Halo!

Pendekar Wanita Baju Putih Chapter 18

Memuat...

Setelah mereka pergi jauh, Giok Cu berpaling sambil berteriak memanggil: “In kong (tuan penolong), keluarlah agar aku dapat menghaturkan terima kasihku!” Ia memanggil berkali-kali dengan mengharap munculnya Thian In yang diharap-harapnya, tapi tak seorangpun menjawab. Tiba-tiba dari tempat jauh ia mendengar suara nyanyian:

Pedang di tangan kiri

Pit dan kertas di tangan kanan Menjelajah rimba raya

Menurun jurang mendaki gunung....

Giok Cu mendengarkan lagu itu dengan bengong dan sekali lagi tak terasa air matanya jatuh turun menitik di sepanjang kedua pipinya. Mengapa Koay-hiap tidak mau bertemu dengannya. Bukankah Koay-hiap ini Souw Thian In? Apakah Thian In masih menaruh dendam dalam hati karena urusan ibunya, karena urusan ibu mereka yang bermusuhan? Ah, nasib....dan sekali lagi dalam hati Giok Cu merasa hatinya hancur hingga tak terasa pula ia menghampiri kudanya lalu sadarkan kepalanya di leher kuda. Kedua tangannya merangkul leher itu dan ia menangis terisak-isak! Kudanya agaknya mengerti akan kesedihan nona penunggangnya, beberapa kali kuda itu palingkan mukanya dan dengan lidahnya ia menjilat tangan Giok Cu sambil perdengarkan suara rintihan perlahan.

Setelah puas menangis, Giok Cu naiki kudanya dan jalankan kudanya perlahan. Hari telah sore ketika akhirnya ia keluar dari hutan yang panjang itu. Melihat udara luar agak legalah hatinya dan pikirannya tak segelap tadi. Ia pun merasa sangat lapar dan teringat bahwa semenjak pagi tadi ia belum makan apa-apa.

“Hayo kudaku yang baik, kita cari makanan!” katanya kepada kudanya sambil keprak kuda itu. Dengan cepat empat kaki kuda itu bergerak dan membalap hingga Giok Cu mendengar angin bersiutan di pinggir kedua teliganya.

Tak lama kemudian ia melihat sebuah kelenteng tua di pinggir jalan. Bau asap masakan yang sedap membuat perutnya makin terasa lapar dan terpaksa ia belokkan kudanya ke halaman kelenteng itu karena tak dapat menahan lapar lebih lama lagi. Ia ikatkan kendali kuda di pohon dan mengetuk pintu.

Di luar dugaannya, yang membuka pintu kelenteng bukanlah seorang hwesio atau niko, sama sekali bukan golongan pendeta, tapi ia adalah seorang laki-laki tinggi besar yang berewokan.

“Aku hendak bertemu dengan pendeta kelenteng ini,” kata Giok Cu ragu-ragu. Orang itu memandang tajam lalu tertawa.

“Bukankah nona hendak mencari makanan?” Giok Cu terkejut dan bercuriga.

“Nona jangan curiga atau cemas. Aku dengan tiga orang saudaraku juga tamu. Kelenteng ini kosong tidak ada penghuninya. Kami berempatpun merasa lapar dan berhenti di sini untuk masak makanan. Kalau nona sudi, silahkan makan bersama kami.”

Giok Cu hendak menolak, tapi perutnya tak tertahan lagi laparnya. Orang itu tahu akan keragu-raguannya, maka sambil tersenyum dan mengerling ke arah pedang di pinggang Giok Cu, ia berkata pula: “Nona, tak usah khawatir, aku lihat nona membawa-bawa po-kiam, tentu nona ahli silat, jadi kita masih segolongan. Kamipun penjual silat dan obat yang berkeliling.”

Maka tenanglah hati Giok Cu. Ia menjura dan berkata:

“Maaf kalau aku mengganggu, dan jika tuan sudi menolong, aku haturkan banyak terima kasih.”

Orang berewokan itu mengucapkan kata-kata merendah lalu ia persilahkan gadis itu memasuki ruangan belakang. Benar saja di ruangan itu terdapat tiga orang laki-laki lain yang duduk mengelilingi meja sambil menghadapi empat macam masakan daging rusa yang masih mengepulkan uap dan berbau sedap. Tiga orang itu heran sekali melihat saudara mereka membawa seorang gadis cantik, tapi setelah diberitahukan bahwa gadis itu adalah seorang tamu yang hendak sama-sama makan, mereka dengan ramah mempersilahkan Giok Cu ambil tempat duduk. Gadis itu merasa berterima kasih sekali. Dengan segera mereka mulai makan.

Setelah habiskan semangkok daging rusa, Giok Cu merasa laparnya berkurang dan kegembiraannya kembali serta kecurigaannya lenyap. Ia perhatikan keempat orang itu yang tampaknya bertubuh kuat dan bersikap gagah.

“Tuan sekalian yang berjualan lebih dulu, apakah bertemu seorang berbaju biru? Tanyanya.

“Berbaju biru? Ah, semenjak siang tadi kami tak bertemu dengan seorangpun, nona. Siapak orang yang kau maksudkan itu?”

Baiklah kuberitahukan saja, barang kali mereka kenal, pikir gadis itu, maka ia lalu berkata dengan suara biasa: “Ah, dia Bu-eng-cu Koay-hiap.”

Orang yang termuda ketika itu sedang minum arak. Mendengar nama ini ia terbatuk hingga arak dimulutnya tersemprot keluar lagi, tapi ketika kawannya tak memperhatikannya karena mereka semua memandang ke arah Giok Cu dengan mata terbelalak dan hampir berbareng mereka bertanya: “Di manakah Koay-hiap berada? Adakah mereka di sini?” Mereka lalu memandang ke kanan kiri seperti orang ketakutan. Giok Cu merasa heran dan tersenyum melihat sikap mereka. “Tidak, ia tidak berada di sini. Kalau ia berada di sini, tentu ia menjumpaiku.”

Empat orang itu kelihatan lega dan kini mereka memandang kepada Giok Cu dengan pandangan curiga dan segan. Berkali-kali yang brewok dan menyambut Giok Cu tadi memandang ke arah pedang gadis itu. Kemudian mereka tuang arak di mangkok Giok Cu dan persilahkan gadis itu meminumnya.

Biarpun Giok Cu tidak begitu suka arak tapi karena ia telah mengalami perasaan yang menekan perasaan di hari itu dan lagi karena orang-orang ini telah berlaku baik kepadanya, maka tak baiklah kiranya kalau ia menolak. Ia angkat mangkok itu ke mulutnya, tapi sebelum mangkok menempel di bibirnya, tiba-tiba saja mangkok itu memperdengarkan bunyi „ting!!‟ dan terloncat lalu terlepas dari pegangannya. Arak dari mangkok itu tumpah dan membasahi pakaiannya!

Empat orang itu tiba-tiba loncat dan cabut golok dan pedang masing-masing kemudian tanpa banyak bicara lagi mereka menyerang Giok Cu! Alangkah kagetnya gadis itu tapi ia tetap waspada. Sekali loncat saja ia sudah berada di ruang tengah, kemudian dengan dua kali loncatan ia sudah berada di luar kelenteng, berdiri di halaman kelenteng dengan pedang dan sabuk-sutera di tangan.

Empat orang itu memburu dengan garangnya. Giok Cu pedangnya dan berkata: “Tahan dulu! Sebenarnya apa kehendak kalian? Mengapa kalian memusuhi aku?”

Si brewok berkata singkat: “Serahkan saja buntelan dan pedangmu, kami akan pergi dengan aman. Biarlah itu kau anggap pembayar makanan.”

“Eh, eh, jadi diam-diam kalian berempat ini bangsa perampok kecil? Sungguh tak tersangka. Tak heran kalian takut mendengar nama Koay-hiap!”

“Jangan banyak cerewet. Serahkan barangmu!” Berandal itu berkata lagi agaknya mendengar namanya saja sudah membuat ia ngeri terhadap Koay-hip. Giok Cu tertawa kecil.

“Enak saja kau bicara. Mau barang-barangku? Tapi ternyata kepandaian mereka biasa saja hingga dengan sabuk suteranya Giok Cu dapat kocar-kacirkan mereka dan dalam beberapa puluh jurus saja mereka telah terlempar atau terbetot lepas oleh gerakan sabuk sutera Giok Cu yang lihai!

Giok Cu gunakan sabuknya menyabet dan melibat kaki mereka hingga sekali dibetot tubuh mereka bergulingan di tanah. Mereka segera berlutut meminta ampun. Giok Cu tertawa geli. “Ha, perampok-perampok kecil yang rendah. Biarlah nonamu ampunkan kalian hari ini karena kalian hari ini telah berlaku baik dan memberi makan padaku. Biarpun aku tahu kini di dalam arakmu itu tentu ada obat atau racun, bukan?”

Mereka tidak mampu menjawab, hanya mengangguk-anggukkan kepala memohon ampun. Ketahuilah bahwa aku Pek I Lihiap tak suka balas budi orang dengan pembunuhan, nah, kalian pergilah!”

Empat orang itu pungut senjata mereka lalu lari terbirit-birit.

Giok Cu kembali ke ruang dalam ia teringat sesuatu. Segera ia tuang sisa arak dari guci ke dalam mangkok dan cabut tusuk kondenya yang terbuat dari perak asli. Ia celupkan ujung tusuk konde itu ke dalam arak dan merendamnya beberapa lama kemudian diangkatnya kembali. Ternyata ujung tusuk kondenya telah berwarna hijau kehitam-hitaman! Giok Cu merasa ngeri dan bersukur telah dapat terhindar dari bahaya. Sekali lagi ia tertolong dengan cara bersembunyi. Ia merasa yakin bahwa yang menolongnya pasti bukan lain ialah Bu-eng-cu Koay-hiap itu orang aneh yang cara kerjanyapun aneh dan berahasia! Ia kini dapat menduga bahwa mangkok arak di tangannya tadi tentu telah pecah oleh senjata rahasia kecil.

Mengingat kembali pengalaman-pengalamannya ia menghela napas. Nyata sekali bahwa kepandaian silat tinggi saja masih belum menjami keamanan seseorang. Tadi hampir saja ia menjadi korban empat perampok kecil yang tak berarti kepandaiannya. Selain kepandaian silat, ia butuh pula pengalaman yang dapat membuat ia berlaku waspada dan hati-hati.

Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu hal. Rasanya tidak mungkin kalau kelenteng ini kosong karena keadaannya masih bersih. Pula bagaimana empat orang perampok tadi dapat masak daging rusa? Dari mana mereka dapat bumbu-bumbu dan alat untuk masaknya? Memikir sampai di sini Giok Cu segera lari ke ruang belakang dan mulai memeriksa kamar-kamar di belakang kelenteng itu. Betul saja, dalam sebuah kamar gudang ia dapatkan tiga orang pendeta yang sudah tua dan bertubuh lemah rebah dengan kaki tangan terikat dan mulut tersumbat! Segera ia lepaskan ikatan mereka dan dengan ringkas ia tuturkan bahwa keempat penjahat itu telah diusirnya.

Empat perampok itu ternyata telah merampok kelenteng itu dan membikin tiga penghuni kelenteng tak berdaya. Kemudian mereka sengaja menanti kalau-kalau ada orang lewat di situ. Kebetulan sekali Giok Cu yang lewat hingga kejahatan mereka terbasmi. Tiga orang itu menghaturkan terima kasih yang ditolak oleh Giok Cu dengan merendah dan gadis itu bahkan minta tolong untuk lewatkan malam di kelenteng itu. Tentu saja petapa-petapa itu menerimanya dengan senang hati.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi Giok Cu telah berkemas untuk melanjutkan perjalanannya. Ia mencari pendeta-pendeta di ruang belakang, kepada mereka ia menghaturkan terima kasihnya, kemudian ia tanyakan jalan.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment