Halo!

Pendekar Gila Dari Shan-tung Chapter 18

Memuat...

********************

Liong Ki Lok adalah seorang guru silat di kota raja yang ternama juga, oleh karena ilmu silatnya memang cukup tinggi. Ia menerima murid-murid dengan pembayaran sekedarnya dan nafkah hidupnya tergantung dari pembayaran para muridnya itu.

Biarpun ia tidak dapat hidup dengan mewah dan kaya dari penghasilan ini, akan tetapi ia sudah hidup berbahagia dengan isteri dan ketiga orang anaknya. Anaknya yang sulung perempuan, yaitu Liong Bwee Ji, dan anak kedua dan ketiga masih kecil-kecil, pada waktu itu baru berusia empat dan enam tahun. Bwee Ji sudah berusia enam belas tahun dan semenjak kecil Bwee Ji mendapat latihan silat dari ayahnya sehingga iapun memiliki ilmu silat yang cukup lumayan.

Di dalam kota raja tinggal banyak pembesar-pembesar yang masih terhitung keluarga kaisar dan mereka ini disebut pangeran-pangeran. Sebagian besar dari para pangeran ini berlagak lebih tinggi dari pada kaisar sendiri dan mereka mempergunakan pengaruh, kedudukan, dan kekayaan untuk melakukan segala macam perbuatan yang kalau dilakukan oleh penduduk biasa, maka pelakunya akan dicap penjahat. Akan tetapi siapakah yang berani menyebut penjahat kepada pangeran dan pembesar tinggi itu?

Di antara para pangeran yang berpengaruh ini terdapat seorang pangeran bernama Ong Tai Kun atau biasa disebut oleh para penjilatnya sebagai Ong-ya. Pangeran Ong ini belum tua benar, usianya masih kurang dari empat puluh dua tahun. Akan tetapi pengaruhnya amat besar, oleh karena selain berpengaruh di dalam istana kaisar sebagai keluarga dekat, iapun amat kaya raya dan memelihara banyak perwira- perwira yang kosen dan berkepandaian tinggi.

PARA perwiranya bukanlah ahli-ahli silat biasa. Akan tetapi telah menduduki tingkat ketiga dari semua perwira-perwira yang kosen dari kerajaan! Di antara para perwiranya ini ialah Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong dan masih banyak lagi perwira-perwira lain. Terutama sekali, ia amat terkenal dan ditakuti oleh karena selain dikawal oleh banyak perwira lihai, Ong Tai Kun sendiri juga seorang ahli silat yang tidak rendah ilmu kepandaiannya.

Ia pernah belajar silat sampai enam tahun lamanya di puncak bukit Kun-lun, sehingga ia boleh disebut sebagai anak murid Kun-lun-pai yang lihai dan ilmu pedangnya yang asli dari Kun-lun-pai merupakan kepandaiannya yang istimewa. Tentu saja para tokoh Kun-lun-pai yang tadinya tidak tahu bahwa pemuda bernama Ong Tai Kun itu adalah seorang pangeran, merasa menyesal sekali ketika mendengar akan sepak terjang pangeran itu yang jahat.

Akan tetapi apakah yang dapat mereka perbuat?

Kedudukan Ong Tai Kun amat tinggi dan mengganggu dia berarti akan berhadapan dengan para perwira kerajaan, bahkan mungkin sekali akan berhadapan dengan tentara negeri. Dan para tokoh Kun-lun-pai tidak begitu bodoh untuk membentur karang yang demikian kuatnya.

Selain ditakuti orang, juga diam-diam Ong Tai Kun amat dibenci oleh karena di samping kejahatan lain dan pemerasan untuk memperkaya diri sendiri, pangeran ini terkenal sebagai seorang hidung belang atau mata keranjang. Banyak sudah gadis-gadis manis di kota dan di dusun-dusun sekitar kota raja menjadi korban kecabulannya.

Ia telah memelihara banyak selir, dan berkali-kali mengganti selir lama dengan yang baru. Yang paling menjemukan, setelah ia merasa bosan kepada seorang selir, maka wanita yang malang nasibnya itu lalu dijual dengan paksa kepada seorang pengurus rumah pelacuran dan selanjutnya nasib wanita itu terjerumus ke dalam jurang kehinaan yang akan membawa mereka kepada kesengsaraan sampai hayat meninggalkan badan!

Tidak heran apabila semua orang yang mempunyai gadis cantik merasa amat takut kepada pangeran keparat ini, dan di mana saja pangeran itu berada, para orang tua lalu cepat-cepat menyembunyikan anak perempuannya agar jangan sampai mata pangeran itu melihatnya. Karena sekali saja mata pangeran itu memandang dan hatinya tertarik, dengan jalan apapun juga, pasti ia akan dapat merampas gadis itu, baik dengan jalan halus menggunakan uang atau dengan jalan kasar menggunakan pengaruh dan tenaga para pengawalnya.

Akan tetapi pangeran Ong tidak kurang akal, karena ia maklum bahwa sukar baginya untuk dapat melihat sendiri gadis-gadis cantik yang bersembunyi di dalam kamar rumahnya, maka ia mempunyai banyak mata- mata yang memang sengaja mencari kesempatan untuk mempergunakan kelemahan hati pangeran Ong terhadap paras cantik untuk mengeduk keuntungan sebesar-besarnya.

Mereka inilah yang selalu mempersiapkan persediaan calon-calon korban baru untuk pangeran itu. Dan diam-diam mereka mencari-cari dan menyelidiki di mana adanya seorang perawan yang cukup cantik dan yang kiranya dapat dijadikan calon korban pangeran itu!

Di antara para penyelidik ini terdapat seorang yang bernama Ma Cin yang menjadi sombong karena merasa menjadi orang kepercayaan pangeran Ong, sehingga di dalam kampungnya ia disegani oleh para tetangga karena mereka kenal bahwa orang ini adalah orang kepercayaan Ongya!

Pada suatu hari Ma Cin membawa seorang puteranya yang telah berusia sebelas tahun ke rumah perguruan Liong Ki Lok. Dengan lagak yang sombong, ia memberitahukan kepada penjaga pintu bahwa ia hendak bertemu dengan Liong-kauwsu. Liong Ki Lok menerima kedatangan tamu ini dengan ramah-tamah sebagaimana telah menjadi adatnya.

“Liong-kauwsu,” kata Ma Cin setelah tuan rumah mempersilakan ia duduk dan menanyakan maksud kedatangannya. “Kedatanganku ke sini ialah hendak minta kau mengajar silat kepada puteraku ini. Berapa saja bayarannya takkan kutolak.”

Liong Ki Lok tidak memperdulikan sikap yang sombong ini, akan tetapi dengan mata tajam memandang anak laki-laki itu. Anak itu bertubuh tinggi besar, bermulut lebar dan sepasang mata yang sipit memperlihatkan sinar yang tak menyenangkan hatinya. Dalam hal memilih murid, Liong Ki Lok memang amat teliti dan tak sembarangan anak dapat diterima menjadi muridnya tanpa diuji dulu. Maka ia lalu berkata,

“Saudara Ma, tentang pembayaran adalah urusan belakang. Akan tetapi yang paling perlu hendak kulihat dulu apakah anakmu ini mempunyai bakat untuk menjadi ahli silat.”

“Tentu saja ia berbakat!” seru Ma Cin. “Di kampung kami, tak ada anak lain yang berani kepadanya dan tiap kali ia berkelahi, ia tentu memukul lawannya sampai matang biru!” Ma Cin tidak menceritakan bahwa di kampungnya memang tidak ada yang berani mengganggu anaknya karena takut kepadanya. Liong Ki Lok tersenyum, lalu berkata, “Hendak kulihat buktinya. Marilah kita pergi ke Lian-bu-thia (tempat berlatih silat).”

Ketika mereka pergi ke Lian-bu-thia di sebelah belakang rumah, di situ terdapat Bwee Ji sedang berlatih silat dengan dua orang murid Liong Ki Lok yang masih kecil. Memang seringkali Bwee Ji yang kepandaiannya sudah tinggi itu membantu pekerjaan ayahnya dan melatih murid-murid ayahnya itu.

Ma Cin tercengang melihat kecantikan Bwee Ji. Tak pernah disangkanya bahwa guru silat ini mempunyai seorang puteri demikian cantiknya dan diam-diam ia memuji dalam hatinya. Sementara itu, melihat betapa mata tamu itu ditujukan kepadanya dengan kagum, Bwee Ji lalu menghentikan latihan murid ayahnya dan masuk ke dalam. Sedangkan dua orang murid itu agaknya tahu bahwa anak Ma Cin adalah murid baru, maka mereka memandangnya dengan tersenyum-senyum.

Liong Ki Lok lalu membawa anak Ma Cin ke dalam “ruang ujian ketabahan”. Setiap anak yang hendak menjadi muridnya, lebih dulu diuji di ruang ini.

Anak Ma Cin disuruh masuk ke dalam ruang kecil itu dan tiba-tiba Liong Ki Lok berseru, “Awas!” sambil menarik tali yang digantung Koay-hiapan pada sebuah paku besar. Ketika tali itu dilepasnya dari gantungan, tiba-tiba dari atas turun sebuah karung besar yang agaknya berisi benda berat, hendak jatuh menimpa kepala anak itu.

“Celaka ... anakku !” Ma Cin berseru keras dan anak itu menjadi pucat sekali lalu berlari keluar dengan

tubuh menggigil lalu menangis!

Kedua orang murid Liong Ki Lok tertawa cekikikan melihat hal ini dan ketika Ma Cin memandang ke arah karung berat itu, ternyata bahwa karung itu tidak terus jatuh. Melainkan tergantung dan tertahan oleh tali yang kuat hingga kini bergoyang-goyang.

Memang karung yang dijatuhkan dari atas seakan-akan hendak menimpa kepala anak itu hanya untuk menguji sampai di mana ketabahan hati anak yang hendak belajar silat. Menurut pandangan Liong Ki Lok, seorang yang mempelajari ilmu menjaga diri yang terutama harus memiliki ketenangan dan ketabahan hati.

Betapa pun tinggi ilmu silatnya, akan tetapi kalau hatinya tidak tabah dan tenang, maka dalam sebuah pertempuran yang sungguh-sungguh, ilmu silatnya takkan banyak berguna dan akan menjadi kacau-balau karena kegugupan dan ketakutannya.

Ia tidak mau menerima anak-anak penakut menjadi muridnya. Karena tidak mau kalau kelak namanya dirusak oleh murid yang penakut atau pengecut.

Melihat betapa anak ini ketakutan, lari dan menangis dengan tubuh gemetar, Liong Ki Lok menggeleng- gelengkan kepala dan berkata kepada Ma Cin yang masih memandang pucat dan kini mengelus-elus kepala puteranya untuk menghiburnya.

“Saudara Ma, kau lihat sendiri, anakmu tidak berbakat dan lebih baik jangan memberi pelajaran silat kepadanya. Ia lebih tepat diberi pelajaran bun (kesusasteraan) dari pada bu (kegagahan).”

Ma Cin menjadi penasaran sekali. “Akan tetapi dia tidak maju dalam pelajaran ilmu surat, dan karenanya maka aku bawa dia ke sini untuk belajar silat kepadamu!”

Liong Ki Lok tersenyum. “Kalau dalam ilmu kesusasteraan dia juga tidak berbakat, maka sulitlah untuk mencari kemajuan baginya.” Ucapan ini dikeluarkan dengan sejujurnya. Akan tetapi bagi Ma Cin dianggapnya sebagai penghinaan.

“Kau kira anakku benar-benar penakut? Kurasa ia takkan kalah oleh anak-anak seperti ” ia menengok

kepada dua orang anak laki-laki yang masih berdiri sambil tertawa-tawa di pinggir, “Seperti dua tikus

kecil itu!” Kemudian dengan muka merah karena marah Ma Cin berkata kepada anaknya, “Kau tentu berani melawan anak-anak itu? Pukul mereka!” Anaknya memandang dan melihat bahwa dua orang anak kecil itu lebih kecil darinya dan paling banyak usianya baru delapan atau sembilan tahun. Di kampungnya, anak-anak yang lebih besarpun tidak berani mengganggunya.

Ia tidak tahu bahwa orang-orang tua anak-anak di kampungnya memang melarang anak-anak mereka untuk bermusuhan atau berkelahi dengan anak Ma Cin. Maka kini dengan sombongnya ia lalu melangkah maju ke arah dua orang anak kecil yang masih tertawa-tawa itu.

Liong Ki Lok yang melihat hyal ini tidak mencegahnya, hanya tersenyum memandang sambil berdiri bertolak pinggang. Orang ini dan anaknya memang perlu diberi sedikit ajaran agar kesombongan mereka berkurang, pikirnya.

Anak Ma Cin menghampiri dua orang anak kecil itu dan melihat sikapnya, kedua orang anak kecil itu maklum bahwa anak ini hendak memukul mereka.

“Biar aku menghadapinya,” kata yang seorang, yang lebih kecil. Akan tetapi yang mempunyai sepasang mata tajam dan bersinar tabah. Kawannya lalu menjauhkan diri dan duduk menonton dengan muka berseri.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment