Halo!

Pengemis Tua Aneh Chapter 16

Memuat...

Pemuda itu menengok dan Kwei Lan melihat betapa kedua mata pemuda itu basah air mata.

Lie Bun segera banting pitnya dan lari tinggalkan Kwei Lan yang masih berdiri termangu memandang lukisan di balik kipasnya. Lukisan seorang pemuda yang bermuka hitam totol-totol buruk sekali. Ia menghela napas dan memungut kipas itu. Kemudian lama sekali ia memandang kedua lukisan itu. Lukisan gambarnya sendiri dan gambar pemuda yang telah menolongnya itu. Kemudian ia tutup kipas itu dan menyimpannya dibalik lipatan lengan bajunya.

Setelah menghaturkan terima kasih kepada tuan rumah atas kebaikan dan keramah tamahannya, kedua guru dan murid itu berpamit dan melanjutkan perantauan mereka. Lie Bun merasa seakan-akan jiwanya tertinggal di taman bunga yang indah itu dan semenjak melangkah keluar dari gedung Lo-wangwe, ia merasa tak gembira dan pendiam.

Suhunya tahu akan perubahan muridnya, maka ia bertanya.

“Lie Bun, agaknya kau mengalami sesuatu di gedung Lo-wangwe.” Lie Bun terkejut dan menggeleng-gelengkan kepala.

“Tidak apa-apa, suhu!” biarpun suaranya tetap dan gelengan kepalanya keras, namun ia tidak berani menentang pandangan mata suhunya.

Kang-lam Koay-hiap tersenyum dan angkat pundaknya. Ia maklum akan hati seorang muda dan menganggap hal ini wajar. Tapi ia merasa iba kepada muridnya yang berwajah buruk ini. Ia maklum bahwa wajah muridnya ini agaknya tak memungkinkan ia untuk dapat hidup berkasih-kasihan dengan seorang wanita cantik. Maka diam-diam ia menghela napas dan menyedihkan keadaan muridnya yang ia cinta sepenuh hatinya, bagaikan cinta seorang ayah terhadap putera sendiri.

Dua tahun kemudian, di dalam perantauannya Kang-lam Koay-hiap telah mengajak muridnya menjelajah hampir seluruh Tiongkok Timur sampai ke pantai laut.

Kemudian mereka kembali ke barat karena kakek pengemis itu berpikir bahwa kini kepandaian Lie Bun sudah cukup masak dan sudah tiba saatnya pemuda itu kembali kepada orang tuanya.

Ia ingin menyerahkan anak muda itu kepada Lie-wangwe dan menyatakan terima kasihnya atas kepercayaan wan-gwe itu, karena dengan ikutnya Lie Bun merantau menjadi muridnya, maka orang tua yang hidup sebatang kara itu merasa sangat terhibur dan merasa hidupnya mempunyai tujuan dan cita-cita, yakni menggembleng Lie Bun menjadi seorang yang berguna.

Tapi malang baginya, ketika mereka berdua sampai di kota Tembok, Kang-lam Koay- hiap yang terkenal gagah perkasa dan berkepandaian tinggi itu terpaksa menyerah dengan kekuasaan alam dan ia menderita sakit. Tubuhnya panas sekali dan kepalanya selalu pening hingga ia tak kuat bangun.

Lie Bun menjaganya dengan teliti sekali, bahkan dengan uang simpanan ia membeli obat di warung obat dalam usahanya menolong suhunya. Seminggu lamanya Kang- lam Koay-hiap yang kosen itu menggeletak di emper sebuah kelenteng dengan lemas tak berdaya sama sekali dan tidak mau makan, hanya menerima sedikit minum yang disediakan oleh muridnya. Lie Bun sendiri tidak mempunyai selera untuk makan karena hatinya sedih dan cemas sekali melihat keadaan suhunya.

Perjalanan Akhir Pengemis Sakti

SETELAH lewat sepekan, penyakit yang mengganggu tubuh Kang-lam Koay-hiap berangsur-angsur mengurang dan ia sudah mulai suka makan hidangan yang disediakan oleh Lie Bun.

“Muridku, tubuhku yang telah tua dan lemah ini agaknya tidak kuat menandingi semangatku yang masih kuat dan gembira. Kalau kupaksa-paksa tentu aku akan semakin menderita. Mulai besok, kita akan langsung menuju ke kotamu dan pulanglah ke rumah orang tuamu. Ingatkah kau, sudah berapa lama kau tinggalkan rumah orang tuamu?

Karena gembira melihat suhunya telah sembuh, Lie Bun menjawab sambil tersenyum.

“Kurang lebih tujuh tahun, suhu, karena dulu teecu baru berusia sebelas tahun dan sekarang sudah hampir delapan belas tahun.”

“Perjalanan kita sudah jauh juga hingga waktu lewat tidak terasa lagi. Dari sini ke kotamu masih membutuhkan waktu perjalanan sedikitnya setengah bulan. Tapi dalam keadaan tubuhku seperti sekarang ini, mungkin dalam satu bulan baru bisa sampai.” “Tidak apa, suhu. Teecu sabar menanti. Apakah artinya satu atau dua bulan setelah berpisah selama tujuh tahun?”

Kang-lam Koay-hiap mengangguk-angguk. “Kau benar, muridku. Jadi orang harus sabar, harus sabar sekali ”

Lie Bun heran melihat sikap suhunya. Agaknya penyakit itu telah mendatangkan perubahan besar kepada gurunya yang tadinya bersemangat kini menjadi lemah.

Kemudian ia tinggalkan gurunya untuk mencari hidangan malam. Karena ia masih ada simpanan uang, maka ia membeli masakan dari rumah makan. Ia tahu bahwa sehabis sembuh dari penyakitnya, suhunya tentu ingin sekali makan enak. Juga ia membeli arak wangi satu guci penuh. Dengan hati girang Lie Bun yang setia dan menyinta gurunya itu lari kembali ke kelenteng rusak. Ia sengaja ambil jalan di atas genteng agar dapat lari lebih cepat lagi.

Tapi alangkah kagetnya ketika ia loncat turun dari atas genteng kelenteng. Ternyata gurunya sedang bertempur hebat melawan tiga orang. Dan suhunya terdesak hebat sekali oleh ketiga musuh yang tangguh itu. Lie Bun banting makanan yang dipegangnya dan cepat sekali ia menyerbu dengan marah sekali ke dalam medan pertempuran.

Ternyata olehnya bahwa yang mengeroyok gurunya adalah dua orang berusia kurang lebih empat puluh tahun dan seorang hwesio gundul yang bertubuh kate dan gemuk. Kepandaian dua orang setengah tua itu tidak begitu hebat walaupun pedang mereka cukup cepat, tapi yang hebat ialah hwesio kate gemuk itu.

Biarpun hwesio itu hanya bertangan kosong, tapi jelas bahwa kepandaian si kepala gundul itu tidak berada di bawah kepandaian Kang-lam Koay-hiap sendiri. Karena ini maka Lie Bun menyerang dengan hebat dua orang yang bersenjata pedang.

“Lie Bun, kau gempurlah dua tikus ini!” Yang dimaksud dua tikus adalah dua orang yang bersenjata pedang itu, maka Lie Bun lalu lepas ikat kepalanya dan menyerang dengan benda itu.

Lie Bun telah maju pesat ilmu silatnya, juga ia telah banyak mengalami pertempuran selama ikut suhunya merantau, maka ia dapat melayani kedua orang itu dengan baik.

Biarpun ia bersenjata ikat kepala tapi karena ikat kepala itu panjang dan lemas dan digunakan dengan tenaga lweekang, maka ganas dan kuatnya tidak kalah dengan pedang lawannya. Bahkan dengan ikat kepala itu ia mencoba untuk membelit pedang lawan dan merampasnya.

Sementara itu, Kang-lam Koay-hiap melayani hwesio pendek gemuk yang sangat lihai itu. Mereka sama-sama mahir dan ahli lweekeh yang tinggi ilmu silatnya, hingga

pertempuran mereka merupakan pertempuran yang mati-matian. Sayang sekali bahwa tubuh Kang-lam Koay-hiap yang baru saja sembuh dari sakit itu masih lemah dan setelah bertempur ratusan jurus, Kang-lam Koay-hiap merasa lelah sekali dan kepalanya mulai pening. Agaknya penyakit yang telah sembuh itu kambuh lagi.

Lie Bun memang tahu bahwa suhunya masih lemah, maka ia menaruh perhatian sekali dan sambil bertempur ia selalu melirik ke arah suhunya.

Untung baginya bahwa kedua lawannya tidak merupakan lawan terlalu berat hingga ia dapat bagi perhatiannya. Ketika melihat betapa suhunya telah mandi keringat dan tampak pucat dan lelah sekali, Lie Bun sangat khawatir. Ia hendak membantu, tapi kedua lawannya cepat mendesak.

Dengan marah sekali, Lie Bun lalu berseru keras dan berhasil membelit pedang seorang lawan dengan ikat kepalanya lalu menariknya. Pedang itu dapat terampas dan Lie Bun segera gunakan pedang rampasan untuk mengamuk kepada kedua pengeroyoknya. Biarpun keduanya cukup tangguh, tapi karena Lie Bun berkelahi dengan penuh semangat terdorong oleh kekhawatirannya akan keselamatan suhunya, sebentar saja ia berhasil menusuk dada seorang lawan hingga roboh binasa. Musuh kedua sebelum dapat berbuat banyak, telah kena tendang lambungnya hingga terlempar dua tombak lebih dan tak dapat bangun lagi, hanya merintih-rintih di atas tanah.

Setelah merobohkan kedua lawannya, Lie Bun cepat berbalik dan membantu gurunya.

Pada saat itu, Kang-lam Koay-hiap telah lelah dan payah sekali. Dua kali ia kena pukul pada dada kanan dan pundaknya. Tapi biarpun kedua pukulan hebat itu telah melukainya di sebelah dalam, berkat keuletannya kakek kosen ini masih saja tidak mau menyerah kalah dan terus melawan dengan tekad bulat.

Lie Bun dengan gemas sekali gunakan pedangnya menyerang hwesio yang lihai itu. Melihat betapa serangan anak muda yang telah merobohkan kedua kawannya ini berbahaya sekali, hwesio kate menjadi terkejut. Ia merasa bahwa kini ia menghadapi dua lawan yang tangguh sekali dan berbahaya sekali kiranya kalau ia melawan terus.

“Kang-lam Koay-hiap, kau telah mendapat luka dalam dan jangan mati penasaran. Kalau kau tidak mampus dalam pertandingan ini dan dapat sembuh, datanglah kau ke Thian-siang dan kita lanjutkan pertempuran ini!”

Setelah berkata demikian, hwesio kate gemuk ini cepat meloncat ke atas genteng dan menghilang dalam gelap.

Lie Bun hendak mengejar, tapi Kang-lam Koay-hiap berkata lemah.

“Lie Bun ....... jangan !” Kemudian tubuh kakek itu menjadi limbung dan

terhuyung-huyung, kemudian roboh sambil semburkan darah segar dari mulutnya.

“Suhu !” Lie Bun lempar pedangnya dan loncat menubruk lalu memondong tubuh

suhunya ke tempat bersih.

Kang-lam Koay-hiap tersenyum. “Aku puas muridku. Kau telah cukup kuat dan tidak kalah gesit dengan aku ketika masih muda.” “Suhu, suhu bagaimanakah rasanya? Kau mendapat luka di mana?” Lie Bun tanya

dengan penuh kekhawatiran, sama sekali tidak memperhatikan pujian suhunya.

“Aku ... aku mendapat luka ... dua kali, yang terakhir hebat sekali ” kemudian ia

geleng-geleng kepala. “Bok Bu Hwesio itu memang lihai ”

“Teecu akan mencarinya, suhu! Teecu akan mengadu jiwa dengannya!” Lie Bun gemas.

“Tahukah kau siapa yang kau robohkan tadi? Mereka adalah Siong Gak dan Siong Gi kedua murid dari Kiu-thou Lo-mo yang dulu mencari ayahmu dan kubinasakan di atas rumah orang tuamu dulu! Kini kedua murid itu mencari aku dan membalas dendam gurunya. Mereka belajar silat lagi kepada Bok Bu Hwesio dan berhasil ajak suhunya yang baru ini untuk menjatuhkan aku! Tapi mereka sendiri jatuh dalam tanganmu. Ah

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment