Halo!

Pendekar Wanita Baju Putih Chapter 15

Memuat...

“Awas, dia agaknya ahli Hek-ko-chiu! Liok Kay memandang ke arah tangan lawannya dan ia mengangguk maklum. Ia cukup tahu akan kelihaian hek-ko-chiu, yaitu ilmu keraskan tangan yang menjadi sekeras baja dan pukulan atau totokan jari-jari tangan demikian itu dapat mematahkan tulang, memutuskan urat!

Benar saja setelah mereka mulai bergerak, si muka hitam lalu maju menyerang dengan hebat sambil gunakan ilmu hurkin-cob-kut yakni semacam ilmu pukulan yang lihai sekali. Liok Kay memperlihatkan kelihaiannya, ia tidak mau kalah dan setelah berkelit lalu balas menyerang. Diam-diam Giok Cu kagum karena ia tak sangka bahwa Liok Kay pandai ilmu pukulan Houw jiauw kang atau pukulan kuku harimau. Ini memang merupakan ilmu yang tepat untuk melawan bek-ko-chiu karena kalau bek-ko-chiu mematahkan tulang memutuskan urat, adalah hiauw jiauw kang tak kurang hebatnya. Jari-jari yang dipakai menyerang kalau sampai dapat menangkap kulit lawan, pasti kulit berikut dagingnya akan tersobek dan hancur!

Demikianlah kedua orang itu bertempur sampai hampir seratus jurus tanpa ada yang kelihatan kalah. Pada suatu saat, ketika dengan nekad dan mati-matian, si muka hitam ulurkan kedua tangan hendak menghantam patah tulang pundak Liok Kay si kurus tinggi ini merasa terkejut sekali karena serangan itu dilancarkan ketika keadaannya sedang terbuka dan kakinya baru saja turun dari loncatan hingga tak mungkin agaknya baginya untuk berkelit. Apa boleh buat pikirnya. Ia lalu gerakkan kedua tangannya ke arah perut lawan dengan jari-jari mencengkeram!

Dua-duanya melancarkan serangan hebat, tapi kalau Liok Kay hanya terancam patah tulang pundak, adalah lawannya terancam bahaya maut! Si muka hitam agaknya memaklumi hal ini maka tentu saja ia tidak sudi menukar pukulan yang merugikannya itu. Ia tarik kedua tangannya dan sambil tarik tubuhnya ke belakang ia merendah. Gerakannya ini betul saja dapat hindarkan kulit perutnya dari tersobek dan terbuka, tapi tak urung bajunya tertangkap oleh jari-jari Liok Kay dan sambil memperdengarkan suara keras baju itu robek dan hancur berpotong-potong dalam tangan Liok Kay. Dengan muka merah karena malu, si muka hitam loncat mundur sambil menjura tanda kalah.

Kawan-kawan Liok Kay, biarpun yang telah mendapat luka, bersorak girang bahkan Giok Cu tanpa disengajapun ikut bersorak pula! Thio Kiat ketua piauwsu yang sudah merasa panas hati melihat kawannya kalah, makin panas melihat Giok Cu ikut bersora, maka sambil tersenyum ia menyindir dan berkata kepada Liok An: “Hm, hm, saksi kita agaknya berat sebelah. Agaknya lebih baik kalau dia ikut maju.”

Giok Cu terpaksa duduk kembali. Dari pihak Kiciu keluarlah Liok Wan yang bertubuh tinggi besar dan bertenaga besar pula. Untuk mendemonstrasikan tenaganya, ia buka bajunya dan gerak-gerakkan kedua lengannya hingga terdengar bunyi berkerokotan dan urat-urat tubuhnya bermain bagaikan dalam tubuh itu terdapat beberapa ekor tikus bergerak ke sana kemari!

Dari pihak piauwsu, keluarlah seorang kate yang memandang gerak gerik lawannya dengan tertawa haha hihi dan sikap tak acuh, Giok Cu melihat Liok Wan merasa kecewa karena orang yang masih dapat berlagak macam itu tentu tak berapa tinggi kepandaiannya. Sebaliknya ketika melihat orang kate itu, hatinya berdebar. Jelas tampak olehnya telapak tangan yang kemerah-merahan dari si kate hingga diam- diam ia mengeluh dan berbisik kepada Liok An yang berada di sampingnya: “Celaka, orang itu tentu ahli Ang see chiu!” Liok An juga kaget dan menyesalkan sikap adiknya yang sembrono dan sombong. Ia tahu akan kehebatan ilmu Ang-see-chiu atau tangan pasir merah ini. Tapi untuk tenangkan hati ia berkata: “Liok An mampu hadapi dia.”

Setelah mereka mulai saling serang, hati Giok Cu agak lapang karena ternyata biarpun sikapnya bodoh dan banyak lagak, ternyata Liok Wan cukup lumayan ilmu silatnya. Liok Wan bersilat dengan Lo-han- kunhwat dari Siauwlimpiy dan tiap pukulannya disertai tenaga chian-kin-lat atau tenaga seribu hati. Hal ini membuat lawannya merasa sibuk juga dan tidak sempat gunakan ang-see-chiu yang diandalkannya, ia harus kerahkan semua perhatian untuk melayani serangan Liok Wan yang tak boleh dipandang ringan. Tapi diam-diam ia kumpulkan semangat dan warna merah di telapak tangannya menjalar ke atas perlahan. Hal ini diketahui baik oleh Giok Cu yang merasa khawatir karena ia melihat betapa Liok Wan tersenyum- senyum dan merasa diri di atas angin lalu hendak mempermainkan lawannya! Memang keadaan si kate terdesak sekali, loncat ke sana kemari, lari memutar dan sibuk hindarkan serangan-serangan Liok Wan yang sebaliknya tidak berusaha menjatuhkan lawan secepatnya tapi hendak mempermainkannya seperti kucing mempermainkan tikus. Kecemasan yang diderita oleh Giok Cu berujud dan terjadi dengan tiba-tiba. Setelah merasa bahwa tenaga tangan pasir merah sudah berkumpul sepenuhnya di lengan, si kate tiba-tiba menanti datangnya pukulan Liok Wan, dengan tabah dan ketika kepalan Liok Wan menyambar kepalanya, ia angkat lengan menangkis ke arah pergelangan tangan si tinggi besar itu! Dua batang lengan beradu dan Liok Wan menjerit ngeri lalu terhuyung ke belakang, kemudian roboh tak ingat orang. Si kate yang masih penasaran maju hendak memberi pukulan maut, tapi pada saat itu tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan si kate merasa betapa sesuatu yang lunak menyambar tangannya hingga pukulannya meleset! Dengan heran dan penasaran ia melihat gadis cantik yang menjadi saksi mereka berdiri di depannya sambil tersenyum dan berkata:

“Eh, tuan kate, jangan kau langgar peraturan!” Si kate mendengar ini menjadi sangat malu dan melangkah mundur. Sementara itu, Giok Cu larang orang-orang yang hendak angkat tubuh Liok Wan, kemudian dengan cepat setelah periksa keadaan lengan Liok Wan yang matanya biru itu, ia totok belakang siku Liok Wan untuk menghentikan jalan darah hingga racun ang-see-chiu tidak akan menjalar dan memasuki jantungnya. Setelah lakukan ini barulah ia perbolehkan orang mengangkat tubuh Liok Wan untuk diobati.

Liok An marah sekali melihat pihak musuh hendak jatuhkan tangan maut, maka ia meloncat ke tengah lapangan dan berkata kepada Thio Kiat yang juga sudah berada di situ: “Thio Piauwsu pertandingan telah dilakukan enam kali dan keadaan kita tiga lawan tiga hingga belum dapat diputuskan siapa yang boleh dinyatakan menang dan siapa yang kalah. Sekarang tinggal kau dan aku yang harus menjadi keputusan terakhir. Hayo majulah dan perlihatkan kepandaianmu!”

Thio Kiat tersenyum menyindir. “Boleh, boleh, Liak kisu! Memang sebaiknya kita sendiri yang turun tangan.”

Thio Kiat disebut orang Macan-muka kuning dan ilmu silatnya terkenal di daerah utara. Ia mahir sekali mainkan ilmu silat Ngoheng-kun-hwat dan dalam menghadapi Liok An ia merasa mainkan ilmu silat ini yang selain cepat gerak-geriknya, juga tidak terduga perubahan-perubahannya dan selalu dilakukan dengan tenaga dalam yang besar.

Namun Liok An, si gemuk pendek bukanlah orang lemah. Ia seorang ahli lweekeh dan biarpun tubuhnya gemuk pendek, akan tetapi gerak-geriknya tidak kalah gesit oleh lawan. Ilmu silatnya adalah keturunan cabang Kun-lun-pai, maka ginkangnya pun boleh juga dan ia dapat mengimbangi permainan Ngoheng-kun lawannya.

Mereka bertempur sampai ratusan jurus tapi keadaan mereka tetap berimbang. Karena beberapa kali mereka telah mengukur tenaga dengan beradu lengan, maka mereka merasa bahwa tenaga masing- masing pun berimabng. Karena itu, ketika Thio Kiat menyerang dengan tipu Pay-san-to-hay atau menolak gunung menguruk laut yang dilakukan dengan sepenuh tenaga, Liok An sengaja menapaki kedua lengan lawan dengan serangan To-tiu-kim-ciang atau Robohkan-lonceng-emas. Kedua lengan mereka bertumbukan dan dengan keluarkan seruan tertahan mereka berdua terpental mundur lalu jatuh terduduk dengan napas terengah-engah. Ketika kawan-kawan kedua pihak memburu maju, tiba-tiba Giok Cu keluarkan seruan dengan keras: “Jangan ganggu mereka!”

Seruannya demikian nyaring berpengaruh hingga mereka yang hendak menolong menjadi terkejut dan urungkan niat mereka. Kedua orang ketua rombongan itu duduk dengan wajah pucat. Terang bahwa mereka sedang atur napas untuk kembalikan tenaga. Beberapa lama kemudian, mereka buka mata. Keadaan mereka mendingan, tapi wajah mereka masih pucat. Dengan perlahan mereka berdiri kau saling pandang dengan senyum pahit.

“Thio Piauwsu sungguh gagah. Kita sama-sama terluka sebelah dalam. Keadaan kita sekrang tetap tiga lawan tiga.”

“Liok kisu benar tangguh. Biarpun keadaan kita masih seri, tapi masih ada kawan-kawanku yang belum bertanding. Kita harus tetapkan siapa yang menang siapa yang kalah.

Melihat bahwa dipihak Kiciu tidak ada wakil lagi, Giok Cu menyela: “Jiwi enghiong, haruskah hal sekecil ini dibesar-besarkan? Perlukah pertandingan yang tidak ada artinya ini dilanjutkan? Jiwi adalah dua orang gagah yang menjunjung tinggi peri keadilan dan persahabatan. Mengapa untuk urusan uang tak seberapa saja lalu hendak langgar peraturan kang-ouw? Aku yang muda berpendapat bahwahal ini akan menjadi buah percakapan dan olok-olok orang banyak saja! Biarlah pertandingan yang sudah dilakukan ini menjadi bukti bahwa kedua pihak adalah sama kuat dan sama gagah dan selanjutnya supaya dicari jalan perpecahan masalah ini secara damai. Kalau aku yang bodoh tidak salah duga demikianlah kiranya kehendak orang gagah yang kalian sebut Bu-eng-cu Koay-jin itu. Untuk apakah antara kita sama kita terbit perkelahian dan permusuhan hanya karena hal-hal yang tak berarti?”

Terdengar suara-suara menyatakan setuju untuk pemandangan gadis ini, tapi dipihak piauwsu ada dua orang yang bahkan merasa penasaran dan marah. Mereka ini adalah Thio Kiat sendiri dan kawannya si kate ahli Ang-see-chiu yang bernama Ban Kim.

“Omongan nona memang enak bagi kawanan Kiciu, tapi bagi kami merupakan penasaran. Keputusan harus diadakan atas dasar kalah dan menang sedangkan kedua belah pihak seimbang. Aku usulkan diajukan seorang jago lagi untuk menetapkan siapa lebih unggul dan berhak mengajukan usul.”kata Thio Kiat dengan napas tersenggal karena sebenarnya ia menderita luka dan tidak baik banyak bicara.

“Tapi pihakku semua telah bertempur.”membantah Liok An dengan suara lemah karena luka yang dideritanya tidak kalah hebat dengan luka Thio Kiat sendiri.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa haha-hihi bagaikan suara tawa orang gila. Ternyata si kate Ban Kim yang tertawa itu. Ia melangkah maju dan memandang ke arah Giok Cu dengan sikap kurang ajar sekali.

“Bukankah dipihak Kiciu masih ada nona. Nona ini kelihatan galak dan gagah mengapa tidak maju mewakili rombongan Kiciu? Aku juga tidak berkeberatan untuk mewakili Thio twako menghadapinya.” Setelah berkata begini Ban Kim tertawa-tawa lagi dengan ceriwisnya.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment