Halo!

Pendekar Pemabuk Chapter 16

Memuat...

“Maksud kongcu aku kau minta makan minum bersama di meja ini?” Ia menegaskan

dengan ragu-ragu.

“Ya, lopeh. Aku merasa tidak bisa makan seorang diri, kurang sedap rasanya kalau tidak ada teman yang diajak mengobrol sambil makan minum. Marilah!”

Pelayan tua itu menengok ke kanan kiri dan di situ hanya terdapat seorang tamu lain yang bertubuh tinggi besar dan penuh cambang bauk pada mukanya. Akan tetapi tamu ini makan di meja lain dan agaknya sama sekali tidak memperdulikan mereka.

“Kongcu, kau seorang yang ramah sekali. Akan tetapi aku tidak boleh mengganggumu dan kalau kau ingin mengajak bercakap-cakap sambil makan, kau makanlah seorang diri, biar aku berdiri saja di sini menemanimu bercakap-cakap.”

“Ah, kau terlalu sungkan, lopeh,” cela Gwat Kong.

“Bukan sungkan-sungkan, kongcu, akan tetapi kalau majikanku melihat aku duduk makan minum dengan seorang tamu, tentu ia akan marah-marah dan mungkin aku kehilangan pekerjaanku.”

Gwat Kong mengangguk-angguk dan mengambil beberapa potong uang tembaga dari saku bajunya lalu memberikan uang itu pada si pelayan sambil berkata, “Kalau begitu, terimalah uang ini untuk kau pakai membeli makanan nanti.”

Pelayan tua itu girang sekali dan menerima uang itu sambil mengucapkan terima kasih.

“Lopeh, kau tentu kenal dengan seorang hartawan besar yang beberapa belas tahun yang lalu tinggal di kota ini. Ia bernama keturunan Tan dan disebut Tan-wangwe. Tahukah kau di mana sekarang dia tinggal?”

Pelayan tua itu mengerutkan kening mengingat-ingat. “Ya, ya. Aku kenal, siapa yang takkan mengenalnya belasan tahun yang lalu. Dulu dia adalah seorang yang terkenal paling berpengaruh dan paling kaya di kota ini! Kongcu, apakah kau masih terhitung keluarga Tan- wangwe itu?” tanyanya tiba-tiba sambil memandang tajam.

Gwat Kong merasa girang sekali dan oleh karena ia tidak ingin memberitahukan tentang maksudnya mencari hartawan itu, maka tanpa memperdulikan sesuatu ia lalu mengangguk dan menjawab, “Ya, aku adalah seorang keponakannya dan tahukah kau di mana ia sekarang tinggal?”

Tiba-tiba pelayan itu nampak berubah air mukanya mendengar bahwa Gwat Kong adalah keponakannya Tan-wangwe. Bahkan ia lalu mengambil keluar uang tembaga pemberian Gwat Kong tadi dan menaruh uang itu di atas meja kembali sambil berkata, “Kongcu, aku tidak berhak menerima uangmu ini, oleh karena aku tidak dapat melayanimu lebih lagi. Aku harus pergi ke dapur, di sana banyak pekerjaan.” Kemudian ia lalu berlari menuju ke dapur rumah makan itu.

Bukan main terkejutnya hati Gwat Kong mendengar ini dan ia menunda makanannya sambil memandang dengan bengong.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa keras dan ketika ia memandang, ternyata yang tertawa itu adalah orang tinggi besar bercambang bauk itu yang kini memandang kepadanya.

“Mengapa kau tertawa?” tanya Gwat Kong penasaran sambil pandang muka orang yang usianya telah enam puluh tahun lebih itu.

“Mengapa aku tertawa? Karena melihat kau hendak mencari keterangan sambil menyuap dengan uang, persis seperti perbuatan Tan-wangwe di waktu dahulu. Kau memang pantas sekali menjadi keponakannya! Ha ha ha!”

