Halo!

Pendekar Gila Dari Shan-tung Chapter 19

Memuat...

“Kau mau apa?” tanya anak kecil itu pada anak Ma Cin sambil berdiri.

“Mau pukul kepalamu!” kata anak Ma Cin yang biasa mengucapkan kata-kata ini di kampungnya. Anak kecil itu tertawa. “Kau yang tadi menangis ketakutan ini berani pukul orang? Ha ha, hi hi!” Anak Ma Cin marah sekali. Akan tetapi ayahnya lebih marah lagi. “A Kin, pukul dia!” katanya.

Anaknya lalu mengangkat tangan memukul kepala anak kecil itu. Akan tetapi dengan sigapnya anak itu miringkan tubuhnya, mengulurkan tangan menangkap pergelangan tangan yang memukulnya dan sekali ia menarik ke depan, anak Ma Cin terjerumus ke depan dan hidungnya menumbuk lantai hingga berdarah.

Ia berdiri marah dan memukul lagi, belum tahu kalau hidungnya berdarah. Akan tetapi sekali ini ia didahului dengan tendangan pada dadanya yang membuat ia jatuh terjengkang dan belakang kepalanya terbentur lantai yang keras, sehingga menjadi bengkak sebesar telur ayam dan terasa sakit sekali.

Anak itu merayap bangun dan meringis kesakitan dan ketika darah dari hidungnya menetes turun mengenai bajunya, ia merasa kaget sekali lalu menangis keras!

Anak kedua yang menonton tertawa gelak-gelak dan bersorak-sorak girang karena kemenangan kawannya. Dan pada saat itu Bwee Ji yang mendengar sorakan ini muncul keluar. Ma Cin marah sekali dan maju hendak memukul anak kecil yang telah menjatuhkan anaknya. Akan tetapi Bwee Ji menghadapinya dan menjura,

“Anak kecil berkelahi dengan anak kecil sudah selazimnya dan tak perlu orang-orang tua ikut campur,” katanya.

Ma Cin mundur kemalu-maluan, sedangkan Bwee Ji lalu berkata kepada Liong Ki Lok, “Ayah, mengapa ayah diamkan saja anak-anak ini berkelahi?”

“Anak saudara Ma ini hendak berlagak jagoan dan biarlah ia memperlihatkan sendiri bahwa ia tidak berbakat untuk belajar silat.”

Sambil menahan marahnya karena tidak berdaya melampiaskan kegemasannya, Ma Cin berkata kepada Liong Ki Lok. “Liong-kauwsu. Kau telah menghina aku dan anakku. Baik, kau tunggulah saja dan kau akan tahu bahwa aku orang she Ma adalah orang yang tidak boleh dibuat permainan!”

Kemudian dengan bersungut-sungut ia lalu pegang tangan anaknya dan menariknya pergi dari situ, diikuti oleh gelak tawa kedua orang anak kecil murid Liong Ki Lok itu.

Liong Ki Lok dan puterinya sama sekali tak pernah menyangka bahwa peristiwa ini akan berbuntut panjang dan akan mendatangkan malapetaka bagi keluarganya. Ia telah mulai melupakan peristiwa dengan orang she Ma itu ketika pada suatu hari datang utusan dari pangeran Ong Tai Kun yang mengajukan lamaran kepada Bwee Ji untuk dijadikan bini muda pangeran itu!

Liong Ki Lok sudah tahu akan pengaruh pangeran Ong. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau mengorbankan puterinya menjadi bini muda pangeran itu. Karena maklum bahwa hal itu akan menjerumuskan puterinya ke dalam lembah kesengsaraan. Juga Bwee Ji tidak sudi menerima pinangan ini.

Dengan halus ia menolak pinangan itu dan minta kepada utusan pangeran Ong agar supaya pangeran itu suka memberi maaf, oleh karena puterinya telah dipertunangkan dengan pemuda lain. Hal ini sebenarnya hanyalah alasan penolakan belaka oleh karena sesungguhnya Bwee Ji belum mempunyai tunangan. Utusan itu pulang setelah menyatakan kekhawatirannya atas penolakan ini.

Dan pada keesokan harinya, datanglah Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong di rumah Liong Ki Lok.

“Orang she Liong,” kata perwira itu dengan lagak sombong. “Kau berani sekali menolak pinangan Ongya. Boleh jadi kau adalah seorang guru silat yang ditakuti orang, akan tetapi apakah kau hendak mengandalkan kepandaianmu untuk menentang kehendak Ongya?”

“Bukan demikian, Tai-ciangkun,” kata Liong Ki Lok menahan sabar. “Akan tetapi seperti telah kuberitahukan kepada utusan Ongya, anakku Bwee Ji telah dipertunangkan dengan pemuda lain, sehingga terpaksa kami tak dapat menerima kebaikan budi Ongya.”

Ban Kong tersenyum sindir. “Biasanya hal itu hanyalah digunakan sebagai alasan kosong belaka. Akan tetapi baiknya Ongya sedang sabar, sehingga ia mau percaya kepada omonganmu ini.

Akan tetapi, dalam dua pekan, kau harus sudah mengundang Ongya untuk menghadiri pernikahan puterimu. Kalau tidak, maka hal itu membuktikan bahwa alasanmu hanya alasan palsu belaka dan Ongya tidak senang sekali kalau ada orang mempermainkannya!”

“Akan tetapi, ciangkun ”

“Tidak ada tapi lagi, kau harus dapat mengundang Ongya dan aku datang minum arak pengantin. Kalau tidak ”

Pada saat itu, Bwe Ji yang telah sejak tadi mendengarkan dari balik tirai, tak dapat menahan sabarnya lagi dan melompat keluar dengan pedang di tangan.

“Biarpun kau seorang perwira, siapakah yang takut kepadamu? Kau ikut-ikut mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Apakah kau sudah bosan hidup?”

Akan tetapi, ketika melihat munculnya gadis jelita itu, Ban Kong memandang dengan tercengang, lalu tersenyum senang dan berkata, “Ha ha ha! Benar saja cantik jelita! Ma Cin memang mempunyai mata yang tajam. Kau memang pantas sekali duduk di samping Ongya sebagai seorang tercinta, nona ”

“Bangsat bermulut kotor!” Bwee Ji membentak marah dan melompat maju, menyerang dengan pedangnya. Ayahnya hendak mencegah tidak keburu lagi. Akan tetapi Ban Kong ternyata luar biasa lihainya. Diserang secara hebat itu, ia menahan tertawa geli dan sekali kedua tangannya bergerak, ia telah merampas pedang Bwee Ji!

Ia lalu menggerakkan tangannya dan pedang yang terampas itu meluncur cepat sekali bagaikan sebatang anak panah dan menancap di tiang penglari sampai setengahnya lebih. Gagang pedang bergoyang- goyang dan kembali terdengar suara ketawa ha ha hi hi dari Ban Kong.

“Liong Ki Lok, pedang itu akan menancap pada dadamu kalau dalam dua pekan kau tidak melakukan satu di antara dua hal ini, yaitu mengirim undangan minum arak untuk menyaksikan pernikahan puterimu. Atau kalau tidak, mengirimkan puterimu kepada Ongya agar dapat hidup mewah dan berbahagia di samping Ongya!” Setelah berkata demikian, dengan langkah sombong perwira kosen itu meninggalkan Liong Ki Lok dan puterinya yang berdiri pucat.

Melihat gerakan Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong ketika merampas pedang anaknya, Liong Ki Lok maklum bahwa ia bukan yandingan perwira kosen itu. Dan iapun maklum bahwa selain Ban Kong, masih banyak orang-orang tangguh yang bekerja di bawah perintah pangeran Ong Tai Kun, sedangkan pangeran Ong sendiri memiliki kepandaian yang tinggi. Maka ia menjadi sedih sekali dan berdiri bengong dengan wajah pucat tanpa dapat berkata sesuatu.

Bwee Ji melihat keadaan ayahnya, tanpa berkata sesuatu dapat maklum akan bencana yang mengancam mereka, maka dengan perlahan ia mulai menangis. “Ayah ...... bagaimana baiknya .... ayah ?”

Liong Ki Lok menarik napas panjang dan mengajak puterinya masuk kedalam rumah untuk merundingkan perkara itu dengan isterinya. Setelah berunding panjang lebar dan secara mendalam akhirnya Liong Ki Lok mengambil keputusan dan berkata kepada isteri dan puterinya,

“Hanya ada dua jalan untuk menyelamatkan diri,” katanya dengan suara berat. Pertama aku harus mencarikan jodoh yang cocok untuk Bwee Ji, seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi hingga dapat membantu kita menghadapi gangguan pangeran Ong. Atau mengajak Bwee Ji merantau dan mencarikan menantu dengan jalan mempertunjukkan kepandaian silat. Mudah-mudahan sebelum dua pekan, Thian akan menunjukkan seorang calon jodoh yang sesuai dengan anakku.”

“Akan tetapi, bagaimana kalau dalam waktu itu tidak bertemu dengan seorang calon menantu yang sesuai?” tanya isterinya, sedangkan Bwee Ji hanya terdengar menangis terisak-isak.

“Kalau demikian halnya, terpaksa kita harus melarikan diri dan bersembunyi!”

“Akan tetapi, ayah,” kata Bwee Ji. “Kalau aku dan ayah lari, bagaimana dengan nasib ibu dan adik-adikku?”

“Oleh karena itu, maka sebelum kau dan aku berangkat, ibumu serta kedua adikmu harus disembunyikan lebih dulu!”

Selanjutnya, Liong Ki Lok lalu mengatur dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia mengantar isteri dan kedua orang anaknya yang masih kecil pergi dan bersembunyi di dusun Bi-lu-siang dan tinggal untuk sementara waktu di rumah seorang pamannya yang menjadi petani di dusun itu.

Kemudian ia mengajak Bwee Ji merantau ke selatan untuk mencarikan jodoh bagi puterinya itu, sehingga ia dan anak gadisnya tiba di Shan-tung dan membuka pertunjukan silat di dekat danau Taming dan bertemu dengan Tiong San yang berhasil mengusir Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong.

Liong Ki Lok sama sekali tidak pernah menyangka bahwa ia telah diikuti selalu oleh mata-mata pangeran Ong. Bahkan dari ancaman yang dikeluarkan oleh Ban Kong, ia maklum bahwa tempat sembunyi isteri dan dua orang anaknya telah diketahui pula oleh perwira itu!

********************

Liong Ki Lok merasa sedih dan putus harapan. Tadinya ia hendak berlaku nekat mendatangi gedung pangeran Ong untuk mengamuk. Akan tetapi sambil menangis tersedu-sedu Bwee Ji menahannya dan berkata,

“Ayah, jangan, ayah! Ingatlah bahwa di sana masih ada ibu dan dua orang adikku. Bagaimana nasib mereka kalau kau berlaku nekat?”

Akan tetapi aku tidak bisa mengorbankan dirimu!”

“Akupun lebih baik mati dari pada menjadi bini muda pangeran keparat itu. Akan tetapi lebih baik mengorbankan jiwa seorang untuk menolong empat orang, ayah. Aku bersedia mati di gedung pangeran Ong asalkan kau, ibu dan kedua adikku selamat.”

“Apa maksudmu?” Liong Ki Lok memandang dengan mata terbelalak kepada anaknya.

“Bawalah aku ke gedung pangeran keparat itu agar ayah dan adik-adikku tidak diganggu. Kemudian bawalah ibu dan adik-adik pergi ke tempat jauh sekali agar tidak dapat disusul oleh mereka. Adapun aku

..... ah, ada banyak jalan untuk menghabiskan nyawa di tempat itu dari pada menjadi permainan pangeran jahanam itu ” “Bwee Ji .....” Liong Ki Lok memeluk kepala anaknya dengan hati hancur. Akan tetapi ia berpikir bahwa selain jalan yang diusulkan oleh puterinya itu, agaknya tidak ada jalan keluar yang lebih baik lagi. Kalau ia berkeras menentang kehendak pangeran Ong, akhirnya ia akan kalah juga dan Bwee Ji dengan kekerasan akan dirampasnya juga, bahkan keselamatan dia sekeluarga akan terancam.

Kalau mereka semua mati, siapa yang akan membalaskan sakit hati Bwee Ji kelak? Biarlah ia mengorbankan anak perempuannya yang akhirnya akan membunuh diri di dalam gedung sebagai seorang gadis suci yang dapat mempertahankan nama baik, dan kelak ia akan pimpin dua orang anaknya untuk menjadi orang pandai dan membalas dendam cici mereka!

“Kalau saja Shan-tung Koay-hiap tidak gila dan mau membantu kita ” kata Liong-kauwsu sambil menarik

napas panjang.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment