Pendekar Gila Dari Shan-tung Chapter 16

NIC

Liong Ki Lok dan Liong Bwee Ji menengok dengan kaget karena tambur yang sudah pecah menjadi dua itu bagaimana tiba-tiba dapat dirangkapkan kembali dan dipukul sehingga menerbitkan suara keras? Mereka memandang ke arah pemuda gila itu dengan mata terbelalak heran, sedangkan Ban Kong juga memandang dengan marah.

Melihat sikap pemuda itu yang cengar-cengir sambil menabuh tambur seperti anak kecil, melihat pakaian dan rambutnya serta melihat betapa orang-orang memandang dan mentertawakannya, perwira ini dapat menduga bahwa pemuda itu tentulah seorang yang miring otaknya!”

“Ayoh, Liong Ki Lok, kita pergi!” bentaknya lagi. Akan tetapi suaranya tidak terdengar nyata, karena begitu ia membuka mulut, suara tambur dipukul lagi dengan kerasnya! Kalau ia berhenti bicara, tamburpun berhenti. Dan kalau ia mulai mengajak lagi, suara tambur riuh lagi, sehingga berkali-kali Te-sam Tai- ciangkun Ban Kong membuka mulut tanpa dapat didengar orang karena kalah riuh oleh suara tambur yang riuh.

Orang-orang yang menonton biarpun tidak mendengar suara perwira itu, namun tahu akan hal ini karena mulut perwira itu bergerak-gerak. Maka mereka menjadi geli dan tertawa melihat betapa pemuda gila itu seakan-akan mempermainkan si perwira yang galak dan menimbulkan rasa benci dan takut kepada mereka itu.

Kini kesabaran Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong habis dengan langkah lebar ia menghampiri Tiong San yang memandangnya dengan tertawa ha ha, hi hi. Namun, biarpun ia marah sekali, perwira besar itu tidak mau merendahkan diri dengan memukul seorang pemuda yang miring otaknya, maka ia hanya membentak,

“Pergi kau, anak gila!” Akan tetapi, bukannya menurut perintah, bahkan dengan menyengir Tiong San membarengi bentakan dengan memukul tambur pula.

Ban Kong kehabisan akal (bohwat) dan dengan gemasnya, ia lalu mengulur tangannya menjewer telinga Tiong San dan menariknya ke tengah lapangan. Tiong San menurut saja dan jalan terpincang-pincang sehingga semua penonton tertawa geli karena pemandangan itu memang lucu.

Melihat betapa pemuda gila itu terpincang-pincang dan memandangnya dengan mulut mengejek, Ban Kong menjadi marah dan hendak memperkeras pijitannya untuk menghancurkan telinga Tiong San yang dijewernya. Akan tetapi tiba-tiba telinga itu bergerak dan terlepas dari pencetannya,

Hal ini tentu saja tidak diketahui oleh lain orang dan hanya terasa oleh Ban Kong sendiri yang menjadi terheran-heran. Ia lalu mengangkat tangan memukul kepala pemuda itu yang terhuyung-huyung ke belakang, akan tetapi terlepas dari pukulan, bahkan tertawa ha ha, hi hi, sambil menuding ke muka Ban Kong.

“Orang gila, pergilah kau sebelum kuhancurkan kepalamu!” Ban Kong berseru marah.

Akan tetapi tiba-tiba Tiong San mengucapkan syair kuno dengan suara seperti orang bernyanyi. Menteri durna memukul tambur

Raja monyet menari-nari Rakyat kecil peluh mengucur

Menteri dan monyet senyum berseri Semua orang kembali gelak tertawa mendengar nyanyian yang tidak keruan artinya akan tetapi setidak- tidaknya mengandung sindiran bagi perwira itu, karena bukankah tadi pemuda gila itu memukul tambur? Dalam dugaan mereka, perwira itu disebut raja monyet, maka mereka merasa puas dan gembira melihat betapa pemuda gila itu berani memaki dan mempermainkan Ban Kong.

Akan tetapi, di antara para penonton terdapat orang-orang yang termasuk golongan pelajar sastra, maka seorang sastrawan tua yang juga ikut menonton berseru heran.

“Itulah nyanyi kanak-kanak di jaman dinasti Tang!”

Memang benar, syair yang dinyanyikan oleh Tiong San tadi adalah sebuah nyanyi kanak-kanak yang dikarang oleh seorang sastrawan dalam usahanya menyindir keadaan kaisar yang dipengaruhi oleh menteri dorna sehingga mengadakan peraturan-peraturan yang memeras rakyat.

Sebagai seorang perwira kerajaan, sedikit banyak Ban Kong pernah mempelajari tentang kesusasteraan, maka iapun kenal lagu ini. Telinganya menjadi merah karena marahnya dan ia lalu memukul ke arah kepala Tiong San sekerasnya untuk memecahkan kepala itu.

Akan tetapi, pemuda itu sambil terhuyung-huyung dapat menghindarkan diri dari pukulannya, sambil mundur berputar-putar mengelilingi lapangan itu. Kini tidak saja Ban Kong menjadi terkejut sekali, juga Liong Ki Lok dan puterinya merasa heran sekali karena kedua kaki Tiong San yang kelihatan terhuyung- huyung ke belakang itu merupakan gerakan sebaliknya dari Cin-pou-lian-hwan yang disebut Gerakan kaki mundur berputar-putar, dan digerakkan dengan amat sempurna dan lincah!

Ban Kong merasa penasaran sekali dan ia segera maju pula menyerang. Bahkan kini ia mempergunakan ruyungnya untuk menghancur leburkan kepala pemuda gila itu! Semua orang merasa terkejut dan ngeri, sehingga terdengar seruan-seruan “Jangan pukul dia, jangan pukul dia!”

Akan tetapi, Ban Kong tentu saja tidak mau memperdulikan seruan itu dan tetap maju menyerang, menggerakkan ruyungnya dengan sikap galak dan kedua matanya memancarkan cahaya membunuh. Liong Ki Lok dan Bwee Ji merasa terkejut sekali karena mereka merasa bahwa kali ini si gila tentu akan pecah kepalanya.

Akan tetapi, sambil ketawa ha ha, hi hi, dengan muka menunjukkan kegembiraan hatinya, Tiong San mengambil cambuknya. Ia mengayundan memutar-mutar cambuknya di atas kepala, berlagak seperti seorang penggembala menggiring kerbau, sehingga cambuknya berbunyi “tar-tar!” berkali-kali, dan mulutnya tiada hentinya berkata.

“Monyet gila ayoh menari-nari!”

Setelah berkata demikian, Tiong San memainkan cambuknya menyabet ke arah kedua kaki perwira itu. Melihat datangnya ujung cambuk yang kecil ke arah kakinya, Ban Kong memandang rendah dan tidak memperdulikan cambuk itu, bahkan langsung melangkah maju mengejar.

Akan tetapi kesombongannya hampir membuat ia mendapat malu besar. Ketika ujung cambuk menyabet kakinya, ia merasa betapa kulit kaki yang terbungkus celana dan kaos itu perih dan pedas sekali. Dan sebelum ia dapat bergerak, ujung cambuk itu telah melibat kedua kakinya sehingga hampir saja ia jatuh!

Ia berseru keras dan menggunakan lweekangnya lalu melompat ke atas sehingga libatan itu terlepas. Akan tetapi kembali Tiong San sudah menyabet-nyabet lagi ke arah kakinya sambil tertawa-tawa dan berseru,

“Monyet gila, ayoh menari-nari!”

Karena tahu akan kelihaian pecut itu, terpaksa Ban Kong mengelak dan berloncat-loncatan sehingga ia benar-benar seperti seekor monyet sedang menari-nari. Sambil menyabet-nyabet dengan pecutnya ke arah kaki, mulut Tiong San menirukan suara tambur mengiringi tarian lawannya itu sehingga semua penonton tak dapat menahan gelak tawanya lagi. Riuh rendah suara ketawa mereka dibarengi sorakan- sorakan karena girang. Sementara itu, Liong Ki Lok dan Liong Bwee Ji, ayah dan anak ini saling pandang sambil membelalakkan matanya. Tak pernah mereka sangka bahwa pemuda gila itu demikian lihai sehingga cambuknya dapat mempermainkan Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong yang memiliki ilmu silat tinggi sekali!

Sebetulnya adalah salah Ban Kong sendiri sehingga ia dapat dipermainkan oleh Tiong San. Kalau tadi ia tidak memandang rendah, belum tentu ia akan mendapat malu besar. Kini ia telah mendapat serangan lebih dulu dan karena cambuk itu panjang serta digunakan secara istimewa, terpaksa ia menurut perintah pemuda itu untuk berloncat-loncatan seperti menari. Akan tetapi, dengan gemas ia lalu berseru keras dan tubuhnya melayang ke depan, melancarkan serangan hebat.

Biarpun mulutnya masih tersenyum-senyum hingga wajahnya yang cakap nampak lucu. Akan tetapi Tiong San tidak berani main-main menghadapi lawan yang tangguh ini. Semenjak turun gunung, belum pernah ia menghadapi pertempuran dengan lawan dan pertama kali yang dihadapinya adalah jago nomor tiga dari perwira kerajaan.

Tentu saja ia maklum akan kelihaian lawan ini dan biarpun ia seringkali menghadapi serangan-serangan hebat dari suhunya ketika mereka sedang berlatih, akan tetapi belum pernah menghadapi lawan sesungguhnya. Maka ia segera mengerahkan tenaga dan kepandaiannya bermain cambuk untuk melawan Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong.

Baiknya ketika berlatih dengan suhunya, Thian-te Lo-mo tidak pernah berlaku sungkan atau kasihan dan menyerangnya benar-benar dan sungguh-sungguh, sehingga bagi Tiong San sudah biasa menghadapi serangan senjata. Maka kini menghadapi serbuan ruyung dari Ban Kong, ia tidak merasa gentar dan memainkan cambuknya cepat sekali.

Ketika Ban Kong menerkamnya dengan serangan Macan lapar menubruk kambing, ia cepat mengelak ke kiri dan segera menghayunkan cambuknya ke arah muka lawan. Ban kong menurunkan kakinya dan sambil mengelak ia mencoba untuk menangkap ujung cambuk dengan tangan kirinya.

Akan tetapi tiba-tiba cambuk itu melengkung ke atas seakan-akan ia merupakan seekor ular hidup yang tidak mau ditangkap dan ujungnya yang panjang dan kecil itu melalui atas kepalanya, sambil mengeluarkan bunyi nyaring. Ujung cambuk itu memecut punggungnya sehingga bajunya di bagian punggung menjadi pecah!

Para penonton yang tadinya tertawa-tawa geli melihat tingkah laku pemuda gila itu, lalu disusul oleh suasana tegang dan khawatir karena perwira itu menyerang dengan ruyungnya. Kini menjadi bengong terlongong-longong karena tak disangka-sangkanya pemuda gila itu ternyata pandai sekali, sehingga tidak saja dapat menghadapi Ban Kong, bahkan sekali gus dapat merobek baju lawan di bagian punggung.

Posting Komentar