Mendengar ini, timbul lagi harapan dalam hati Gwat Kong. Orang ini tentu kenal baik kepada hartawan itu, bahkan mungkin masih ada hubungan, kalau tidak, mana ia tahu tentang kebiasaan menyuap uang dari hartawan itu? Maka ia segera bangun berdiri dan menjura,

“Sahabat baik, aku benar-benar perlu mengetahui keadaan Tan-wangwe, maka kalau kiranya kau tahu tentang dia mohon kau suka menerangkan kepadaku. Marilah kita minum arak untuk menambah kegembiraan dan aku yang muda mengundangmu dengan hormat untuk makan bersama di mejaku.”

Kembali laki-laki tinggi besar itu tertawa bergelak. “Kau hendak mencari Tan-wangwe? Boleh, boleh dan mudah sekali. Marilah kau ikut, akan kuantarkan ke tempat Tan-wangwe!” Bukan main girangnya hati Gwat Kong mendengar ini. Tak pernah disangkanya bahwa ia akan demikian mudah mendapatkan tempat tinggal Tan-wangwe, bahkan orang kasar ini sanggup mengantarkannya untuk berjumpa dengan musuh besarnya itu.

Segera ia membayar makanan orang itu sekalian, lalu ia mengajak orang itu keluar. Setelah orang itu berjalan barulah Gwat Kong melihat betapa orang itu berjalan sambil menyeret kaki kirinya yang telah cacat. Akan tetapi, biarpun berjalan dengan sebelah kaki diseret, ternyata orang itu dapat berjalan cepat dan gerakannya gesit, tanda bahwa dia mengerti ilmu silat.

Orang itu berjalan saja tanpa banyak berkata sehingga Gwat Kong merasa tidak enak hati.

“Sahabat, siapakah namamu? Kau telah berlaku baik untuk mengantarku menemui Tan- wangwe, seharusnya kuketahui namamu.”

“Namaku A Sam, Gui A Sam,” jawab laki-laki itu singkat.

Mereka berjalan terus dan dengan heran Gwat Kong melihat betapa mereka menuju keluar kota.

“Masih jauhkah tempat tinggal Tan-wangwe?” tanyanya. “Dekat di depan itu!” kata A Sam sambil menunjuk ke depan.

Gwat Kong merasa heran. Yang ditunjuk oleh laki-laki pincang itu sebuah hutan yang besar. “Apa? Di hutan itu?”

“Ya, dan jangan kau banyak bertanya. Bukankah kau ingin bertemu dengan dia?”

Gwat Kong terpaksa menutup mulutnya dan terus mengikuti orang itu menuju ke dalam hutan. Setelah masuk ke dalam hutan itu, yang sunyi dan liar, Gwat Kong tak dapat menahan lagi perasaan heran dan curiganya. Ia berhenti dan bertanya,

“Sahabat, jangan kau main-main! Benar-benarkah seorang kaya raya seperti Tan-wangwe itu tinggal di tempat seperti ini?”

Tiba-tiba A Sam berhenti pula dan tertawa terbahak-bahak dengan wajah yang menyeramkan sekali.

“Anak muda, benar-benarkah kau keponakan Tan Kia Swi atau Tan-wangwe?” Dengan terheran-heran Gwat Kong mengangguk.

“Dan kau ingin bertemu dengan hartawan Tan itu?” “Benar, di mana tinggalnya?”

“Mari ku antar kau bertemu dengan si keparat itu!” Sambil berkata demikian tiba-tiba Gui A Sam melangkah maju dan secepat kilat mengirim pukulan ke arah dada Gwat Kong. Inilah pukulan Hek-houw-to-sim atau Macan Hitam Menyambar Hati yang dilakukan dengan tenaga keras dan kalau saja pukulan ini mengenai dada seorang biasa, maka kalau dada itu tidak hancur pasti sedikitnya beberapa tulang iga akan patah-patah. Akan tetapi Gwat Kong mempunyai urat syaraf halus dan perasa sekali sehingga tubuhnya dapat bergerak otomatis sehingga begitu angin pukulan menyambar, ia telah miringkan tubuhnya sehingga pukulan tangan A Sam itu mengenai angin.

