“Jadi ujian ini hanya diberikan kepada pemuda-pemuda cakap dan tampan belaka? Jadi siocia hendak mengadu kepandaian hanya dengan pemuda-pemuda yang tampan saja, tak mau dengan pemuda yang buruk rupa? Eh, apa-apaan ini? Menguji kepandaian atau mengukur tampang?”
Ong-tihu mendamprat. “Binatang! Dari mana datangnya pengemis hina yang berani mengacau? Hayo pergi, kalau tidak akan kuseret kau ke dalam penjara!”
Lie Bun menjura dengan senyum sindir. “Memang beginilah seharusnya sikap seorang pembesar yang berkuasa. Garang terhadap seorang yang dianggapnya tidak berdaya. Baiklah kalau siocia yang gagah perkasa itu takut melawan aku si buruk rupa. Biarlah ia melawan si muka tampan yang tidak becus apa-apa!”
Marahlah Ong-siocia mendengar sindiran ini. “Bangsat, kalau kau memang ada kepandaian, cobalah kau layani pedangku ini!”
Gadis itu lalu cabut pedangnya. Dengan sengit ia loncat ke arah panggung dan langsung mengirim serangan kilat. Lie Bun berkelit cepat dan berkata.
“Bagus!” kemudian ia layani gadis baju merah itu dengan tangan kosong.
Memang hebat ilmu pedang gadis itu. Hanya sayang sekali kurang tenaga hingga ilmu silatnya itu ternyata hanya bagus ditonton saja. Lie Bun di dalam beberapa gebrakan saja maklum bahwa untuk menjatuhkan gadis ini bukanlah soal yang sukar baginya.
Tapi ia masih merasa kasihan untuk mencelakakan atau membuat malu kepada gadis yang tiada hubungannya sedikitpun dengan dia itu.
Maka iapun bersilat meniru gerakan gadis itu hingga bagi para penonton kedua orang bersilat dengan indah dan lemasnya hingga mengagumkan para penonton yang sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pengemis muda itu demikian gagah dan lihai. Juga Ong-siocia sendiri merasa terkejut sekali karena pemuda muka hitam ini tepat sekali meniru gerak-geriknya dan bersilat menurut pelajaran dari cabangnya sendiri. Tapi gerakan pemuda ini demikian cepat dan lihai hingga setiap serangan pedang dapat dikelitnya dengan lincah seakan-akan pemuda itu telah tahu sebelumnya ke mana pedangnya hendak menyerang.
Setelah menyerang lebih dari lima puluh jurus tapi belum juga dapat merobohkan pemuda itu, gadis baju merah itu merasa penasaran dan malu. Terang sekali bahwa ilmu silat pemuda ini jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri. Tapi sayang bahwa pemuda ini demikian buruk dan hitam wajahnya. Sedangkan pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang pengemis pula. Diam-diam Ong-siocia merasa kecewa sekali. Pada suatu saat Ong-siocia menyerang dengan tusukan kilat ke arah dada Lie Bun. Pemuda itu sengaja hendak memperlihatkan kepandaiannya. Ia tidak kelit tusukan itu, hanya miringkan tubuhnya sedemikian rupa hingga pedang itu tepat sekali menusuk bajunya dan menyerempet kulit dadanya sebelah kanan, tapi sama sekali tidak melukai kulitnya. Karena pedang itu tepat memasuki baju, maka baik gadis itu maupun semua penonton mengira bahwa pemuda itu dada kanannya kena tusuk hingga semua orang mengeluarkan seruan.
Untuk menghidupkan permainannya, Lie Bun pura-pura berteriak kesakitan dan gunakan dengan tangannya mengepit pedang itu.
Ong-siocia buru-buru cabut pedangnya karena bukan maksudnya membunuh orang. Tapi alangkah terkejutnya ketika pedang itu terasa seakan-akan terjepit tulang iga pemuda itu hingga tak dapat dicabut.
Sementara itu, Lie Bun terhuyung-huyung mundur hingga terpaksa Ong-siocia lepaskan pedangnya yang kelihatan masih menancap di dada kanan Lie Bun.
Kemudian Lie Bun tertawa geli dan dengan tangan kiri cabut pedang itu. Semua orang memandang dengan mata melongo karena pedang itu tidak berwarna merah ujungnya seperti yang mereka sangka. Bahkan pemuda itu kini tertawa geli dan berkata.
“Aku mendengar orang berkata bahwa siapa yang dapat menangkan Ong-siocia, maka ia akan mendapat hadiah luar biasa besarnya. Hadiah yang tak terbeli oleh harta di dunia ini. Tapi aku setelah dapat melawanmu bahkan mendapat hadiah pedang.
Terima kasih, terima kasih! Harap saja siocia rela memberikan pedang ini padaku, ataukah hendak kau minta kembali?”
Ia pegang ujung pedang dan mengangsurkannya kepada Ong-siocia.
Tapi gadis itu dengan merasa malu lalu lari ke dalam tanpa berkata apa-apa.
Ong-tihu dengan diikuti beberapa orang pengawal bersenjata lengkap menghampiri Lie Bun hendak menangkapnya. Tapi pemuda itu berkata.
“Ong-tihu, tak usah repot-repot melayani aku. Aku bisa ambil sendiri hidangan- hidangan itu.”
Dan dengan sikap yang lucu, Lie Bun loncat ke arah meja paling ujung, melewati kepala para tamu, hingga orang-orang yang duduk di meja ujung itu menjadi panik dan tinggalkan mejanya.
Lie Bun lalu duduk di atas sebuah bangku dan mulai makan minum dengan lahap. Karena memang semenjak pagi tadi belum makan dan perutnya merasa lapar sekali.
Ong-tihu dengan wajah merah dan bersungut-sungut lalu memerintahkan para pengawal itu untuk mengejar Lie Bun. Tapi sambil bawa mangkok di tangan kanan dan pedang rampasan di tangan kiri, Lie Bun loncat melewati kepala mereka dan turun di ujung lain, lalu dududk di sebuah bangku melanjutkan makannya seakan- akan tiada terjadi apa-apa. Setelah beberapa kali loncat dan pindah-pindah meja hingga membuat para pengejarnya tidak berdaya karena harus jalan mengitari sekian banyak meja sedangkan yang dikejarnya dengan mudah dan enak saja melompati kepala para tamu, akhirnya Lie Bun merasa kenyang dan ia lalu berkata.
“Terima kasih untuk pedang dan makanan!” Ia lalu loncat keluar dan lari pergi.
Tentu saja peristiwa ini menggemparkan semua orang, termasuk para penonton di luar. Terutama Ong-siocia yang telah lama sekali mencari-cari dan mengharap- harapkan bertemu dengan seorang pemuda yang berkepandaian lebih tinggi darinya, menjadi bengong dan kecewa.
Mengapa pemuda itu berwajah hitam? Ini tidak begitu hebat, tapi kenapa pemuda itu hanya seorang pengemis? Ia menyesal sekali, dan setelah diingat-ingat barulah ia terkejut karena pedangnya telah terampas, sedangkan pedangnya itu bukanlah pedang biasa, tapi sebilah pedang pusaka pemberian kakeknya. Ia hanya bisa merasa
menyesal dan seringkali ia kenangkan pemuda muka hitam yang memiliki kepandaian luar biasa itu.
Sepekan kemudian, setelah menempuh perjalanan yang jauh tanpa berhenti kecuali untuk makan dan tidur, Lie Bun tiba di kota Kwie-ciu yang letaknya hanya beberapa puluh li saja dari Bi-ciu, kota tempat tinggal orang tuanya.
Karena dulu ia sering pergi ke Kwie-ciu, maka melihat kota ini, Lie Bun merasa gembira sekali dan ia tunda perjalanannya sambil melihat-lihat bagian kota yang tidak asing baginya itu.
Ternyata selama beberapa tahun ini tidak banyak terjadi perubahan pada kota ini. Waktu yang tujuh tahun itu seakan-akan baru tujuh hari saja lamanya. Alangkah cepatnya sang waktu meluncur.
Ketika ia sering datang ke kota ini, ia masih berusia kurang lebih sebelas tahun. Tapi kini ia telah menjadi seorang pemuda dewasa. Ia tundukkan kepala memandang pakaiannya yang buruk penuh tambalan dan kedua kakinya yang telanjang. Lalu teringatlah ia ketika dulu ia mengunjungi kota ini dengan pakaian mewah. Maka tersenyumlah dia.
Bagaimana kalau ayah ibu dan kakaknya melihat ia dalam pakaian macam ini? Ah, mereka tentu takkan mengenalnya lagi. Biarlah aku akan membuat mereka terkejut dan bingung, pikirnya gembira.
Tiba-tiba terdengar suara gembreng dan tambur dari jauh. Bersinarlah kedua mata Lie Bun karena ia teringat akan arti bunyi-bunyian itu.
Itulah tambur gembreng di kelenteng Kwan-im-pouwsat di tikungan jalan yang menuju ke Bi-ciu.
Ternyata musim kering telah lewat dan untuk menyatakan terima kasih kepada Kwan- im-pouwsat, dewi yang murah hati yang selalu menjaga ketentraman dan kemakmuran para petani dan rakyat kecil itu, penduduk Kwie-ciu lalu mengadakan keramaian. Seperti biasa di depan kelenteng itu dibangun di mana orang bermain barongsai dan lion. Juga kadang-kadang di situ dipakai untuk bermain silat mendemonstrasikan kepandaian guru-guru silat di Kwie-ciu.
Maka tentu saja Lie Bun tertarik sekali, karena dulupun ia selalu dari Bi-ciu sengaja datang ke kota ini untuk menonton keramaian ini.
Benar saja, ketika ia tiba di depan kelenteng itu, orang-orang yang menonton keramaian telah penuh.
Kelenteng dihias dengan bunga-bunga, daun-daun dan kertas-kertas beraneka warna. Di depan kelenteng telah dibangun panggung yang tinggi dan kokoh dan di atas panggung tampak sedang dimainkan barongsai dengan tetabuhan yang sangat nyaring dan ramai.
Lie Bun mendesak maju dan berdiri di depan melihat permainan barongsai. Setelah permainan itu selesai, maka seorang gemuk yang berpakaian sebagai seorang ahli silat, muncul dari belakang panggung dan setelah menjura ke empat penjuru dengan kaku karena ketika membongkokkan tubuh, perutnya yang gendut itu mengganjal di depan. Ia lalu berkata, ternyata suaranya keras dan nyaring.
“Saudara-saudara sekalian, perayaan untuk menghormat Pouwsat tahun ini diadakan lebih besar dari pada tahun-tahun yang sudah lalu. Bahkan sekarang diadakan pertunjukkan istimewa, yakni pemilihan jago muda yang paling gagah di kota Kwie- ciu dan sekitarnya. Para guru silat di Kwie-ciu dan Bi-ciu menjadi saksi dan juri, sedangkan yang telah mendaftarkan untuk mengikuti pertandingan ini adalah enam belas jago-jago muda dari Kwie-ciu dan Lun-kwan.”
“Pertandingan pertama dilakukan delapan kali dan keenam belas orang pengikut itu namanya akan diundi untuk menetapkan harus berhadapan dengan siapa. Kemudian delapan orang pemenang dari pertandingan babak pertama ini akan diundi dan dipilih lagi menjadi empat orang pemenang. Dan demikian selanjutnya sampai terpilih pemenang pertama yang akan disebut jago muda dari daerah Kwie-ciu.”
Si Topeng Setan Menjadi Si Muka Hitam
PIDATO ini disambut dengan tepuk tangan riuh rendah karena para penonton merasa gembira sekali hendak disuguhi atraksi istimewa yang belum pernah diadakan.
Juga Lie Bun merasa gembira sekali, karena ia ingin sekali tahu siapakah jago muda terpandai di kota ini.
Si gendut itu angkat kedua tangannya untuk mencegah orang-orang membuat gaduh, lalu berkata lagi.
“Nama-nama peserta akan diumumkan dan undian telah dilakukan tadi.”
Pertandingan diadakan dengan cara tangan kosong dan tidak boleh menggunakan senjata tajam atau senjata rahasia. Luka atau kematian akibat pertandingan ini bukan tanggung jawab para peserta, dan hal ini telah disetujui oleh para pembesar yang berkuasa.
“Nah, sekarang peserta nomor satu Kwee Siang In berhadapan dengan peserta nomor tujuh Mo Kang Lok. Kwee-enghiong adalah jago muda dari Lun-kwan, sedangkan