Pendekar Super Sakti Chapter 01

NIC

Anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun itu mengintai dari kaca jendela dengan muka marah, mata merah dan gigi berkerot saking marah dan sedihnya menyaksikan keadaan di ruangan dalam rumah gedung ayahnya. Ruangan itu luas dan terang-benderang, suara tetabuhan musik terdengar riuh di samping gelak tawa tujuh orang pembesar Mancu yang sedang dijamu oleh ayahnya. Dari luar jendela ia tidak dapat menangkap suara percakapan yang diselingi tawa itu karena amat bising bercampur suara musik, akan tetapi menyaksikan sikap ayahnya terhadap para tamu pembesar itu, anak ini menjadi marah dan sedih.

Ayahnya bicara sambil membungkuk-bungkuk, muka ayahnya yang biasanya bengis terhadap para pelayan dan angkuh terhadap orang lain, kini menjadi manis berlebih-lebihan, tersenyum-senyum dan mengangguk-angguk, bahkan dengan kedua tangan sendiri melayani seorang pembesar yang brewok tinggi besar, menuangkan arak sambil membungkuk-bungkuk. Ayahnya yang dipanggil ke kanan kiri oleh para pembesar, menjadi gugup dan kakinya tersandung kaki meja, guci arak yang dipegangnya miring, isinya tertumpah dan sedikit arak menyiram celana dan sepatu seorang pembesar lain yang bermuka kuning. Anak itu dari luar jendela melihat betapa pembesar ini melototkan mata, mulutnya membentak-bentak dan tangannya menuding-nuding ke arah sepatu dan celananya.

Ayahnya cepat berlutut dan menggunakan ujung bajunya menyusuti sepatu dan celana itu sambil mengangguk-angguk dan bersoja seperti seekor ayam makan padi. Tak terasa lagi air mata mengalir keluar dari sepasang mata anak laki-laki itu, membasahi kedua pipinya dan ia mengepalkan kedua tangannya. Ia marah dan sedih, dan terutama sekali, ia malu. Ia malu sekali menyaksikan sikap ayahnya. Mengapa ayahnya sampai begitu merendahkan diri? Bukankah ayahnya terkenal sebagai Sie-wangwe (Hartawan Sie) yang amat kaya raya dan disegani semua orang, bukan hanya karena kaya rayanya, melainkan juga karena ia terkenal pula dengan nama Sie-siucai (Orang Terpelajar Sie).

Ayahnya hafal akan isi kitab-kitab, bahkan dia sendiri telah dididik oleh ayahnya itu menghafal dan menelaah isi kitab-kitab kebudayaan, dan kitab-kitab filsafat. Semenjak berusia lima tahun, dia telah belajar membaca, kemudian membaca kitab-kitab kuno dan oleh ayahnya diharuskan mempelajari isi kitab-kitab itu yang menuntun orang mempelajari hidup dan kebudayaan sehingga dapat menjadi seorang manusia yang berguna dan baik. Akan tetapi, mengapa setelah kini menghadapi pembesar-pembesar Mancu, ayahnya menjadi seorang penjilat yang begitu rendah? Anak itu bernama Han, lengkapnya Sie Han dan panggilannya sehari-hari adalah Han Han. Dia putera bungsu Keluarga Sie, karena Sie Bun An yang disebut Hartawan Sie atau Sastrawan Sie hanya mempunyai dua orang anak.

Yang pertama adalah seorang anak perempuan, kini telah berusia tujuh belas tahun, bernama Sie Leng. Han Han adalah anak ke dua. Pada saat itu, Han Han yang mengintai dari balik kaca jendela, melihat ayahnya sudah bangkit kembali, agaknya mendapat ampun dari pembesar muka kuning, dan kini menghampiri pembesar brewok yang sudah setengah mabuk dan memanggilnya. Pembesar brewok itu berkata-kata kepada ayahnya dan ia melihat betapa ayahnya menjadi pucat sekali dan menggeleng-gelengkan kepala. Akan tetapi pembesar brewokan itu menggerakkan tangan kiri dan.... ayahnya terpelanting roboh. Han Han hampir menjerit. Ayahnya telah ditampar oleh pembesar brewok itu. Dan semua pelayan yang membantu melayani tujuh orang pembesar itu berdiri dengan muka pucat dan tubuh menggigil.

Tujuh orang pembesar Mancu kini tertawa-tawa dan riuh-rendahlah mereka bicara, agaknya memaki-maki ayahnya dan mendesak ayahnya melakukan sesuatu. Si Pembesar Muka Kuning sekarang menggerakkan tangan sambil berdiri dan ia telah mencabut pedangnya. Dengan gerakan penuh ancaman pembesar muka kuning itu menusukkan pedangnya sehingga ujung pedang menancap di atas meja, berdiri dengan gagang bergoyang-goyang mengerikan. Han Han membelalakkan matanya dan ia menyelinap turun dari tempat pengintaiannya, kini ia menjenguk dari pintu belakang, terus masuk dan akhirnya ia berhasil masuk tanpa diketahui, berada di ruangan dalam itu, bersembunyi di balik tirai kayu, di mana ia dapat mengintai dan juga dapat mendengarkan percakapan mereka.

"Sie Bun An."

Terdengar pembesar brewok membentak sambil menundingkan telunjuknya kepada sastrawan itu yang sudah berlutut dengan tubuh menggigil dan muka pucat.

"Apakah engkau masih berani membantah dan tidak memenuhi perintah kami?"

Suaranya terdengar lucu karena kaku dan pelo ketika bicara dalam bahasa Han.

"Kau kira kami ini orang-orang macam apa? Kami bukan serdadu-serdadu biasa, tahu? Apa artinya penyanyi-penyanyi dan pelacur-pelacur ini?"

Si Muka Kuning menunjuk ke arah para wanita sewaan yang memang disediakan di situ untuk melayani dan menghibur mereka.

"Kami adalah pembesar-pembesar militer dan sudah baik kalau kami tidak menghancurkan rumahmu. Hayo keluarkan isteri dan puterimu."

"Ha-ha-ha, Aku mendengar Nyonya Sie dan puterinya amat cantik manis."

Berkata seorang pembesar lain yang perutnya gendut tapi kepalanya kecil.

"Suruh mereka melayani kami, baru kami percaya bahwa engkau benar-benar tunduk dan taat kepada pemerintah baru, bangsa Mancu yang jaya."

Kata pula seorang pembesar lain yang kurus kering.

"Tapi.... tapi....."

Suara ayahnya sukar terdengar karena menggigil dan perlahan, kepalanya digeleng-geleng, kedua tangannya diangkat ke atas.

"Hal itu ti.... tidak mungkin.... ampunkan kami, Taijin...."

Melihat ayahnya meratap seperti itu, air mata Han Han makin deras keluar membasahi pipinya. Bukan hanya sedih karena kasihan, melainkan terutama sekali karena malu dan kecewa. Ia tahu banyak keluarga di kota itu yang pergi mengungsi sebelum kota itu terjatuh ke tangan bangsa Mancu, mengungsi dan meninggalkan rumah serta hartanya. Akan tetapi ayahnya tidak mau meninggalkan kota, rupanya sayang kepada hartanya dan percaya bahwa kalau ia bersikap baik dan suka menyuap kepada bangsa Mancu, ia akan dapat hidup aman di situ.

"Kau membantah? Kalau begitu kau memberontak terhadap kami, ya? Hukumannya penggal kepala."

Si Perwira Muka Kuning bangkit dari kursinya, mencabut pedang yang menancap di atas meja dan mengangkat pedang itu, siap memenggal kepala Sie Bun An yang masih berlutut. Semua pelayan yang hadir, termasuk penabuh musik dan wanita-wanita sewaan, menjadi pucat dan mendekap mulut sendiri agar tidak menjerit. Han Han dari balik tirai memandang dengan mata melotot.

"Tahan....."

Terdengar jerit dari dalam dan muncullah Sie-hujin (Nyonya Sie) berlari dari dalam.

"Mohon para Taijin yang mulia sudi mengampuni suami hamba...., Biarlah hamba melayani Taijin...."

Tujuh orang perwira Mancu itu menoleh dan berserilah wajah mereka. Perwira muka kuning menyeringai dan menyarungkan kembali pedangnya, kemudian sekali tangan kirinya bergerak, ia telah menyambar pinggang Nyonya Sie dan dipeluk, terus dipangkunya sambil tertawa-tawa.

"Benar cantik...., Masih cantik, montok dan harum.... Hemmm....."

Perwira muka kuning itu tidak segan-segan lalu mencium pipi dan bibir nyonya itu yang saking kaget, takut dan malunya hanya terbelalak pucat.

Memang Nyonya Sie adalah seorang wanita cantik. Biarpun usianya sudah tiga puluh lima tahun, akan tetapi tubuhnya yang terawat baik itu masih padat, wajahnya yang memang jelita tampak lebih matang menggairahkan. Para perwira lainnya tertawa bergelak menyaksikan betapa perwira muka kuning itu mendekap dan mencium sesuka hatinya, seolah-olah di situ tidak ada orang lain lagi, sedangkan para pelayan yang melihat betapa nyonya majikan mereka yang terhormat diperlakukan seperti itu, menggigil dan menundukkan muka tidak berani memandang. Sie Bun An sendiri yang masih berlutut, memandang dengan muka pucat seperti kertas dan ia tidak dapat bergerak, seolah-olah telah berubah menjadi arca batu.

"Taijin.... ampun...."

Nyonya Sie megap-megap karena sukar ia bicara dengan bibir diciumi secara kasar seperti itu.

".... lepaskan.... ohhh, ampun, saya.... adalah wanita baik-baik...."

Sebagai jawaban, perwira muka kuning itu tertawa dan mencubit dagunya yang halus.

"Karena wanita baik-baik, aku suka padamu, manis. Hayo kau minum arak ini untuk menyambut aku, ha-ha-ha."

Perwira itu menyambar cawan araknya yang masih penuh, lalu memaksa nyonya itu minum. Nyonya Sie hendak menolak, akan tetapi dipaksa sehingga sebagian arak memasuki mulut, sebagian tumpah mengenai pakaiannya. Arak merah itu membuat pakaiannya yang putih seperti terkena darah. Han Han menggigil seluruh tubuhnya, jantungnya berdebar dan ia mengepal tinju dengan air mata bercucuran. Ia hendak melompat maju menolong ibunya, akan tetapi pada saat itu, ia tertarik oleh tingkah perwira brewok yang meloncat berdiri. Gerakannya amat gesit sehingga amat janggal bagi tubuhnya yang tinggi besar dan perutnya yang seperti gentong gandum.

"Ha-ha-ha, kalau ibunya matang dan denok seperti ini, tentu puterinya ranum dan segar. Cocok untukku, Biar kujemput dia."

Sambil berkata demikian, perwira brewok itu sambil tertawa-tawa melangkah masuk melalui pintu dalam.

"Ha-ha-ha, baik sekali. Jemput dia, jemput dia....."

Sorak perwira lain.

"Ohhh, uuuhhhhh....."

Nyonya Sie meronta, akan tetapi perwira muka kuning mempererat pelukannya dan membungkam mulutnya dengan ciuman kasar. Han Han menggigil di tempatnya. Kakinya seperti terpaku dan dengan penuh perasaan jijik ia melihat betapa ayahnya kini bertutut sambil menangis, Alangkah lemahnya ayahnya itu. Mengapa ayahnya diam saja? Mengapa tidak lari mengejar perwira brewok atau menyerang perwira muka kuning?

Posting Komentar