Pengemis Tua Aneh Chapter 15

NIC

Sementara itu, Lie Bun dengan gerakan gesit dan cepat, loncat ke arah tubuh gadis itu dilempar dan sebelum tubuh gadis itu jatuh ke bawah, ia segera menangkap dan memeluknya.

Alangkah terkejut dan malunya ketika ia melihat bahwa tubuh itu adalah tubuh seorang gadis berusia sepantar dengan dia sendiri dan gadis itu berada dalam keadaan tertotok. Ia letakkan tubuh itu di atas genteng dan untuk sesaat ia duduk bengong karena untuk memunahkan totokan ini ia harus totok iga dara itu.

Penjahat malam itu hampir tak kuat menahan desakan Kang-lam Koay-hiap, maka ia berseru. “Tahan dulu! Siapakah enghiong yang menghalangi pekerjaanku?”

Kang-lam Koay-hiap tahan marahnya. “Bangsat sialan, sebelum kau ketahui namaku, buka dulu kedokmu dan jangan bersikap pengecut!”

Karena merasa bahwa dengan berkedok ia tak dapat melayani musuh lihai ini dengan baik, terpaksa penjahat malam itu buka kedoknya. Mereka saling pandang dan Kang- lam Koay-hiap benar-benar heran melihat orang yang berdiri di depannya.”

“Kau Kak Pau Hwesio?” tanyanya heran.

“Dan kau pengemis siang tadi?”

“Ha ha ha! Sudah kuduga, kau hwesio palsu! Tapi sekarang kau bertemu dengan Kang-lam Koay-hiap, jangan harap bisa hidup lebih lama lagi.”

“Kang-lam Koay-hiap?” Kak Pau Hwesio menggigil dan dengan nekad ia cabut pedangnya lalu menyerang mati-matian. Si pengemis sudah siap dengan tongkat bambunya dan mereka bertempur lagi lebih hebat.

Lie Bun akhirnya kuatkan hati dan menotok iga dara itu yang segera pulih kembali tenaganya. Dara itu memandang muka Lie Bun dengan penuh terima kasih di matanya, tapi ia masih takut sekali melihat pertempuran yang terjadi di depan matanya.

“Tolong inkong, turunkan aku!” katanya perlahan.

Lie Bun ragu-ragu. “Tapi .... tapi ...., aku harus memondong kau, nona. Tidak ada

jalan lain lagi ”

Nona muda itu untuk sesaat juga bingung, merasa malu harus dipondong oleh pemuda ini, tapi apa boleh buat karena untuk berada di atas genteng yang tinggi ini iapun merasa ngeri. Apalagi dengan adanya pertempuran di depan.

“Baiklah, tidak apa!” katanya halus. Lie Bun berkata lagi. “Maafkan kelancanganku, nona.”

Ia lalu memondong gadis itu dan loncat turun. Dara itu menjerit kecil ketika merasa tubuhnya terjun dari atas genteng yang tinggi itu dan ia memejamkan mata sambil memeluk leher Lie Bun. Pemuda ini merasa dadanya berdebar dan semangatnya terbang ketika gadis itu memeluk lehernya dan betapa rambut yang lemas dan harum itu menyapu-nyapu bibir dan hidungnya.

Mendengar suara pertempuran di atas genteng, penghuni rumah gedung itu terkejut dan bangun sambil memasang obor.

Tiba-tiba mereka melihat Lie Bun yang memondong gadis itu loncat dari atas genteng hingga mereka terkejut sekali. Mereka maju mengepung dan hendak menyerang Lie Bun, tapi gadis itu segera loncat turun dari pondongan Lie Bun sambil berseru. “Jangan serang dia!”

Seorang setengah tua lari memeluknya. “Kwei Lan! Apa yang terjadi?”

“Ayah!” gadis itu menangis tersedu-sedu dalam pelukan ayahnya. “Ada penjahat menculikku ayah! Dan inkong (tuan penolong) ini telah menyelamatkan jiwaku. Sekarang kawannya sedang bertempur dengan penjahat yang menculikku.”

Mendengar kata-kata ini, barulah Lie Bun teringat bahwa suhunya masih sedang bertempur di atas genteng, maka ia lalu loncat ke atas dengan cepat. Dilihatnya bahwa penjahat itu telah terdesak hebat oleh tongkat suhunya dan pada suatu saat, pedang penjahat itu terpental dan jatuh berkerontangan di atas genteng. Ujung tongkat menyambar dan hwesio jahat itu tertotok jalan darah yang dekat dengan jantungnya hingga mati di saat itu juga.

“Lie Bun, hayo kita pergi,” ajak Kang-lam Koay-hiap kepada muridnya tanpa memperdulikan orang-orang yang ada di bawah.

“Nanti dulu, suhu! Kita harus memberi penjelasan untuk menjaga nama baik siocia tadi.” Suhunya memandang muridnya dengan pandangan tajam. Tapi karena malam itu gelap, ia tidak dapat melihat nyata. Ia hanya menghela napas dan sambil menyeret mayat hwesio itu, ia loncat turun bersama muridnya.

Semua orang terkejut sekali ketika ia melihat bahwa yang menjadi penculik Lo Kwei Lan siocia bukan lain adalah Pak Kau Hwesio, ketua kelenteng Ban-siu-tong yang terkenal suci dan sakti. Kini mengertilah mereka bahwa sebenarnya hwesio itu bukanlah pandai mengusir siluman, tapi semua ini hanya untuk menutupi perbuatannya yang terkutuk.

Ia sendiri kalau malam menjadi siluman mengganggu orang dan mencuri harta benda. Kalau siang pura-pura menjadi hwesio alim dan mengusir segala siluman yang mengganggu.

Segera setelah hari menjadi siang, persoalan ini dilaporkan kepada yang berwajib dan karena pelapornya adalah Lo-wangwe, seorang hartawan besar, pembesar itu tidak mengusut lebih jauh dan perintahkan untuk mengubur jenazah hwesio jahat itu.

Lo-wangwe suka sekali kepada Lie Bun dan gurunya. Ia memaksa mereka bermalam dan tinggal di rumahnya beberapa lama. Sebenarnya Kang-lam Koay-hiap hendak menolak, tapi melihat wajah Lie Bun yang berbeda dari pada biasa itu, ia merasa kasihan dan bermalam di situ selama dua malam.

Pada keesokan harinya, ketika Kang-lam Koay-hiap sedang duduk minum arak dengan Lo-wangwe yang sangat menghargainya itu, Lie Bun secara iseng-iseng memasuki taman bunga di pinggir gedung. Taman bunga itu luas sekali dan ketika ia berjalan menikmati bunga-bunga yang mekar indah, tiba-tiba ia mendengar suara Kwei Lan bernyanyi perlahan.

Ia cepat bersembunyi di belakang gerombolan bunga dan dari jauh tampak dara itu bernyanyi-nyanyi kecil memasuki taman. Ketika tiba di dekat empang ikan, di mana terdapat sebuah meja dan empat kursi, gadis itu duduk. Ternyata bahwa Kwei Lan sedang membawa kipas dan perabot tulis telah tersedia lengkap di atas meja itu. Gadis ini termenung dan hentikan nyanyiannya, karena agaknya ia hendak menulis syair di atas kipas itu.

Sambil termenung, dia melihat ke arah air yang jernih dan memandang ikan-ikan yang sedang berenang kesana kemari. Tiba-tiba ia melihat sepasang ikan sisik emas berenang berdampingan, tapi ketika tiba di depannya, sepasang ikan itu berpisah, yang berekor merah ke kanan dan yang berekor kuning ke kiri. Pemandangan ini membuat Kwei Lan sadar dari lamunannya dan ia mulai menulis dengan huruf-huruf kecil di atas kipasnya.

Sepasang ikan bercerai

Seekor ke kanan, seekor ke kiri ....

Sampai disini, ia termenung kembali. “Ah!” pikirnya, kenapa syair di mulai dengan peristiwa menyedihkan? Tiba-tiba ia mendengar suara kaki orang menginjak daun kering, ia menengok dan tersenyum.

“Lie-inkong kau datang? Duduklah ...!”

Lie Bun kikuk dan malu sekali. Gadis itu demikian cantik, demikian bersih dan indah pakaiannya.

“Siocia ..... janganlah sebut aku inkong, tak pantas bagiku. Aku ... aku tak sengaja mengganggumu di sini. Maafkan aku.”

Kwei Lan tersenyum, ia suka melihat kejujuran dan kehalusan watak pemuda yang bertampang buruk itu. Bagi Kwei Lan, tampang yang buruk itu tidak menjijikan, karena ia dapat menangkap sinar mata yang lembut dan selain kulitnya rusak karena cacar, sebetulnya pemuda itu mempunyai potongan wajah dan tubuh yang gagah.

“Tidak apa, Lie-twako, kau duduklah! Aku sedang bingung bagaimana harus melanjutkan bunyi syairku ini.”

Gadis itu lalu memberikan kipasnya kepada Lie Bun. Pemuda itu membacanya dan iapun tidak tahu bagaimana harus menyambung syair itu. Ia dulu hanya sebentar belajar sastra, yakni sebelum ia ikut suhunya merantau.

“Aku seorang bodoh, nona. Tak mengerti tentang syair. Tapi syairmu ini menyedihkan. Bukankah lebih baik kalau kipasmu ini digambari saja?”

Wajah Kwei Lan berseri. “Kau pandai melukis? Ah, alangkah baiknya itu! Kau pandai melukis apa, Lie-twako?”

“Apa saja, yakni binatang-binatang atau apa saja yang bernyawa dan hidup dan dapat bergerak. Melukis bunga-bunga dan gunung aku tak dapat.”

“Binatang?” Kwei Lan mengerutkan kening dan garuk-garuk belakang telinga. Ia tadinya mengharapkan untuk digambarkan bunga yang indah dan cantik. Tapi tiba- tiba ia berseri kembali.

“Kau tadi katakan bahwa kau dapat melukis segala yang bernyawa? Kalau begitu kau dapat melukis orang?”

“Sedikit-sedikit akan kucoba,” kata Lie Bun.

Gadis itu melompat turun dari duduknya dan hampir menari kegirangan. “Kalau begitu kau harus melukis aku di atas kipasku ini!”

Pikiran ini juga menggembirakan hati Lie Bun. Segera ia angkat meja dan sebuah kursi menjauhi Kwei Lan serta minta gadis itu duduk di dekat empang. Lalu ia gunakan pit untuk melukis gadis itu di atas kipas putih yang baru ditulis sedikit. Tak lama kemudian selesailah lukisan itu. Kwei Lan girang sekali karena lukisan itu biarpun sederhana, tapi jelas menggambarkan wajahnya yang cantik jelita. “Tapi sebelah belakang kipas ini masih kosong,” kata Kwei Lan. “Apakah kau suka membuat sebuah lukisan lain lagi?”

“Aku hanya dapat membuat lukisan binatang atau ”

“Apa saja yang dapat bergerak?” Kwei Lan melanjutkan. “Nah, kau boleh melukis ...

orang lain. Kau sendiri, misalnya ”

“Melukis aku sendiri? Tapi aku tak dapat melihat rupaku, nona.”

“Mudah saja, kau dapat bercermin di air empang.”

Karena di desak berkali-kali, Lie Bun lalu duduk di pinggir empang dan ia mulai melukis dirinya sendiri, mencontoh bayangannya di dalam empang. Asyik sekali ia melukis hingga ia tidak tahu bahwa Kwei Lan telah berdiri di belakangnya dan ikut melihat lukisan itu. Di situ terlukis wajahnya dengan bagus sekali, memang raut mukanya gagah dan tampan. Mata Lie Bun bersinar-sinar gembira, tapi tiba-tiba ia melihat ke dalam air dan teringat akan sesuatu. Kerongkongannya mengeluarkan isak tertahan dan dengan cepat ia gunakan ujung pit untuk membuat totol-totol hitam di muka lukisannya itu.

“Twako !” Kwei Lan menjerit kecil sambil tak sengaja menyentuh pundak Lie Bun.

Posting Komentar