Mereka berdiri memandang sambil menahan napas dengan mulut ternganga dan mata terbuka lebar-lebar, tanpa berani mengejapkan mata seakan-akan takut kalau-kalau tidak dapat menonton pertandingan yang hebat itu!
Sementara itu, makin lama Liong Ki Lok dan Liong Bwee Ji makin merasa heran, sehingga gadis itu tak terasa lalu mendekati ayahnya dan memegang tangan ayahnya yang lalu diremas-remasnya dengan hati tegang. Ayahnya maklum akan perasaan hati gadisnya dan diam-diam ia berbisik dalam hatinya, “Pemuda inilah yang akan dapat membantu kita!”
Pertempuran berjalan makin seru dan kini Ban Kong sama sekali tak mau memandang rendah lawannya karena ternyata bahwa benar-benar lawan cilik ini hebat sekali. Bertubi-tubi ia mengirim serangan dengan ruyungnya yang mengerikan itu, akan tetapi selalu ia memukul angin.
Tiong San cepat sekali gerakannya dan selalu berusaha menjauhinya agar dapat mengirim serangan dengan ujung cambuknya yang panjang itu dari jarak jauh. Akan tetapi Ban Kong yang telah menerima cambukan pada punggungnya, maklum akan kelihaian senjata itu sehingga kini ia menjaga diri baik-baik agar jangan sampai dapat ditipu seperti pada jurus pertama tadi.
Ia mengerahkan lweekangnya dan selain ruyungnya di tangan kanan melakukan serangan-serangan dahsyat, juga tangan kirinya bergerak-gerak melancarkan pukulan-pukulan dari jauh dan berusaha merampas ujung cambuk untuk dibetotnya. Gerakan mereka berdua makin cepat saja sehingga tak lama kemudian mereka telah lenyap dari pandangan mata penonton yang makin heran dan kagum. Akan tetapi, di dalam pandangan mata Liong Ki Lok yang sudah terlatih, nampaklah betapa pemuda ini benar-benar hebat ilmu cambuknya dan dengan senjatanya yang luar biasa itu ia dapat mempermainkan Ban Kong.
Pernah satu kali ujung cambuknya melilit ruyung lawan dan perwira itu mengerahkan tenaga untuk menarik kembali. Akan tetapi sambil tersenyum-senyum Tiong San menahan. Dalam gerakan-gerakan mereka yang cepat, terjadilah saling betot dan mengadu tenaga lweekang.
Dan tiba-tiba Tiong San melepaskan gagang cambuknya, sehingga ruyung itu dapat terbetot dan tersendal hampir memukul hidung Ban Kong yang besar. Ban Kong marah sekali, apalagi ketika kembali ujung cambuk Tiong San yang mengeluarkan angin keras menyambar-nyambar kepalanya, tiba-tiba melejit ke bawah dan tahu-tahu telah melibat sepatu kirinya!
Ia berseru keras dan menendangkan kakinya ke samping dan tahu-tahu sepatunya telah terlepas. Sepatu itu masih terlibat oleh ujung cambuk dan kini Tiong San mengayun-ayunkan cambuknya ke atas dengan sepatu itu masih terikat pada ujungnya, lalu berseru-seru kegirangan.
“Aku dapat ikan besar .... ha ha, ikan besar ...!” Ia membuat gerakan seolah-olah seorang pemancing berhasil mendapat seekor ikan besar dan dengan menggerak-gerakkan tangan ia membuat cambuknya terayun-ayun dan sepatu itu bergerak-gerak seperti seekor ikan yang meronta-ronta di ujung pancing!
Ban Kong marah sekali dan tanpa memperdulikan kaki kirinya yang kini hanya memakai kaos saja itu, ia lalu menerkam maju sambil membentak.
“Bangsat gila! Rasakan pembalasanku!” Akan tetapi dengan tersenyum mengejek Tiong San melompat jauh ke kiri dan menurunkan sepatu itu.
“Ah, ikan bau ... ikan busuk ...!” Tiba-tiba ia melemparkan sepatu itu ke arah penonton dan karena memang sepatu dari kulit itu telah dipakai dan berjalan jauh dan kini terkena peluh pula menyiarkan bau yang tidak sedap, sehingga para penonton yang kejatuhan sepatu itu dengan hati geli dan girang juga berseru-seru,
“Memang bau ... sepatu bau!”
Bukan main mendongkolnya hati Ban Kong diganggu secara demikian oleh Tiong San. Sekali ini hancurlah nama besarnya. Ia berpikir dan pikiran ini membuat ia nekat sekali untuk mengadu jiwa. Ia melompat lagi untuk melakukan serangan-serangan maut yang paling berbahaya, akan tetapi pada saat itu terdengar seruan dari jauh.
“Ikan sudah matang ...! Murid gila, mari kita makan !”
Tiong San mengenal suara suhunya, maka ia lalu melompat dan sekali tubuhnya berkelebat ia telah melompati kepala para penonton dan berlari menuju ke tempat di mana tadi suhunya tidur. Ban Kong merasa penasaran dan marah.
“Bangsat gila, kau hendak lari ke mana?” Ia mengejar secepatnya, dan Liong Ki Lok beserta puterinya juga mengejar karena mereka ingin kenal dengan pemuda yang lihai itu. Para penonton yang ingin tahu kelanjutan peristiwa yang menggemparkan itu juga berlari-lari menyusul.
Ban Kong telah tiba di tempat itu terlebih dulu dari yang lain dan ia melihat betapa pemuda gila yang mempermainkannya tadi kini telah duduk di atas rumput, berhadapan dengan seorang tua yang lebih gila lagi karena makan tulang-tulang dan kepala ikan dengan enaknya. Keduanya sedang makan ikan panggang dengan enak dan tidak memperdulikannya sama sekali.
Ban Kong hendak menyerang dan memaki, akan tetapi tiba-tiba wajahnya menjadi pucat ketika ia melihat cambuk panjang yang tergantung di pinggang Thian-te Lo-mo.
“Thian-te Lo-mo ....!” bisiknya dengan terkejut. “Tak salah lagi ”
Sementara itu, biarpun si perwira hanya mengeluarkan seruan perlahan, agaknya si kakek gila itu telah mendengarnya, maka ia mengangkat kepala dan berkata, “Eh, perwira gila, kau hendak makan? Ini, terimalah sepotong daging ikan panggang!” Sambil berkata demikian, ia melemparkan sepotong daging ke arah perwira itu yang menyambutnya dengan tangan kanan.
Ia terkejut sekali karena tangannya menjadi gemetar dan seakan-akan menjadi setengah lumpuh ketika daging itu tiba di telapak tangannya. Ia menjadi jerih karena maklum bahwa kakek gila itu tak boleh dibuat permainan. Iapun tidak mau menghinanya, maka sambil berkata, “Terima kasih!” Ia lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ.
Ketika ia bertemu dengan Liong Ki Lok dan Liong Bwee Ji yang mengejar ke situ, ia berkata, “Liong Ki Lok, kalau dalam tiga hari kau tidak datang ke kota raja bersama puterimu, aku akan mendatangi dusun Bi-lu- siang dan membunuh semua keluargamu!”
Setelah berkata demikian, Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong lalu lari secepatnya meninggalkan tempat di mana untuk pertama kalinya selama ia hidup ia menderita kekalahan yang amat memalukan dan menjatuhkan namanya yang terkenal!
Liong Ki Lok menjadi pucat mendengar ucapan itu dan ia lalu memegang lengan puterinya. “Celaka, ia telah tahu tempat sembunyi ibumu dan adik-adikmu!”
Gadis itu tak menjawab, hanya menjadi amat berduka dan air mata memenuhi kedua matanya dan datang di tempat di mana Thian-te Lo-mo dan muridnya sedang makan daging ikan panggang. Orang-orang yang tadi menonton juga sudah tiba di tempat itu dan memandang kepada kedua orang aneh itu dengan penuh kekaguman.
Sementara itu, Liong Ki Lok setelah tiba di dekat mereka lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Ji-wi inkong (tuan-tuan penolong), siauwte Liong Ki Lok berdua anak menghaturkan hormat.” Juga Liong Bwee Ji ikut berlutut di dekat ayahnya.
Thian-te Lo-mo tertawa terpingkal-pingkal karena geli hatinya melihat hal ini.
“Eh, anak gendeng, dari mana kau membawa badut-badut lucu ini? Ha ha ha!” kemudian ia berkata kepada Liong Ki Lok, “Orang gila, apakah aku dan muridku ini telah menjadi kaisar dan pangerannya, maka kau dan anakmu berlutut, menyembah kami?”
Liong Ki Lok tidak memperdulikan suara ketawa geli dari para penonton melihat lagak orang tua ini yang ternyata lebih gila lagi. Bahkan ia lalu mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata,
“Siauwte ayah dan anak telah menerima pertolongan siauw-enghiong (orang gagah muda), maka sengaja datang hendak menyatakan terima kasih!”
Tiong San telah ketularan adat suhunya dan ia tidak memperdulikan segala macam upacara, dan juga membenci sekali kalau ada orang bersopan-sopan terhadap dirinya. Sungguhpun melihat penghormatan orang ini ia segera membalasnya. Ia menggeser tempat duduknya dan kini iapun tiba-tiba berlutut di depan Liong Ki Lok sehingga menimbulkan pemandangan yang amat ganjil.
Dua orang saling berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Kembali para penonton tertawa, sedangkan Liong Ki Lok dan puterinya makin merasa heran karena kini merekapun merasa ragu-ragu dan menyangka bahwa dua orang itu benar-benar adalah orang-orang gila!
“Orang she Liong,” kata Tiong San yang teringat akan kata-kata Ban Kong, “Apakah kau sudah menjadi gila? Guruku bukan kaisar dan akupun bukan pangeran. Maka pergilah kau dan anakmu kepada Ongya yang patut kau sembah-sembah! Pergilah!” Sambil berkata demikian ia melemparkan tulang ikan di depan Liong Ki Lok yang menjadi terkejut sekali karena tulang-tulang ikan itu ketika dilempar telah menancap pada batu karang di depannya!
Ia mengangguk-anggukkan kepala lagi, “Sedikitnya, kalau inkong tidak mau diganggu, beritahukanlah nama inkong kepada kami agar kami takkan dapat melupakannya,” katanya dengan amat kecewa. “Namanya?” tiba-tiba kakek gila itu berkata sambil tertawa terkekeh-kekeh. “Namanya adalah orang waras dan kalian adalah orang-orang gila. Ha ha ha!”
Akan tetapi Tiong San yang merasa bahwa kalau tidak diberi jawaban orang ini akan berkeras dan tidak mau pergi, lalu berkata, “Aku berada di tempat ini, maka namaku adalah Orang gila dari Shan-tung.”
Mendapat jawaban yang berbelit-belit ini, Liong Ki Lok menarik napas panjang. “Sudahlah, inkong tidak mau menolong kami. Apa boleh buat, biarlah kami mati di depan Ongya di kota raja! Memang di dunia ini banyak sekali orang-orang aneh yang berhati batu. Inkong mengaku orang Shan-tung, baik kami sebut Shan-tung Tai-hiap saja.”
Tiong San tidak menjawab, hanya melanjutkan makan daging ikan panggang. Sedangkan suhunya tertawa gelak-gelak. “Shan-tung tai-hiap? Ha ha ha, apakah kau hendak membikin muridku menjadi gila seperti kalian? Ha ha ha!”
Juga Tiong San tertawa seperti suhunya. Kemudian mereka berdua berdiri dan meninggalkan tempat itu sambil tertawa-tawa geli melihat penghormatan tadi.
Liong Ki Lok dan Liong Bwee Ji saling pandang dan menjadi kecewa dan berduka sekali. Terpaksa mereka harus kembali ke kota raja karena kalau tidak, bahaya besar mengancam keselamatan keluarga mereka.
Sementara itu, para penonton yang melihat peristiwa itu dan yang tiada habisnya mengagumi kegagahan Tiong San, lalu menyebut pemuda itu sebagai Shan-tung Koay-hiap atau pendekar ajaib dari Shan-tung, mengingat akan wataknya yang gila-gilaan dan aneh dari pemuda itu.