Pembakaran Kuil Thian Lok Si Chapter 19

NIC

“Kalau ada yang mengalahkan ilmu pedangmu, aku Bok San Cu hendak melihat siapa orangnya ?” kata guru itu membesarkan hati Siauw Eng.

“Siauw Eng,” kata Cin San Cu yang lebih tua dan lebih sabar sikapnya, "betapapun juga, kau jagalah dirimu baik-baik dan jangan sekali-kali memandang rendah kepandaian orang lain karena di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai. Kau pulanglah dan bantulah ayahmu yang menghadapi banyak kesukaran. Sekarang setelah pemerintah telah kembali dalam tangan Kaisar, maka tentu banyak terjadi kekacauan yang ditimbulkan oleh sisa-sisa pemberontak, maka sudah menjadi tugasmu sebagai puteri seorang komandan perwira untuk membantu mengamankan seluruh negeri. Kalau kau bisa membantu dan berjasa, berarti kau telah membalas dan menjunjung tinggi nama kami berdua sebagaiguru- gurumu.”

Siauw Eng menyanggupi dan setelah mendapat berbagai nasehat dari kedua gurunya yang amat sayang kepadanya itu, ia lalu turun gunung. Ia berangkat pagi-pagi benar dan pagi hari yang cerah itu menimbulkan kegembiraan hatinya. Ia merasa girang dan gembira karena kini ia telah mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan sedang pulang untuk bertemu kedua orang tuanya. Alangkah rindunya kepada kedua orang tua itu, terutama sekali kepada ibunya. Dalam kegembiraannya, Siauw Eng berlari cepat sekali sehingga ia hanya merupakan bayangan merah yang maju cepat dari atas lereng bukit.

Daerah Gobi-san amat luasnya, hingga biarpun Siauw Eng mempergunakan ilmu lari Hui Heng Sut yang tinggi dan dalam sehari saja dapat melalui ratusan li, akan tetapi setelah melakukan perjalanan selama tiga hari, barulah ia keluar dari daerah Gobi yang luas.

Ia berjalan terus menuju ke timur dan belum melalui kota besar, baru melalui beberapa buah dusun yang amat kecil sederhana, dusun para petani miskin yang hidup seakan-akan terasing dari kota-kota besar.

Pada suatu hari, Siauw Eng tiba dalam sebuah hutan pohon Siong yang liar dan besar. Ia mendapat keterangan dari penduduk dusun di luar hutan itu bahwa hutan ini amat panjang, lebih dari tiga puluh li jauhnya dan di dalamnya banyak terdapat binatang buas dan kabarnya belum lama ini ada serombongan perampok bersarang di hutan itu. Akan tetapi, Siauw Eng hanya tersenyum saja mendengar penuturan ini dan sama sekali tidak nampak gentar, bahkan ia berkata dengan lagak sombong,

“Kebetulan sekali, lopek, sudah lama aku tidak makan daging naga dan harimau, dan sudah lama pula aku tidak membasmi gerombolan perampok !”

Mendengar ini, orang dusun yang sudah tua itu memandangnya dengan kaget dan heran, kemudian ia berdiri tercengang ketika melihat betapa dengan sekali berkelebat saja, tubuh dara baju merah itu telah lenyap dari depannya. Empek-empek ini menggeleng-gelengkan kepalanya dan berbisik, “Siluman atau bidadarikah ia ?”

Dengan hati tabah, Siauw Eng masuk ke dalam hutan yang memanjang dari barat ke timur. Benar saja, hutan itu liar sekali hingga di situ belum ada jalan kecil atau lorong yang biasa dilalui orang. Terpaksa ia mencabut pedangnya dan membacok roboh semua penghalang berupa rumput-rumput dan tetumbuhan kecil lainnya. Kadang-kadang ia menghadapi jurang yang lebar dan curam karena hutan itu berada di lereng bukit, akan tetapi dengan gesit ia lalu melompati jurang itu.

Hampir setengah hari ia berjalan perlahan karena tak mungkin berjalan cepat di dalam hutan liar itu, akan tetapi ia tidak bertemu dengan seekor binatang buas pun, kecuali beberapa ekor musang dan kelinci yang indah dan banyak sekali burung-burung yang berkicau merdu. Ia tersenyum geli kalau teringat kepada orang dusun tadi yang dianggapnya selalu melebih-lebihkan.

“Memang benar kata suhu,” pikirnya dengan hati geli, “orang tak boleh merasa takut, karena rasa takut menimbulkan khayal yang bukan-bukan. Mungkin seekor kucing akan kelihatan seperti harimau dan seekor ular biasa kelihatan seperti naga oleh petani yang penakut tadi.”

Sambil masih tersenyum-senyum geli dan menyabet-nyabetkan pedangnya pada serumpun alang-alang yang tinggi dan yang menghadang di depannya, Siauw Eng melanjutkan perjalanannya. Tiba-tiba ia mendengar orang berlari di depan dan ketika ia memandang, ternyata bahwa dari jauh datang tiga orang laki-laki dengan tombak di tangan, dan mereka ini berlari-lari keras bagaikan dikejar setan.

Ketika mereka tiba di dekat tempat Siauw Eng dan melihat banyak pohon di situ, mereka berlumba memanjat pohon yang tinggi sambil membawa tombaknya. Seorang di antara mereka ketika melihat Siauw Eng, cepat berseru,

“Nona, cepat ... ! Lekas kau naik ke pohon ! Macan iblis mendatangi dari sana ! Lekas !”

Akan tetapi, Siauw Eng tidak mau mempedulikan seruan ini dan berdiri dengan tenang sambil menanti datangnya macan iblis yang mereka takutkan itu. Dan tak lama kemudian, datanglah harimau itu dan diam-diam Siauw Eng juga merasa terkejut karena binatang itu sungguh besar dan tinggi seperti seekor lembu muda.”

“Nona panjatlah pohon di dekatmu itu !” kembali pemburu itu berteriak dengan suara gemetar. Mereka itu berpakaian seperti pemburu-pemburu yang gagah, akan tetapi kini melarikan diri dari seekor harimau yang seharusnya diburunya. Sungguh lucu, pikir Siauw Eng, yang diburu memburu dan yang memburu menjadi buruan.

Akan tetapi ia tidak sempat memikirkan kelucuan ini terlebih jauh oleh karena pada saat itu terdengar auman keras sekali hingga menggetarkan seluruh hutan, bahkan seorang di antara pemburu yang telah duduk dengan amannya di atas cabang tertinggi, hampir terjatuh dari tempat duduknya oleh karena tubuhnya menggigil dan lemas mendengar auman harimau yang dahsyat itu.

Siauw Eng berlaku waspada karena menduga bahwa harimau itu pasti akan menyerangnya dengan sebuah lompatan seperti biasa harimau menyerang. Dulu ia pernah ikut suhunya menangkap seekor harimau hingga tahu akan gerak-gerik penyerangan binatang liar itu, akan tetapi harimau yang ditangkap gurunya dulu tidak ada setengahnya dari harimau yang berdiri dihadapannya sekarang ini. Dugaannya benar karena tiba-tiba harimau itu merendahkan tubuh dan kemudian melompat dengan sebuah terkaman hebat. Agaknya ia hendak merobek tubuh calon mangsa berwarna merah ini dengan sekali terkam.

Akan tetapi, lebih cepat lagi Siauw Eng mengelak dengan sebuah lompatan ke kanan. Sambil melompat, dara itu membalikkan tubuh hingga sebelum harimau itu berbalik, ia telah lebih dulu menghadapi harimau itu dari samping. Tanpa menyia-nyiakan waktu, ia lalu menusuk dengan pedangnya ke arah kaki belakang, akan tetapi alangkah heran dan terkejutnya ketika tiba-tiba ekor harimau itu menyabet dan hampir saja lengannya yang memegang pedang kena sabet. Ekor itu menyabet keras bagaikan pecut dan melenggak-lenggok bagaikan ular hingga berbahaya sekali. Siauw Eng cepat menarik kembali tangannya dan kini ia lebih berhati-hati pula karena ternyata bahwa macan ini lihai sekali dan pantas saja disebut macan iblis oleh pemburu-pemburu itu.

Sementara itu, ketika harimau tadi menerkam, ketiga orang pemburu yang berada di atas pohon telah menutup mata masing-masing karena mereka tidak tega melihat betapa tubuh gadis baju merah yang luar biasa cantiknya itu dirobek-robek oleh kuku dan gigi harimau. Akan tetapi, ketika tidak terdengar sesuatu, mereka merasa heran dan membuka mata. Alangkah heran dan girang hati mereka ketika melihat betapa Siauw Eng masih hidup dan masih menghadapi harimau itu dengan pedang di tangan dan dengan sikap tenang. Ternyata dara baju merah itu telah berhasil mengelakkan diri dari terkaman macan yang mereka takuti itu. Luar biasa sekali ! Mereka lalu duduk dan menonton pertempuran yang terjadi dan kini terbukalah mata mereka karena heran dan takjub melihat sepak terjang Siauw Eng.

Gadis baju merah itu loncat sana loncat sini dengan amat lincahnya, mempermainkan harimau itu dan mengelak dari setiap terkaman dan sambaran kaki harimau, bahkan kadang-kadang mencibirkan bibirnya yang manis, tertawa-tawa mengejek dan meniru-niru geraman binatang yang makin lama makin panas dan marah itu. Dengan terkaman yang dahsyat, yakni mengembangkan keempat kakinya ke kanan ke kiri dan tubuhnya ditekuk hingga dapat digerakkan pula mengikuti ke mana korbannya hendak mengelak. Inilah terkaman luar biasa hebatnya karena apabila Siauw Eng mengelak, tentu harimau itu sebelum turun dapat melanjutkan terkamannya dan mengubah luncuran tubuhnya. Agaknya tiada jalan lagi bagi Siauw Eng dan untuk balas menyerang, seakan-akan ia hanya akan mengadu jiwa. Ketiga orang pemburu sudah menahan napas karena melihat betapa harimau itu menubruk hebat dan dara baju merah itu masih belum bergerak seperti orang ragu-ragu.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar Siauw Eng berseru nyaring dan tahu-tahu tubuhnya telah mencelat ke atas, lebih tinggi dari lompatan harimau itu. Tentu saja hal ini membuat harimau itu tidak berdaya karena tak mungkin ia menggerakkan tubuhnya berbalik ke atas, dan sebelum keempat kakinya kembali ke atas tanah, tiba-tiba ia merasa ekornya sakit sekali. Ia mengaum keras dan memutar-mutar tubuhnya cepat sekali seakan-akan hendak menggigit ekor sendiri, dan ternyata bahwa ekornya yang panjang itu telah terpotong di tengah-tengah oleh sabetan pedang Siauw Eng yang dilakukan ketika ia masih berada di udara dan pada saat harimau itu tidak menyangka.

Setelah kehilangan ekornya, gerakan harimau itu tidak sehebat tadi dan kegesitannya banyak berkurang. Agaknya selain merasa sakit, iapun mulai jerih menghadapi makhluk warna merah yang luar biasa ini. Tubrukannya makin lemah dan jarang, sedangkan aumnya juga berbeda, seringkali ia berdiri saja sambil menggerak-gerakkan kepala seperti sedang ketakutan.

Akan tetapi Siauw Eng tidak mau memberi hati kepadanya dan kini dara ini balas menyerang dengan pedangnya. Hebat sekali serangannya dan harimau itu tidak kuasa mengelak lagi. Sambil mengaum keras yang berbunyi seperti keluhan, harimau itu roboh miring ketika pedang Siauw Eng memasuki dada dan tepat mengiris jantungnya. Setelah berkelonjotan beberapa kali, harimau yang besar dan buas dan yang telah makan banyak manusia itu mati. Terdengar seruan-seruan kaget dari atas pohon karena sungguh mati ketiga orang pemburu itu tak pernah menyangka bahwa seorang gadis muda sehalus dan secantik itu dapat membunuh harimau iblis itu seorang diri dengan pedang dan dalam waktu sedemikian cepatnya. Mereka melorot turun dari pohon dan berdiri memandang gadis itu dengan mata terbelalak. Kemudian, serta merta ketiga orang itu menjatuhkan diri berlutut di depan Siauw Eng. Mereka menghaturkan banyak terima kasih sambil mengangguk-anggukkan kepala.

Posting Komentar