Hal ini membuat Giok Cu marah sekali. Mukanya menjadi merah dan sepasang alisnya yang berbentuk pedang tertarik ke atas.
“He, orang kate! Kau berani bawa-bawa aku dalam urusan ini, apakah kau mau andalkan ang-see-chiu di tanganmu? Karena kau yang usulkan dan melihat bahwa Thio Piauwsu agaknya masih penasaran dan tidak mau damai, baiklah kuterima tantanganmu. Mari, mari, majulah. Anggap saja aku mewakili orang gagah Bu-eng-cu untuk menghajarmu!”
Dengan kata-kata tantangan hebat ini Giok Cu loncat ke tengah lapangan. Si kate merasa marah sekali karena ia anggap gadis itu terlalu menghinanya, maka begitu berseru keras ia loncat menyerang dengan kepalanya. Giok Cu perlihatkan kepandaiannya. Tubuhnya berkelebat dan lenyap dari depan si kate karena gadis itu telah gunakan ginkangnya meloncat melewati kepala dan turun di belakangnya. Sebelum si kate balikkan tubuh, Giok Cu gunakan ujung sepatunya mendorong pantat si kate hingga tubuh pendek itu terjungkal ke depan! Kalau si kate dan kawan-kawannya merasa terkejut sekali adalah rombongan Kiciu tertawa geli dan memuji dengan kagum. Mereka semua tak dapat melihat dengan tegas gerakan gadis itu, demikian cepat ia bergerak! Si kate sendiri menjadi malu dan marah sekali. Ia kerahkan seluruh tenaga ang-see-chiu di tangannya hingga lengan kanannya berubah merah, jingga, lalu ia kirim pukulan maut ke arah dada Giok Cu. Gadis ini tadi telah mencoba lengan Ban Kim, maka ia dapat mengukur sampai di mana kehebatan tenaga ang-see-chiu itu. Maka kali ini melihat bahwa orang gunakan seluruh tenaganya dengan maksud keji, timbullah marahnya dan ia ingin menghajar orang jumawa ini. Ketika kedua lengan lawan telah dekat ia telah merasa sebuah tenaga dengan hawa panas mendorongnya, cepat-cepat ia keluarkan kedua tangannya dan terima pukulan lawan dengan telapak tangannya!
Si kate Ban Kim merasa kepalanya bersarang ke dalam daging yang lunak. Pada saat itu Giok Cu gunakan telapak tangan kiri menerima hawa pukulan dan telapak tangan kanan membalikkan tenaga itu kembali memukul si kate Ban Kim hanya merasa betapa lengan kanannya menjadi kesemutan dan tiba-tiba ia menjerit ngeri ketika dadanya terasa sakit dan perih akibat serangan tenaganya sendiri yang membalik!
Ketika Giok Cu loncat mundur, si kate Ban Kim roboh dengan tubuh kaku dan mulut mengeluarkan darah. Ributlah rombongan piauwsu. Mereka menjadi marah dan belasan orang itu masing-masing cabut senjata dan maju menyerang Giok Cu. Tapi gadis itu segera membentak: “Siapa hendak mampus, majulah! Berbareng dengan bentakan itu, Giok Cu cabut pedang dengan tangan kanan dan loloskan sabuk sutera berwarna kuning karena semenjak berkabung ia mengganti sabuk merah menjadi sabuk kuning. Dengan gerak secepat kilat, sabuk kuning itu meluncur ke arah kawanan piauwsu dan sekali sendal saja dua batang golok telah terampas oleh ujung sabuk yang bergerak-gerak bagai ular liar! Kini gentarlah kawanan piauwsu dan melihat senjata dan gerakan gadis itu di antara mereka ada yang berseru:
“Pek I Lihiap! Pek I Lihiap!” “Memang, aku Pek I Lihiap Ong Giok Cu! Bagaimana hendak dilanjutkan adu senjata ini?” Giok Cu menantang.
Semua kawanan piauwsu tak berani bergerak. Mereka suda mendengar akan kelihaian gadis pendekar itu. Di antara mereka yang berusia tua segera menjura dan berkata lemah: “Mohon keputusan yang adil dari lihiap!”
Giok Cu maju menghampiri Ban Kim yang masih terlentang kaku. Ia menotok iga dan leher si kate itu untuk memulihkan jalan darahnya lalu suruh orang mengangkatnya dan memberi obat dalam.
“Ia sombong sekali, maka aku memberi sedikit pelajaran.”
Maka berkumpullah kedua rombongan itu mengelilingi Pek I Lihiap yang memandang mereka dengan wajah sungguh-sungguh.
“Cuwi, biarpun aku belum pernah bertemu dan tidak kenal dengan Koay-jin yang kalian segani itu, namun kurasa ia benar-benar seorang koayhiap yang cinta perdamaian. Memang di antara golongan sendiri mengapa mesti terbit permusuhan yang hanya mendatangkan perpecahan dan kerugian? Sebetulnya, apakah pokok persoalan yang mendatangkan pertikaian di antar kedua golongan ini?”
Liok An menghela napas. “Untung kau datang, Lihiap. Kami tak sangka bahwa kaulah yang akan mendamaikan kami. Sebetulnya, yang menjadi sebab ialah bahwa kami mempunyai peraturan bahwa yang menentukan kepada setiap rombongan piauwkiok yang lewat daerah ini untuk memberi sumbangan sebanyak lima ratus tail perak dengan jaminan takkanada yang berani mengganggu. Dan pihak Thio Piauwsu sama sekali menolak sumbangan ini dan menghendaki dihapuskannya sama sekali peraturan ini.”
“Benarkah bahwa Thio Piauwsu sama sekali tidak mau mengeluarkan uang sumbangan?” tanya Giok Cu kepada Thio Kiat.
“Bukannya kami sama sekali tidak mau menyerahkan uang sumbangan, tapi jumlah yang ditetapkan itu terlampau besar dan terasa berat bagi kami.”
“Jadi pada hakekatnya Thio Piauwsu mau memberi sumbangan?” “Asalkan jumlahnya jangan terlalu besar,” jawabnya.
Kemudian Giok Cu bertanya kepada Liok An. “Dan, apakah jumlah sumbangan yang terdapat dalam peraturan itu tak dapat dirobah sedikitpun?”
Merah wajah Liok An. “Bagi kami sih tidak berani menetapkan, tapi jumlah itu telah ditetapkan oleh Koay- hiap, kami hanya melanjutkan saja.”
“Aku harap cuwi suka saling mengalah. Memang pemungutan sumbangan itu adil juga, karena hendaknya Thio Piauwsu ingat bahwa para hohan di Kiciu menjamin keamanan barang-barangmu yang lewat, dan untuk itu harus disediakan uang guna membiayai mereka yang menjaga. Pula, di Kiciu diadakan usaha untuk menarik golongan rimba hijau (perampok) dan mengembalikan ke jalan benar dengan memberi pekerjaan sebagai penjaga keamanan. Tentu saja untuk biaya usaha ini harus ada sumbangan dari para dermawan dari para piauwsu yang lewat di daerah itu. Tapi sebaliknya, Liok enghiong yang mengepalai usaha itupun hendaknya memungut sumbangan dengan suka rela, tidak baik kalau ditetapkan jumlahnya hingga sifatnya seakan-akan paksaan!”
Baik Thio Kiat maupun Liok An mendengarkan uraian adil itu dengan tunduk. Mereka diam-diam merasa kagum kepada gadis muda belia ini yang ternyata mempunyai pandangan-pandangan luas dan pikiran sehat.
“Nah, sekarang aku mohon diri. Harapan saja jiwi suka ambil jalan tengah dan menyelesaikan urusan ini dengan damai. Dan bila Koay-hiap datang, tolong sampaikan hormatku dan kagumku padanya.”
Setelah berkata demikian, Giok Cu menjura memberi hormat kepada semua orang, lalu ia cemplak kudanya pergi dari situ, diikuti pandangan mata kedua rombongan itu. Giok Cu kembali ke hotelnya dan tidur. Pada keesokan harinya ia tinggalkan hotel setelah terpaksa menerima kiriman beberapa potong emas untuk bekal dari Liok An. Karena tidak mempunyai tujuan tertentu Giok Cu larikan kudanya menurut jalan besar. Setelah keluar dari kota, ia kaburkan kudanya. Mengingat perbuatannya semalam, hatinya menjadi gembira dan ia kaburkan kuda sambil tersenyum- senyum seorang diri. Matahari telah naik agak tinggi, memuntahkan cahaya kuning keemasan di permukaan sawah ladang. Kaum tani yang berangkat ke sawah dengan cangkul dipundak berjalan dengan paras berseri, sedangkan beberapa orang anak-anak menggiring kerbau dengan bersendau riang. Burung- burung pagi berkicau ramai di sepanjang jalan di mana ditumbuhi pohon-pohon yang rindang daunnya.
Giok Cu perlambat jalan kudanya ketika melewati para kaum tani yang memandangnya dengan heran. Memang agak mengherankan dan jarang terjadi seorang gadis cantik dan muda berkuda seorang diri di pagi hari lewat jalan itu. Apapula ketika mereka melihat gagang pedang yang tergantung di pinggang Giok Cu, mereka makin heran dan kagum.
Tiba-tiba Giok Cu mendengar tiupan suling. Ia menghentikan kudanya dan mendengarkan. Suling itu ditiup oleh seorang anak laki-laki berusia paling banyak empat belas tahun. Tiupannya bagus dan nyaring sedangkan lagunya bersemangat. Karena anak itu duduk di punggung kerbaunya dan berada di depan Giok Cu, maka dia tidak melihat ada seorang gadis sedang memandangnya dari belakang. Kerbaunya berjalan malas-malasan sambil ulurkan kepala ke bawah untuk makan rumput di kiri kanannya. Setelah lagu yang ditiupnya habis, anak itu bernyanyi. Suaranya sumbang dan parau, tapi kata-kata nyanyian itu membuat Giok Cu terkejut dan heran. Ia perhatikan kata-kata nyanyian yang berbunyi seperti berikut:
Pedang di tangan kiri
Pit dan kertas di tangan kanan Menjelajah rimba raya
Menurun jurang mendaki gunung Langit suram muram
Bumi hitam gelap kotor Pedang dan pit tak berguna
Biarlah pedangku tumpul berkarat! Biarlah pitku kering tak bertinta!
Ini bukanlah sembarang lagu! Giok Cu majukan kudanya sambil berpikir heran. Penggubah lagu ini tentulah seorang gagah atau seorang pandai yang kecewa dan putus asa melihat keadaan negeri yang makin kacau.
“He, adik yang baik, tegurnya kepada anak laki-laki yang segera berpaling memandang. Ternyata ia mempunyai sepasang mata yang bening dan mengandung kejujuran. Kalau semua orang di jalan tadi heran melihatnya, anak ini memandangnya tak acuh bagaikan menganggap keadaan Giok Cu itu biasa saja.
“Adik yang baik nyanyianmu indah sekali. Dari siap kau belajar nyanyian ini?” “Aku tidak belajar kepada siapa juga,” jawabnya.
“Aah, jangan bohong, adik. Apa kau mau bilang bahwa lagu itu buah karanganmu sendiri? Ingat, membohong bukanlah watak laki-laki bukankah kau seorang jantan?”
“Siapa berani bilang aku bukan seorang jantan?” Tiba-tiba anak itu turun dari punggung kerbaunya dan berdiri dengan dada terangkat. Sikapnya sungguh garang dan gagah hingga mau tak mau Giok Cu tersenyum.
“Tidak ada yang menyangka demikian. Aku anggap kau seorang jantan sejati, jantan kecil. Orang yang dapat menyanyikan lagu seperti yang kau nyanyikan tadi tak dapat tidak tentu seorang jantan.
Wajah anak itu berseri girang dan sikapnya menjadi ramah.
“Yang menyanyikan ini adalah Koay-hiap. Aku hanya mendengar saja ia bernyanyi siang malam di gubuknya hingga aku menjadi hafal kata-kata dan lagunya.” Lagi-lagi Bu-eng-cu si Tanpa bayangan! Hati Giok Cu ingin sekali melihat orang yang dikenal di mana- mana itu, siapakah Bu-eng-cu Koayhiap ini?
“Mari antar aku ke gubuknya!” ia membujuk anak itu.
Anak itu geleng kepala. “Ia telah pergi sebulan yang lalu.” “Ke mana perginya?”
Anak itu angkat pundak. “Siapa tahu? Tak seorangpun pernah tahu akan pergi atau datangnya. Ia bebas lepas bagaikan burung di udara, pergi dan datang sesukanya.”
Giok Cu menjadi kecewa, tapi ia ingin tahu lebih jauh. “Bagaimana roman mukanya?”
Anak itu tersenyum sambil memandangnya penuh pertanyaan.
Giok Cu merah mukanya lalu menambahkan: “Ia tentu sudah tua bukan? Roman mukanya menakutkan?”
Kini anak itu tertawa geli. “Kau anggap Koay-hiap menakutkan? Ah, ia seorang yang masih muda, mukanya tampan, gerak-geriknya halus hatinya baik. Tapi semua orang tunduk padanya.”
Giok Cu sangat tertarik tapi untuk menanya lebih jelas lagi ia merasa malu kalau-kalau dicurigai anak itu.
“Biarlah kalau ia sedang berada di sini, lain kali aku datang mengunjunginya,” akhirnya ia berkata sambil cemplak kudanya lagi.
“Sia-sia saja ia paling takut bertemu dengan gadis cantik.”
“Apa katamu?” Giok Cu membentak marah karena mengira anak itu mempermainkannya.