu terhitung orang dari golongan lurus atau sesat. Dia juga tidak dapat menduga siapa mereka?

Tadinya dalam hati Tao Ling timbul kebencian yang dalam. Tetapi setelah dipikirkan matang-matang, dia merasa tidak sepantasnya membenci mereka. Biar bagaimana mereka telah menolongnya. Bila tidak mungkin di gedung ‘Ling Wei Piau ki' dirinya sudah terkapar menjadi mayat. Walaupun akhirnya dia harus mati juga, namun setidaknya dia sudah memperpanjang kehidupannya selama dua puluh hari lebih.

Hatinya menertawai dirinya sendiri. Apa artinya hidup lebih lama dua puluhan hari? Sedangkan dirinya sendiri tidak tahu dimana sekarang dia berada, apalagi setelah mati, tidak mungkin ada yang menemukannya. Beberapa tahun kemudian, dirinya hanya tinggal onggokan tengkorak dan tulang-tulang putih.

Dengan perasaan sedih Tao Ling memejamkan matanya. Selama beberapa kentungan dia berada di antara sadar dan tidak. Hari lambat laun menjadi gelap. Rembulan jernih seperti air telaga. Sinarnya menyoroti sepasang pedang emas dan perak di samping lehernya sehingga tampak berkilauan.

Tao Ling menolehkan kepalanya menatap sepasang pedang emas dan perak itu, di dalam hatinya timbul lagi secercah harapan. Sepasang pedang emas dan perak ini sangat terkenal di dunia kang ouw. Seandainya ada orang yang melewati tempat ini, kemungkinan dirinya akan tertolong. Mata Tao Ling masih mengerling ke samping menatap sepasang pedang itu lekat-lekat. Tiba-tiba angin berhembus. Hidungnya mengendus serangkum hawa yang harum. Hanya mencium baunya saja perasaannya sudah jauh lebih nyaman dan segar. Ketika matanya memperhatikan dengan seksama, dia melihat ada semacam tumbuhan disamping sepasang pedang emas dan perak. Daunnya berwarna ungu, ukurannya lebih tinggi sedikit dari rum put biasa. Tanaman itu melambai- Iambai karena gerakan angin, pemandangan pun menjadi indah sekali.

Di bagian atas tanaman itu tumbuh empat butir buah berwarna merah sebesar kelengkeng. Merahnya demikian indah. Meskipun Tao Ling harus memiringkan kepalanya dan melihat dengan susah payah, tapi rasanya sayang untuk mengalihkan pandangannya.

Sesaat kemudian, tiba-tiba terdengar suara pletok! yang lirih, sebutir buah pecah. Buah itu meneteskan air yang baunya harum sekali. Kebetulan tetesannya jatuh di bibir Tao Ling. Gadis itu segera menjulurkan lidahnya dan menjilat cairan buah itu. Rasanya manis, begitu masuk ke dalam mulut harumnya semakin menjadi-jadi.

Sisa cairan itu menetes di atas tanah lalu meresap ke dalam dan menjadi kering. Pada saat itu Tao Ling sudah tahu bahwa keempat butir buah itu adalah buah sian tho atau buah dewa yang langka. Kemungkinan apabila dia makan semua buah itu, lukanya bisa lebih cepat pulih atau mungkin tenaga dalamnya bisa bertambah.

Walaupun jarak buah itu sangat dekat, tetapi Tao Ling tidak menemukan akal untuk memakannya. Dia hanya dapat memandang lekat-lekat seperti orang rakus.

Tidak lama kemudian, terdengar lagi suara pletak! sebutir buah pecah lagi, dan cairannya pun menetes ke dalam mulut Tao Ling. Dengan rakus Tao Ling menjilatinya. Jarak pecahnya buah yang satu dengan buah yang lainnya hanya kurang lebih sepeminum teh. Tao Ling merasa jantungnya berdebar-debar. Di dalam tubuhnya mengalir hawa yang hangat.

Perasaan ini pasti dimiliki oleh orang yang normal. Padahal selama dua puluhan hari, Tao Ling justru tidak merasakannya. Bahkan sebelumnya detak jantungnya merasa lemah seperti lampu kehabisan minyak.

Kali ini, Tao Ling semakin yakin dengan dugaannya. Buah itu pasti buah langka yang mempunyai khasiat besar untuk menyembuhkan luka dalam. Dia hanya meneguk helasan tetes cairan dari buah itu, tetapi perasaannya sudah jauh lebih segar. Berarti faedah buah itu sudah terlihat. Seandainya dia bisa makan sisa buah yang tinggal dua butir lagi, bukankah keadaannya akan semakin baik?

Apabila seseorang mencapai detik kematian, pasti akan memikirkan cara untuk menyelamatkan diri sendiri. Pasti ada semacam kekuatan yang mendesak hati kecilnya untuk mempertahankan nyawanya. Begitu pula Tao Ling, kehangatan yang mengalir dalam tubuhnya seakan memberinya kekuatan. Dengan sekuat tenaga dia meneiengkan kepalanya. Walaupun dia belum sanggup mengangkat kepalanya, tetapi dia berusaha untuk menjulurkan lehernya agar dapat menggigit buah itu. Tetapi biar bagaimana dia berusaha, jaraknya dengan buah itu masih terpaut sedikit. Persis seorang anak berusia dua tahun ingin meraih suatu benda di atas meja. Apalagi keadaan Tao Ling sedang terluka parah. Dia ingin meraih buah itu rasanya sesulit terbang di angkasa.

Hampir kehabisan tenaga Tao Ling meluruskan kepalanya kembali. Dia beristirahat sejenak. Sesaat kemudian dia memberontak lagi untuk berusaha mencapai buah tadi. Kali ini, dia benar-benar mengerahkan segenap kemampuannya. Matanya melihat bibirnya hampir menyentuh buah itu. Dia membuka mulutnya lebar-lebar tetapi tetap saja masih terpaut sedikit.

Tao Ling membuka mulutnya lebar-lebar menunggu. Dalam hati dia berpikir, seluruhnya ada empat butir buah, sekarang yang dua sudah pecah dan cairannya menetes ke dalam mulutnya. Mungkin apabila dia menunggu sebentar lagi, salah satu dari buah itu pasti akan pecah pula. Demikian pula buah yang satunya. Asal dia menunggu dengan mulut terbuka, apabila kedua butir buah itu pecah, tetesannya pasti akan jatuh ke mulutnya pula.

Tetapi sampai cukup lama dia menunggunya, kedua butir buah itu tidak pecah-pecah juga.

Begitu tegangnya hati Tao Ling, sehingga hampir saja dia semaput. Di saat hatinya sedang gelisah, tiba-tiba telinganya mendengar suara dentingan. Ting! Ting! Ting! Suara itu lirih tapi beruntun. Sumber suara itu dari samping tubuhnya. Ketika dia menolehkan kepalanya untuk melihat bunyi apa yang terdengar di telinganya, Tao Ling tiba-tiba tercekat hatinya.

Rupanya dia melihat seekor ular kecil sebesar telunjuk tangan. Tubuh ular itu belang-belang kombinasi merah putih. Merahnya seperti bunga Tho, sedangkan putihnya seperti salju. Di bagian ekor ular itu terdapat sepasang keliningan kecil yang terikat. Ular itu sedang melata ke arah tanaman tadi. Setiap kali tubuhnya bergerak, keliningan di ekornya pun saling membentur dan menimbulkan suara dentingan.

Dalam sekejap mata, ular itu tampak semakin mendekat. Dengan menggunakan bagian ekornya, ular itu mendongakkan kepalanya ke atas. Dua kali mencaplok, kedua butir buah yang masih tersisa itu langsung masuk ke dalam mulutnya.

Tao Ling yang sudah bersusah payah menunggu di bawah tanaman itu tidak berhasil mengangkat kepalanya untuk menggigit buah itu. Namun ular kecil itu datang dengan menggerak-gerakkan ekornya memaplok seenaknya. Hati Tao Ling benci sekali. Dia melihat ular kecil itu kembali menggerak-gerakkan ekornya melata dengan tenang setelah menikmati kedua butir huah tadi. Lagaknya seakan mengejek Tao Ling. Hal ini membuat perasaan si gadis semakin mendongkol.

Tanpa disadari mulut Tao Ling masih terus membuka. Ular kecil itu merayap di lehernya dan hampir saja menyentuh giginya. Tiba-tiba hati Tao Ling tergerak, seandainya buah itu memang buah dewa yang langka, sedangkan saat ini baru saja masuk ke dalam mulut ular kecil itu, pasti khasiatnya masih ada. Mengapa dia tidak menggigit ular itu saja sampai putus? Bukankah sama saja dia yang menelan buah tersebut?

Diam-diam Tao Ling sudah mengambil keputusan. Demi mempertahankan nyawanya, otak Tao Ling tidak memikirkan hal lainnya lagi. Dia terus membuka mulutnya lebar-lebar dan menanti ular itu merayap lewat sekali lagi. Padahul di hari biasa, jangan kan menggigit seekor ular. bahkan menyentuhnya saja, Tao Ling merasa jijik.

Tiba-tiba ular itu merayap ke atas leher Tao Ling, kemudian mendongakkan kepalanya seakan ingin memandang gadis itu dengan seksama. Tanpa menunda waktu lagi, Tao Ling mengerahkan seluruh kekuatannya dan dicaploknya kepala ular itu bulat-bulat.

Ketika Tao Ling mencaplok kepala ular itu, keadaannya sendiri sudah setengah sadar. Bahkan seperti orang gila. Padahal kalau dilihat dari bentuk ularnya saja, siapa pun bisa menduga bahwa ular itu seekor ular yang sangat berbisa. Kalau Tao Ling sadar, dia juga tidak akan menelannya bulat- bulat.

Dalam pikiran Tao Ling, yang penting dia harus mendapatkan kedua butir buah yang sudah masuk ke dalam mulut ular itu. Karenanya, Tao Ling menggigit dengan giginya kuat-kuat, sampai sekian lama dia tidak melepaskannya. Terdengar ekor ular itu mengeluarkan suara dentingan yang terus menerus. Ular itu rupanya kesakitan dan berusaha memberontak. Bahkan berkali-kali ekornya sempat menghempas pipi dan kening Tao Ling. Gadis itu tidak perduli. Dia terus menggigit kepala ular itu. Sesaat kemudian dia merasa ada cairan yang masuk ke dalam tenggorokannya. Entah darah ular atau air buah tadi, Tao Ling tidak sempat merasakannya lagi. Hampir dua kentungan lamanya dia menggigit kepala ular itu, kemudian lambat laun dia tertidur.

***

Entah berapa lama kemudian, Tao Ling merasa kelopak matanya terasa perih. Ketika dia membuka matanya kembali, ternyata matahari sudah tinggi. Jadi saat itu adalah siang hari keduanya.

Posting Komentar