Adapun tentang Gwat Kong, memang pemuda pelayan itu seorang yang jujur dan baik. Akan tetapi mencintai padanya? Gila benar! Seorang pelayan mencintai puteri Kepala daerah yang kaya raya dan berpengaruh, lagi pula Gwat Kong hanyalah seorang pelayan yang bodoh, tak mengerti ilmu silat dan buta huruf pula. Mengingat akan hal ini merahlah muka Tin Eng karena marah dan malu!
Ia menjadi serba salah. Ia tidak mau dipaksa kawin dengan Gan Bu Gi atau dengan siapapun juga. Ia belum bersedia mengikat diri dengan perkawinan. Akan tetapi, untuk membantah ayahnya pun sukar, karena ia maklum akan kekerasan hati orang tua. Kedua hal inilah yang membuatnya mengambil keputusan untuk merantau dan meluaskan pengalaman, untuk mengumpulkan pakaiannya yang terbaik dan semua perhiasannya untuk bekal di dalam perjalanan. Kemudian setelah membungkus semua itu menjadi sebuah buntalan besar yang ditalikan pada punggungnya. Ia lalu menggunakan kepandaiannya untuk keluar dari jendela kamarnya, melompat naik ke atas genteng, lalu berlari pergi dengan cepat! Beberapa kali ia menengok ke arah gedung di mana ayah dan ibunya tinggal, akan tetapi ia dapat mengeraskan hatinya dan terus lari pergi keluar kota dan menuju ke selatan. Ia tidak lupa untuk membawa kitab pelajaran ilmu pedang Garuda Sakti yang dimasukkan pula kedalam buntalannya.
Pedang ia gantung pada pinggang dan sekantong piauw (senjata rahasia yang disambitkan) tergantung pula di dekat pedang.
Biarpun sudah tak bundar lagi, namun bulan masih muncul malam itu sehingga Tin Eng dapat melanjutkan perjalanannya. Ketika berlari di dalam cahaya bulan seorang diri, di atas jalan yang sunyi itu, ia merasa gembira seperti seekor burung yang terlepas terbang bebas di udara. Akan tetapi menjelang tengah malam, ketika ia tiba di pinggir sebuah hutan yang sunyi dan hawa malam yang dingin menyerang tubuhnya, ia mulai merasa tak enak dan takut.
Sebagai puteri seorang bangsawan, belum pernah ia melakukan perjalanan malam seorang diri dan perasaan takut dan menyesal mulai menyerang hatinya. Ia tidak takut segala maling atau perampok, akan tetapi melihat bayang-bayangan pohon dan tetumbuhan yang menghitam dan nampak menyeramkan bagaikan setan-setan di bawah sinar bulan itu, ia benar-benar menjadi takut dan meremanglah bulu tengkuknya. Hawa dingin mengingatkan ia kepada kamarnya yang hangat dan enak. Biasanya pada saat seperti itu ia sudah meringkuk di bawah lindungan selimutnya yang tebal dan halus.
TERINGAT akan hal ini, ia segera berhenti di bawah sebatang pohon besar dan membuka buntalannya untuk mengeluarkan baju tebalnya yang segera dipakai untuk menahan dingin. Ia menunda perjalanannya dan duduk di bawah pohon menanti datangnya fajar. Akhirnya karena berduka dan lelah, ia tertidur juga di bawah pohon itu sampai pagi.
Beberapa hari kemudian, ia menjadi biasa dengan segala penderitaan ini dan dapat melanjutkan perjalanan dengan hati ringan. Ia tidak mau lagi bermalam di udara terbuka dan selalu menunda perjalanannya dalam sebuah kota atau kampung di waktu malam dan bermalam dalam sebuah kamar di rumah penginapan.
Ia mendengar tentang keindahan kota Ki-ciu yang telah dikagumi semenjak lama dari buku- buku atau penuturan orang-orang ketika ia masih tinggal di gedung ayahnya, maka ia ingin mengunjungi tempat itu. Ia mendengar keterangan pelayan hotel bahwa untuk menuju ke Ki- ciu lebih baik mengambil jalan air, yakni berlayar sepanjang sungai Liang-ho yang selain cepat, juga mempunyai pemandangan yang indah. “Memang masih ada bajak air yang suka mengganggu,” kata pelayan tua itu sambil memandang ke arah pedang yang tergantung di pinggang Tin Eng. “Akan tetapi, kurasa nona adalah seorang gagah yang tidak takut akan segala bajak pula. Kalau dibandingkan lebih banyak perampok yang mengganggu jalan darat dari pada bajak yang mengganggu jalan air.”
“Terima kasih, lopeh,” jawab Tin Eng. “Keteranganmu ini penting sekali dan aku akan menurut nasehatmu. Akan tetapi, di manakah adanya sungai Liang-ho itu dan apakah aku bisa mendapat perahu untuk dipakai menyeberang?”
“Dari kota ini, nona pergilah ke barat kurang lebih dua puluh mil jauhnya, nona akan tiba di sebuah dusun kecil di pinggir sungai Liang-ho dan di situ nona akan mendapatkan banyak sekali perahu para nelayan yang dapat disewa. Akan tetapi, lebih baik nona memilih perahu yang berlayar putih dan jangan menyewa perahu berlayar hitam.”
“Mengapakah, lopeh?”
“Aku mendengar bahwa kini ada perkumpulan Layar Hitam yang melakukan banyak pemerasan dan perbuatan jahat.”
Setelah mengucapkan banyak terima kasih dan memberi persen kepada pelayan rumah penginapan itu, Tin Eng lalu melanjutkan perjalanannya menuju ke barat sebagaimana yang ditunjukkan oleh kakek pelayan itu. Benar saja, setelah berlari cepat sejauh kurang lebih dua puluh li, ia tiba di sebuah dusun yang cukup ramai di dekat sungai yang lebar. Rumah-rumah para nelayan memenuhi dusun-dusun itu dan hampir di setiap rumah tentu terlihat jala yang dijemur atau sedang dijahit dan dibetulkan oleh pemiliknya.
Di pinggir sungai terdapat banyak sekali perahu besar kecil. Benar saja sebagaimana perkiraan pelayan hotel tadi, nampak dua macam layar pada perahu-perahu itu, baik layar yang masih digulung maupun yang sudah dibuka itu. Ada yang berwarna hitam seluruhnya dan ada pula yang berwarna putih. Layar-layar itu sudah penuh tambalan, lebih-lebih yang putih. Beberapa orang nelayan bekerja di perahu masing-masing, ada yang menambal layar, ada yang membetulkan papan perahu, ada pula yang menambal dasar perahu yang bocor.
Tin Eng menghampiri dua orang yang sedang menambal layar putih di pinggir sungai. Kedua orang itu melihat seorang nona muda menghampiri, segera menunda pekerjaan mereka dan bertanya,
“Apakah nona hendak menyewa perahu?”
“Ya, aku ingin pergi ke Ki-ciu, apakah kalian dapat mengantarkan aku ke sana dengan perahumu dan berapakah sewanya?”
Kedua orang itu saling pandang dan yang memakai topi nelayan lebar lalu berkata, “Biasanya kalau hanya menyeberang saja sih tidak mahal, nona, akan tetapi ke Ki-ciu ...” ia berhenti sebentar mengingat-ingat. “Dulu pernah ada orang pergi ke sana dan membayar lima tail perak.”
Tiba-tiba datang seorang tinggi besar ke tempat mereka dan orang ini sambil cengar cengir lalu bertanya kepada Tin Eng, “Apakah nona hendak menyewa perahu? Kemanakah?” Tin Eng memandang tak senang kepada orang itu dan berkata, “Aku tidak ada urusan dengan kamu!”
Kemudian tanpa memperdulikan orang itu, Tin Eng berkata kepada kedua nelayan yang diajaknya bicara tadi. “Begini saja lopeh, aku minta kau mengantar aku ke Ki-ciu dan untuk itu akan kubayar sewanya secukupnya, akupun berani membayar sedemikian.”
“Lima tail perak?” kata orang tinggi besar itu menyela. “Murah amat! Sedikitnya harus lima belas tail perak!” Sambil berkata demikian orang itu menolak pinggang dan memandang kepada kedua orang nelayan itu dengan mata mengancam.
Tin Eng tanpa memperdulikan orang itu lalu berkata kepada dua orang nelayan tadi, “Bagaimana? Berapakah kalian minta?”
Dengan suara berat dan menundukkan kepalanya, nelayan yang lebih tua itu menjawab, “Sedikitnya lima belas tail perak, nona.”
Tin Eng tercengang dan ia mulai mengerling ke arah orang tinggi besar itu dengan penuh perhatian. Ternyata orang itu berwajah kejam dan usianya kurang lebih tiga puluh tahun, matanya lebar dan bertopi nelayan pula, Melihat gerak geriknya, ia tentu seorang yang bertenaga kuat dan mengerti ilmu silat pula. Tin Eng menduga-duga siapakah adanya orang ini, akan tetapi ia tidak mau mencari pertengkaran maka ia lalu menjawab nelayan tua itu, “Baiklah, lopeh aku mau membayar lima belas tail perak.”
Kedua nelayan itu memandang kepada Tin Eng dengan mata mengandung rasa kasihan, akan tetapi tiba-tiba nelayan tinggi besar yang berdiri di belakang Tin Eng itu berkata lagi,
“Harus dibayar di muka sepuluh tail dulu, baru bisa berangkat!”
Kini Tin Eng tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia cepat memutar tubuh menghadapi orang tinggi besar itu sambil membentak,
“Bangsat kasar, tutup mulutmu yang busuk!”
Nelayan tinggi besar itu memandang dengan senyum menyeringai, seakan-akan memandang rendah kepada Tin Eng, lalu berkata, “Aduh, jangan galak-galak, nona. Paling baik kau lekas keluarkan uang muka sepuluh tail perak, kalau tidak jangan harap kau bisa menyewa perahu di sini!”
“Orang liar! Aku tidak berurusan dengan kau dan tidak sudi menyewa perahumu! Mengapa kau harus mencampuri urusanku. Pergilah!” Sambil berkata demikian, Tin Eng gunakan tangan kirinya untuk mendorong orang itu, akan tetapi sambil tertawa cengar cengir orang itu berkata,
“Ah, agaknya kau mau mengenal kelihaianku!” Lalu cepat ia mengulur tangan hendak menangkap lengan Tin Eng yang mendorongnya itu. Akan tetapi, Tin Eng tentu saja tidak mau ditangkap lengannya begitu saja. Ia lalu menarik kembali tangannya dan mengirim tendangan ke arah lambung nelayan kasar itu. Tendangannya tepat mengenai lambung nelayan itu, akan tetapi biarpun nelayan itu terguling-guling sampai beberapa kali, ia tidak menjadi kapok, bahkan dengan amat marahnya ia lalu melompat bangun dan mencabut goloknya.
“Bangsat perempuan, kau mau mampus?” bentaknya sambil menyerang, akan tetapi dengan cepat sekali Tin Eng telah mencabut pedangnya dan sekali saja pedangnya berkelebat dalam gerakan yang aneh, nelayan kasar itu menjerit ngeri, goloknya terlempar dan lengan tangannya berlumuran darah.
“Bajingan kasar, kalau aku mau, lehermu telah putus!” kata Tin Eng dan nelayan itu tanpa berani berkata apa-apa lagi lalu berlari pergi.
“Siapakah dia?” tanya Tin Eng.
Nelayan tua itu menarik napas panjang. “Kau mencari penyakit, nona. Dia adalah seorang anggauta Layar Hitam yang telah lama merajalela di sini, dan kami perkumpulan Layar Putih selalu diperasnya. Kami harus menyerahkan setengah bagian dari pada hasil yang kami peroleh kepada mereka, karena itulah maka mereka yang menetapkan tarif sewa perahu.”
“Bangsat benar! Jangan kuatir, aku akan membasmi mereka!” kata Tin Eng dengan marah sekali.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar bentakan keras yang nyaring dari atas sebuah perahu besar, dan ketika Tin Eng dan kedua orang nelayan itu menengok, ternyata di atas perahu besar yang berlayar putih dan masih tergulung, berdiri seorang perempuan muda dengan sikap gagah. Perempuan itu usianya sebaya dengan Tin Eng, tubuhnya tegap langsing dan rambutnya dikuncir panjang, akan tetapi yang pada saat itu diselipkan di dalam punggungnya. Kepalanya memakai sebuah kopiah bulu yang halus, pakaiannya dari sutera mahal. Ia berdiri dengan gagah dan berteriak nyaring,
“Hek-liong-ong (Raja Naga Hitam) ! Keluarlah untuk terima binasa!”
Teriakan ini ia keluarkan berulang-ulang. Beberapa nelayan yang bertopi seperti nelayan tinggi besar yang dikalahkan oleh Tin Eng tadi melompat naik sambil memaki. Akan tetapi beberapa kali saja dua kaki gadis gagah itu bergerak, empat orang nelayan yang mencoba untuk menyerbunya itu kena ditendang dan tercebur ke dalam air.
“Ha ha!” Gadis itu tertawa keras. “Kalian ini anjing-anjing rendah, mengapa tak tahu diri dan berani mendekati Dewi Tangan Maut? Suruh Hek-liong-ong si anjing tua itu keluar. Aku tidak sudi berurusan dengan anjing-anjing kentut sekalian!”
Tin Eng memandang kagum dan ia bertanya kepada nelayan tua yang berdiri dengan wajah pucat. “Lopeh, siapakah Hek-liong-ong yang ia tantang itu?”
“Hek-liong-ong adalah ketua dari perkumpulan Layar Hitam! Kalau nona itu betul-betul Dewi Tangan Maut, akan hebatlah pertempuran nanti!”