“Eh, eh, tahan dulu kawan!” serunya kaget, akan tetapi Gui A Sam berseru marah dan mengirim serangan lagi yang lebih hebat. Kini si tinggi besar itu memukul dengan kepalan tangannya yang sebesar paha itu ke arah kepala Gwat Kong. Pemuda itu mulai penasaran dan juga ingin tahu sekali mengapa orang kasar ini menyerangnya dan memusuhinya tanpa sebab!

Ia mengulur tangan dan menangkap pergelangan tangan yang memukul itu. A Sam hendak kembali menarik tangannya, akan tetapi tangan itu tidak dapat terlepas dari pegangan Gwat Kong. Dengan heran dan makin marah, A Sam lalu menggunakan tangan kirinya untuk memukul ke lambung Gwat Kong. Pemuda itu cepat mendahuluinya dan menotok pundak kiri sehingga tangan kirinya yang hendak memukul itu tiba-tiba menjadi lumpuh!

Akan tetapi ketika Gwat Kong melepaskan tangan kanan yang tadi dipegangnya, A Sam dengan nekad lalu menggunakan tangan yang masih dapat bergerak ini untuk menyerang lagi! Terpaksa Gwat Kong mempergunakan kecepatannya dan menotok pundak kanan lawannya sehingga kini Gui A Sam berdiri dengan dua lengan tergantung tak berdaya sama sekali.

Akan tetapi ternyata keberanian orang ini hebat sekali. Dengan kedua mata melotot ia memandang pemuda itu dan berkata, “Telah dua kali aku dikalahkan oleh orang-orang pembela anjing setan itu, maka kalau kau mau bunuh boleh bunuh! Aku takkan malu menghadapi Bun-tihu, karena aku telah menunaikan tugasku dengan baik dan sebagai seorang gagah!”

Hampir saja Gwat Kong menjerit ketika ia mendengar ini. Wajahnya menjadi pucat dan ia memandang orang itu dengan mata terbelalak.

“Apa katamu? Kau kenal kepada Bun-tihu? Siapakah kau sebenarnya?”

Sambil mengangkat dadanya, A Sam menjawab, “Aku tidak takut mengaku terus terang, karena aku tidak takut mati! Ketahuilah, hai anak muda keponakan anjing rendah Tan- wangwe, aku adalah perwira kepala penjaga dari Bun-tihu yang adil dan jujur. Pamanmu yang jahat itu telah berhasil menghancurkan keluarga Bun bahkan akupun telah menderita cacat, akan tetapi, nama keluargamu akan busuk selama-lamanya dan akan dikutuk oleh setiap orang!”

Bukan main girang hatinya ketika mendengar ini. Gwat Kong lalu menghampiri dan berkata, “Sahabat baik, kau lupa tadi dan belum bertanya namaku.”

“Aku tak perlu mengetahui nama segala anjing keluarga Tan-wangwe!”

“Juga tidak perduli kalau aku memberi tahu padamu bahwa namaku sama sekali bukan Tan, akan tetapi aku sebenarnya bernama Bun Gwat Kong?” Sambil berkata demikian secepat kilat kedua tangan Gwat Kong bergerak ke arah pundak A Sam dan totoknya telah dibebaskan dari tubuh orang kasar itu. Sementara itu, Gui A Sam memandang kepada Gwat Kong dengan wajah pucat dan bengong, seakan-akan ia melihat setan pada siang hari.

“Bun Gwat Kong ...?? Akan tetapi ... bukankah kau tadi mencari Tan-wangwe dan hendak bertemu dengannya ?”

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment