“Benar, aku tidak dusta. Pernah ada seorang nona mencarinya, tapi ia segera lari pergi seakan-akan ketakutan!”
Giok Cu merasa aneh kemudian ia keluarkan sepotong perak dan lempar ke arah anak itu yang diterimanya dengan senyum girang. Kemudian Giok Cu larikan kudanya.
Ketika kudanya lari sejauh belasan li dari tempat itu, ia memasuki sebuah hutan. Hatinya agak gentar melihat betapa hutan itu sangat liar dan gelap. Tapi ia tetapkan hati dan larikan terus kudanya. Ketika ia sampai di sebuah tempat di mana banyak tumbuh rumput alang-alang, tiba-tiba kudanya berhenti dan angkat kedua kaki depannya sambil meringkik ketakutan. Dari jauh terdengar geraman harimau yang menggetarkan hutan itu.
Giok Cu cepat loncat dari keduanya dan cabut pedang. Hatinya berdebar. Belum pernah ia melawan harimau, tapi dengan pedang di tangan ia tidak merasa takut. Ia menanti agak lama belum juga muncul. Hal ini membuat ia marah karena ia merasa dipermainkan. Haruskah ia berhenti saja di situ menanti munculnya raja hutan itu? Pikiran ini membuat ia nekad ia segera menuju ke arah tempat di mana terdengar geraman tadi.
Tiba-tiba terdengar harimau menggerung hebat dan rumput alang-alang jauh di depannya bergerak-gerak seakan-akan di situ ada dua makhluk bertempur hebat. Sekali lagi harimau itu menggereng hebat tapi kali ini disusul oleh suara laki-laki bernyanyi:
Langit suram muram Bumi hitam gelap kotor
Pedang dan pit tak berguna Biarlah pedangku tumpul berkarat Biarlah pitku kering tak bertinta
Giok Cu terkejut.Ini adalah lagu yang dinyanyikan anak petani tadi! Siapakah yang bernyanyi di depan itu? Ia segera lari ke arah tempat itu, tapi yang didapatnya hanya rumput alang-alang yang rusak terpijak dan bekas-bekas perkelahian hebat, sedangkan di sana sini tercecer darah! Ia loncat mengejar ketika mendengar suara berkeresekan jauh did epannya. Untuk sekejap mata ia melihat tubuh belakang seorang yang berbaju biru. Orang itu di pundaknya tergantung bangkai seekor harimau yang besar!
Hati Giok Cu berdebar dan tak terasa pula ia berteriak memanggil: “Engko Thian In!” Tapi sekali berkelebat bayangan orang lenyap dari pandangan, Giok Cu kerahkan ilmu larinya mengejar, tapi ia tak melihat lagi bayangan orang itu. Ia menjadi bingung dan tiba-tiba saja ia bersedih sekali. Sambil lepaskan tubuh duduk di atas rumput, ia menangis tersedu-sedu dan gunakan ujung baju menutupi mukanya!
Setelah agak lama menangis, akhirnya ia dapat juga tenangkan hati dan pikirannya, lalu ia teringat kembali kepada orang tadi. Benarkah dugaannya? Benarkah orang itu Souw Thian In? Memang potongan tubuhnya sama, warna bajunya pun biru. Tapi sayang ia tak dapat melihat wajahnya. Thian In atau bukan, ia kagum sekali akan kepandaian orang. Sekejap saja ia dapat membunuh seekor harimau sebesar itu dan dengan memanggul harimau ia dapat bergerak secepat itu. Padahal biasanya Giok Cu jarang kalah dalam hal berlari cepat. Tapi kali ini ia tak berdaya sama sekali. Sekali berkelebat saja orang itu telah lari jauh dan tak tampak pula!
Dengan hati berat dan pikiran kecewa Giok Cu menghampiri kudanya dan naik ke punggung kudanya dengan perlahan. Lalu ia kedut kendali kudanya dan melanjutkan perjalanannya.
Begitu lama ia jalankan kudanya, tiba-tiba dari belakang terdengar suara kaki kuda berlari cepat dibarengi suara teriakan keras:
“Nona yang di depan, tunggu!”
Biarpun orangnya belum tampak dan suara kaki kuda masih jauh, namun suara teriakannya terdengar jelas dan nyaring hingga hati Giok Cu berdebar. Tenaga dalam orang itu betul-betul tidak boleh dibuat permainan!
Ia tahan kudanya dan balikkan kuda itu untuk menanti datangnya orang yang berteriak menahannya. Tak lama kemudian datanglah orang yang dinantinya. Ia bukan lain adalah si kate Ban Kiam yang datang berkuda di sebelah kudanya tampak seorang saykong dengan rambut panjang menutup muka dan lehernya berlari cepat. Hebat adalah kepandaian saykong itu. Biarpun kuda sebagai makhluk yang pandai berlari pesat, ternyata kedua kaki saykong itu dapat mengimbangi bergeraknya empat kaki kuda itu! Agaknya saykong itulah yang berteriak tadi.
Giok Cu berlaku waspada dan ia coba tenangkan hatinya.
“Eh, kiranya kau yang menyusul. Ada keperluan apakah?” tanyanya dengan suara acuh. Ban Kim memandangnya dengan muram, lalu ia perkenalkan dengan saykong itu.
“Lihiap, ini adalah su-siokku bernama Gan Tin-cu. Susiok, inilah dia Pek I Lihiap seperti yang teecu ceritakan tadi.”
Saykong itu gunakan sepasang matanya yang merah memandang Giok Cu dengan tajam, kemudian ia tertawa terbahak-bahak memperlihatkan isi mulutnya yang kosong tak bergigi!
“Kukira Pek I Lihiap adalah siluman wanita yang berkepala tiga berlengan enam tidak tahunya seorang gadis cantik jelita yang berkulit halus putih. Ha, ha, ha!”
Giok Cu marah sekali, ia loncat turun dari kudanya dan menuding kepada si kate sambil memaki: “Eh kate, apa maksudmu menyusul aku membawa-bawa orang yang miring otaknya ini?”
“Nona kecil, jangan kau lancang mulut!” saykong itu berkata mengancam. “Ingatkah kau beberapa bulan yang lalu di kota Tit-lee telah membunuh seorang muridku bernama Cu Lok?”
“Ah, jadi penjahat Cu Lok itu adalah muridmu? Pantas kalau begitu. Kejahatannya telah bertumpuk- tumpuk. Di kota Tit-lee ia telah banyak melakukan perampokan, pembunuhan, perkosaan, maka sudah sepantasnya dia kubunuh!” “Hm, hm, ngoceh seenaknya! Dan malah tadi kau telah hinakan Ban Kim, keponakanku ini.”
“Siapa suruh ia berlaku sombong dan agulkan kepandaiannya yang tak seberapa itu?” Giok Cu menjawab tabah.
“Kau memang sombong, Pek I Lihiap! Tapi mengingat kau masih sangat muda dan pula bahwa kau sangat cantik, juga karena aku pernah kenal baik dengan Ong Kang Ek, ayahmu, maka biarlah kau kuberi ampun. Tapi kau harus berlutut dan mengangguk tiga kali padaku dan berjanji bahwa lain kali kau takkan berani lagi mengganggu anggota Kwi-san-pay barulah aku akan beri ampun kepadamu.”
Tentu saja Giok Cu marah sekali. Ia tahu bahwa saykong ini lihai karena ia dapat menduga bahwa Gan Tin Cu tentulah suheng atau sute dari Hoan Tin Cu yang pernah mengacau di pesta ayahnya dan bertanding melawan Souw Thian In dulu. Tapi jangankan baru orang seperti Gan Tin Cu, biarpun seratus kali lebih lihai juga, tidak sudi ia harus berlutut minta ampun? Lebih baik ia mati daripada terhina macam itu! Maka dengan muka merah ia cabut pedang dan sabuk suteranya lalu maju menantang:
“Saykong jahanam! Kau kira aku takut padamu? Majulah biar kau kuantar menyusul muridmu yang rendah itu ke neraka!”
Gan Tian Cu tertawa aneh untuk menunjukkan kemurkaannya. Ia cabut sebatang tongkat berwarna hitam yang terselip di pinggangnya. “Kalau kau begini sombong dan berkepala batu, jangan anggap aku keterlaluan kalau aku paksa kau berlutut!” Sehabis berkata demikian tongkatnya bergerak menyambar. Giok Cu gerakkan pedangnya menangkis tapi hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan karena tongkat itu ternyata terbuat dari pada baja yang berat dan digerakkan oleh tangan yang kuat pula! Melihat pedang nona itu terpental oleh sambaran tongkatnya, saykong itu tertawa menyindir dan teruskan serangannya. Giok Cu berkelit ke samping lalu gerakkan sabuk suteranya menyambar leher orang. Ia bermaksud membelit leher saykong itu dan menyendalnya sampai roboh. Tapi sayang saykong itu meniup dengan mulutnya sambil berseru keras dan ujung sabuknya ternyata dapat tertiup pergi! Sekali lagi Giok Cu merasa terkejut dan tahu bahwa kepandaian saykong ini masih jauh berada di atasnya. Akan tetapi ia tidak mau menyerah kalah. Dengan kertak gigi, ia keluarkan kepandaian turunan ayahnya dan mainkan pedang di tangan kanan serta sabuk sutera di tangan kiri dengan cepat hingga kedua senjata itu bergulung-gulung merupakan dua sinar yang menyerang lawannya. Tapi tongkat Gan Tin-cu lihai sekali. Dengan goyangan perlahan saja semua serangan pedang Giok Cu dapat dipunahkan. Perlahan tapi pasti bayangan tongkatnya makin melebar dan menekan pedang dan sabuk sutera Giok Cu yang telah terdesak hebat. Hanya kenekatan dan ketabahan gadis yang pantang menyerah itulah yang membuat Giok Cu bertahan sampai lima puluh jurus lebih!
Pada saat gadis itu telah terdesak mundur sampai ke bawah pohon siong tun, tiba-tiba tongkat Gan Tin-cu menyerang hebat ke arah kepala gadis itu. Giok Cu gunakan pedang m enangkis dan berbareng tangan kirinya sabetkan sabuknya ke arah pinggang lawan. Tapi Gan Tin-cu tangkap ujung sabuk itu dengan tangan kiri, dan secepat kilat kaki kanannya bergerak menendang ke arah lutut Giok Cu sambil berseru dibarengi tertawa: “Berlututlah kau gadis sombong!”
Giok Cu merasa bahwa kali ini ia takkan dapat pertahankan diri lagi. Tongkat yang menyambarr kepalanya dapat ditangkis dengan pedang. Tapi betotan sabuknya oleh tangan kiri saykong itu membuat kuda- kudanya tergempur dan ia tak mungkin dapat menghindarkan diri dari tendangan kilat itu. Ia hanya meramkan mata menanti datangnya tendangan dan bertekad dalam hati takkan berlutut, kalau perlu biar jatuhpun ia akan usahakan miring dan tidak menghadap kepala saykong itu! Tapi pada saat itu ia mendengar Gan Tin-cu berteriak keras menahan sakit! Giok Cu cepat buka matanya dan hampir tak dapat percaya pandangan matanya sendiri! Gan Tin-cu pegang-pegang kaki kanannya yang dipakai menendang tadi karena betis kaki itu telah mengucurkan darah dengan hebat! Saykong itu marah sekali dan bergerak hendak menubruknya, tetapi tiba-tiba saja tubuh saykong itu bagaikan terbawa angin dan terlempar ke belakang! Gan Tin-cu berteriak-teriak lebih hebat dari tadi dan kini ia pegang pundak kirinya yang mengeluarkan darah hingga tangan kirinya menjadi lemas.
Kali ini saykong itu memandang ke arah Giok Cu dengan mata terpentang lebar dan penuh keheranan. “Kau gunakan ilmu siluman! Baiklah, Pek I Lihiap, kali ini aku mengaku kalah, tapi kalau kau memang wanita gagah, datang ke Kwie-san. Kalau kau berani datang, di sana kita bertempur mengadu jiwa!”
“Kau gunakan akal bulus untuk diberi kesempatan lari!” Giok Cu menyindir. “Baiklah, kau larilah dan bawalah si kate ini pergi dari sini pula. Tentang mampir ke Kwie-san, kalau kebetulan aku lewat, tentu aku akan lihat-lihat gunungmu itu!”
Gau Tin-cu menyeret kaki kanannya dan dengan bantuan Ban Kim ia naik ke punggung kuda si kate, hingga kini saykong itulah yang naik kuda sedangkan Ban Kim menuntun kuda sambil berjalan perlahan. Mereka pergi sambil bersungut-sungut diikuti gelak tawa Giok Cu.