“Siapakah Dewi Tangan Maut?” tanya pula Tin Eng dengan hati amat tertarik. Nelayan tua itu memandang kepada Tin Eng dengan mata heran karena ada orang yang belum mendengar nama ini. “Dia adalah seorang pendekar wanita yang ditakuti orang karena gagah berani dan ganas!”
Tin Eng merasa suka kepada nona pendekar itu, maka ia lalu berjalan lebih dekat untuk melihat apa yang akan terjadi. Tak lama kemudian, dari dusun itu keluarlah seorang laki-laki berbaju putih bercelana hitam dan yang memakai topi seperti para anggauta Layar Hitam itu. Tindakan kakinya tetap dan kuat, menandakan bahwa ilmu silatnya tinggi. Mukanya hitam dan rambutnya sudah banyak yang putih, akan tetapi mukanya amat kejam dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya liar.
Ia diikuti oleh belasan orang anggauta Layar Hitam. Dengan langkah lebar ia lalu menghampiri perahu di mana Dewi Tangan Maut itu masih berdiri, dan ketika nona itu melihat kedatangan Hek-liong-ong, ia tertawa dan sambil tersenyum manis ia berkata,
“Hek-liong-ong! Aku telah datang untuk menghancurkan kau yang penuh kejahatan itu!”
Marahlah Hek-liong-ong mendengar hinaan ini. Dengan gerakan ringan sekali ia melompat ke atas perahu besar, sedangkan dua orang kawannya pun melompat ke atas perahu kecil yang berada di dekat perahu besar itu, siap untuk membantu Hek-liong-ong. Kedua orang ini adalah dua orang wakil kepala Layar Hitam yang berkepandaian tinggi pula, seorang setengah tua yang menjadi sute (adik seperguruan) Hek-liong-ong dan seorang pula masih muda dan berkopiah putih yang juga memiliki ilmu silat tinggi.
Sementara itu, belasan orang anak buah perkumpulan Layar Hitam berdiri di tepi sungai sambil bertolak pinggang. Agaknya hendak menghadang kalau Dewi Tangan Maut akan melarikan diri ke atas darat! Sikap mereka mengancam dan bengis sekali.
Setelah berada di atas perahu besar dan berdiri menghadapi Dewi Tangan Maut yang memandangnya dengan mengejek dan bertolak pinggang, Hek-liong-ong menunjuk dengan tangan kirinya dan berkata keras,
“Dewi Tangan Maut! Kau mau merajalela di darat mengapa berlancang tangan dan mengotorkan keadaan di sungai? Apa kau kira aku Hek-liong-ong takut kepadamu?”
“Hek-liong-ong,” jawab dara pendekar itu sambil tersenyum tenang. “Tak perlu dipersoalkan darat atau sungai, tak perlu dipersoalkan pula tentang kau takut kepadaku atau pun tidak!
Akan tetapi yang penting ialah bahwa kau telah berlaku terlampau kejam dan berbuat sewenang-wenang! Kau telah menyiksa seorang nelayan, menyeretnya di atas tanah dengan berkuda sehingga orang itu hampir mati tersiksa sedangkan kemarin kau telah menyiksa pula seorang nelayan yang kau ikat kaki tangannya dan kau tenggelamkan berkali-kali ke dalam air sehingga ia mati! Perbuatan ini lebih kejam dari pada perbuatan binatang liar, dan setelah aku Dewi Tangan Maut mendengar tentang hal ini, apa kau kira aku bisa mendiamkan saja kekejaman ini merajalela, biar di atas sungai sekalipun?”
“Dewi Tangan Maut! Kau tak perlu mencampuri urusanku! Hal yang terjadi itu adalah urusan dalam perkumpulanku sendiri dan tak seorangpun boleh mencampurinya! Aku menghukum nelayan-nelayan yang berdosa, apakah sangkut pautnya dengan kau?” Kembali nona pendekar itu tertawa menghina. “Kalau kau menghukum orang-orangmu sendiri yang kesemuanya terdiri dari bajak-bajak dan penjahat-penjahat, aku takkan perduli sama sekali! Akan tetapi justru yang kau siksa itu adalah nelayan-nelayan biasa, orang baik- baik yang tidak mau menurut perintahmu!”
Makin marahlah Hek-liong-ong. Ia mencabut keluar senjatanya, yakni sepasang dayung dan membentak, “Perempuan sombong! Habis kau mau apa?”
“Bagus, bagus sudah kuduga bahwa anjing tua yang mau mampus tentu akan menyalak- nyalak dulu!” jawab nona itu sambil mencabut pedangnya.
Hek-liong-ong menyerbu dengan sepasang dayungnya yang hebat itu, akan tetapi lawannya mengelak dengan mudah dan mengirim serangan balasan yang tak kalah hebatnya.
Pertempuran hebat itu ditambah pula dengan majunya dua orang wakil ketua Layar Hitam sehingga menjadi makin seru. Gadis yang diberi julukan Dewi Tangan Maut itu benar-benar gagah perkasa, karena biarpun dikeroyok oleh Hek-liong-ong yang mainkan sepasang dayung secara hebat dan oleh dua orang yang mainkan golok secara buas pula.
Namun ia dapat melayani mereka dengan baik bahkan melancarkan serangan-serangan pembalasan yang benar-benar merupakan tangan maut karena sekali saja serangan pedangnya mengenai sasaran, pasti lawannya yang terkena akan tewas di saat itu juga. Tin Eng merasa kagum dan juga bergidik, karena ternyata bahwa ilmu pedang gadis itu benar-benar ganas sekali.
Sementara itu, belasan orang yang menjadi anak buah Layar Hitam itu kini telah bertambah jumlahnya dan menjadi kurang lebih tiga puluh orang. Sikap mereka mengancam sekali dan ketika mereka melihat betapa ketiga orang ketua mereka tak dapat menangkan Dewi Tangan Maut, mereka mulai berteriak-teriak hendak maju mengeroyok.
Tiba-tiba terdengar seorang di antara mereka berseru, “Tenggelamkan perahunya! Biarkan ia tenggelam dalam air, tentu tidak berdaya!”
Tin Eng merasa terkejut mendengar maksud keji ini dan ia telah melihat betapa belasan orang mulai menyeburkan diri ke dalam air untuk menggulingkan perahu di mana ketiga pemimpin Layar Hitam itu sedang mengeroyok Dewi Tangan Maut.
“Cici, kau lompatlah segera ke darat! Mereka hendak menggulingkan perahu!” Tin Eng berteriak keras sambil melompat mendekati pantai dan ketika tiga orang anggauta Layar Hitam dengan marah menyerangnya, ia merobohkan mereka dengan sekali dorong.
Dewi Tangan Maut merasa marah sekali mendengar tentang maksud curang ini. Pedangnya bergerak cepat dan terdengar jerit kesakitan dan darah tersembur keluar dari dada seorang di antara ke tiga pengeroyoknya, yakni sute dari Hek-liong-ong. Korban ini roboh dengan dada tertembus pedang dan tewas pada saat itu juga. Hal ini membuat Hek-liong-ong dan seorang kawannya menjadi jerih.
Pada saat itu perahu sudah mulai bergoyang-goyang dan Dewi Tangan Maut segera melompat ke darat, diikuti oleh Hek-liong-ong dan anak buahnya yang mengejar. Maka terjadilah pertempuran di darat yang lebih hebat dari pada pertempuran di atas perahu tadi. Dewi Tangan Maut dikeroyok oleh puluhan orang. Akan tetapi sambil putar-putar pedangnya, nona pendekar itu masih sempat memandang kepada Tin Eng dan tersenyum manis sambil berkata, “Adik yang baik, terima kasih.”
Melihat betapa nona pendekar itu dikeroyok oleh demikian banyak orang yang semuanya memegang senjata, Tin Eng menjadi tak tega dan sambil mencabut pedangnya, ia menyerbu dan membentak,
“Kawanan tikus tak tahu malu! Jangan mengandalkan keroyokan menghina orang!”
Hebat sekali permainan pedang Tin Eng ini. Setiap kali pedangnya berkelebat, tentu senjata seorang lawan kena dibikin terlepas dan tangan yang memegang terluka. Terdengar jerit dan pekik karena sakit dan terkejut, bahkan Dewi Tangan Maut itu sendiri merasa kagum dan terkejut melihat kehebatan sepak terjang Tin Eng. Akan tetapi, Tin Eng tidak seganas dia sehingga lawan-lawan yang kena dirobohkan oleh Tin Eng tidak ada yang menderita luka berat, sungguhpun mereka itu tak dapat maju mengeroyok pula.
Sedangkan Dewi Tangan Maut ketika melihat kehebatan Tin Eng, tidak mau kalah. Ia berseru nyaring dan ketika pedangnya berkelebat cepat beberapa kali, robohlah tiga orang anak buah Layar Hitam dengan dada tertembus pedang atau leher terbacok sehingga mereka tewas pada saat itu juga.
Melihat ini Tin Eng mendapat pikiran untuk merobohkan kepala penjahat dulu, karena kalau dilanjutkan semua anak buah Layar Hitam ini bisa mati semua dalam tangan Dewi Tangan Maut yang ganas. Ia melompat dan cepat mengirim serangan kepada Hek-liong-ong yang menjadi terkejut karena menghadapi serangan Dewi Tangan Maut sendiri saja ia sudah merasa sibuk, apalagi kini ditambah oleh seorang lawan lain yang tidak kalah lihainya.
Di dalam kegugupannya, tangan kanannya tersabet oleh pedang Tin Eng sehingga sambil menjerit, ia melepaskan dayungnya dan segera teriakannya itu disambung dengan pekik hebat karena Dewi Tangan Maut telah menggerakkan pedangnya menabas batang lehernya. Pemuda yang menjadi pembantunya itu melihat kejadian ini menjadi terkejut dan kesima, sehingga sebelum ia tahu apa yang terjadi, kembali pedang Dewi Tangan Maut menyambar dan menusuk dadanya sehingga iapun rebah mandi darah dan tewas.
Tin Eng merasa ngeri sekali dan segera ia menahan pedangnya. Akan tetapi dengan wajah gembira, Dewi Tangan Maut mengamuk terus sehingga beberapa orang anak buah Layar Hitam kembali menjadi korban pedangnya.
“Cici, tahan dan ampuni mereka!” kata Tin Eng sambil melompat dan menahan amukan pendekar wanita yang ganas itu. Kemudian Tin Eng berseru kepada semua anggauta Layar Hitam, “Lemparkan senjata dan berlututlah untuk menyerah!”
Memang semua anggauta gerombolan itu telah menjadi ketakutan dan ngeri melihat kehebatan kedua pendekar wanita itu, maka mendengar bentakan ini mereka lalu melempar pedang masing-masing dan berlutut minta ampun.
Dewi Tangan Maut tertawa bergelak dan sambil menggerak-gerakkan pedangnya mengancam, ia berkata, “Untung bahwa hari ini ada bidadari penolong yang mintakan ampun untuk jiwa anjing kalian, kalau tidak, jangan harap ada seorang pun penjahat yang dapat lolos dari ujung pedangku! Mulai sekarang, jangan kalian berani-berani lagi mengganas. Uruslah semua mayat ini baik-baik dan harap kalian dapat bekerja sama dengan para nelayan lain. Kalau lain kali aku mendengar lagi akan kejahatan kalian, aku takkan mau memberi ampun lagi, biarpun kalian berlutut seribu kali!”
Para anggauta Layar Hitam itu lalu mengangkat semua mayat dan mengurusnya baik-baik, dibantu oleh nelayan-nelayan biasa dan anggauta-anggauta Layar Putih yang diam-diam merasa girang sekali karena kejahatan yang selalu menekan dan mengganggu mereka itu akhirnya dapat terbasmi sekali gus. Dewi Tangan Maut menghampiri Tin Eng dan sambil tersenyum bertanya,
“Adik yang gagah perkasa, siapakah kau? Ilmu pedangmu sungguh-sungguh mengagumkan hatiku!”