Pemberontakan kaum tani yang berhasil menumbangkan kekuasaan kaisar Tang yang melarikan diri mengungsi ke Secuan itu, hingga ibu kota Tiang-an dikuasai oleh pemberontak pula, ternyata tidak dapat tahan lama. Kaisar yang melarikan diri itu lalu mengadakan persekutuan dengan tentara Turki barat yang disebut Shato dan dengan bantuan tentara Turki yang besar jumlahnya dan kuat ini, kaisar lalu menyerbu kembali ke Tiang-an. Kembali rakyat mengalami perang hebat dan pasukan petani menderita kekalahan besar sehingga pemimpin pemberontak Oey Couw akhirnya berputus asa dan membunuh diri di puncak gunung Thai-san. Hal ini terjadi lima tahun kemudian setelah pemberontakan terjadi.
Un Kong Sian yang mengalami berbagai kekecewaan dan bahkan kemudian menderita “patah hati” dalam hubungannya dengan Ong Lin Hwa, setelah berpisah dengan Lin Hwa lalu kembali ke Tiang-an. Ibunya dan isterinya terkejut sekali melihat betapa Kong Sian menjadi kurus dan nampak sedih. Setelah didesak-desak oleh ibunya, akhirnya sambil menangis Kong Sian menceritakan dengan terus terang, bahkan mengaku bahwa ia tak dapat hidup terus dengan Bi Nio biarpun isterinya itu cukup baik dan setia.
“Ampunkan anakmu yang malang ini, ibu. Aku tidak dapat menipu dan mengkhianati Bi Nio lebih lama lagi. Aku tak dapat mencintainya oleh karena hatiku telah tertambat sepenuhnya kepada Lin Hwa. Aku tak dapat menjadi suami Bi Nio pada lahirnya akan tetapi mengasihi wanita lain di dalam hati.” Ibunya merasa berduka dan kecewa sekali dan Bi Nio yang mengetahui hal ini lalu pulang ke rumah orang tuanya yang kaya dan akhirnya dikabarkan bahwa ia mencukur gundul kepalanya dan menjadi nikouw.
Kong Sian tinggal dengan ibunya yang selalu berduka karena memikirkan keadaan putera tunggalnya itu hingga akhirnya ibu yang telah tua ini jatuh sakit sampai meninggal.
Un Kong Sian lalu menjual semua barang dan rumah, setelah mengumpulkan hasil penjualan itu ia membawanya ke kuil Thian-Lok-Si, di mana ia lalu mendermakan semua uang itu kepada kuil tersebut dan dengan suara sedih ia berlutut dan menuturkan kepada Pek Seng Hwesio tentang segala pengalamannya.
Hwesio itu tersenyum maklum, “Anak muda, kau hanya mengalami kepahitan hidup yang hanya dapat diderita oleh orang-orang yang masih belum sadar. Kepahitan-kepahitan hidup itu memang telah diramalkan oleh Sang Buddha dan pengalaman-pengalaman seperti itu memang selalu akan menimpa manusia yang belum sadar. Pinceng hanya dapat merasa iba kepadamu.”
“Suhu, teecu telah kehilangan pegangan, teecu hidup sebatang kara tanpa cita-cita dan tanpa tujuan. Tolonglah Suhu.”
Pek Seng Hwesio berkata tenang, ”Pertolongan apa lagi yang dapat diberikan oleh seorang Hwesio tua dan miskin seperti pinceng selain penerangan tentang kebatinan ? Kalau kau suka menjadi muridku dan menjadi hwesio, mungkin akan terobat hatimu yang terluka itu.”
Dengan serta merta Kong Sian menyatakan suka dan sanggup, maka sekali lagi di dalam kuil Thian-lok- si, rambut kepalanya dicukur gundul. Akan tetapi, kalau dulu ia dicukur untuk melakukan penyamaran dan kini ia dicukur betul-betul untuk menjadi seorang hwesio. Ketika kepalanya dicukur, tak dapat tidak ia teringat dan terkenang lagi akan pengalaman ketika ia dan Lin Hwa mencukur rambut di kuil ini dulu hingga tak tertahan lagi ia mencucurkan air mata.
Pek Seng Hwesio lalu memberi nama padanya dan nama baru ini tidak banyak berbeda dengan namanya sendiri karena hanya dibalikkannya saja, yakni Sian Kong Hosiang. Demikianlah bertahun- tahun Sian Kong Hosiang menjalani ibadat dan selain mempelajari ilmu kebatinan menurut ajaran Sang Buddha, juga ia mempelajari ilmu silat yang tinggi dari Pek Seng Hwesio hingga ilmu kepandaiannya bertambah pesat sekali. Bukan main girang hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaian Pek Seng Hwesio benar-benar tinggi bahkan mungkin tak kalah tingginya dari suhunya yang dulu, yakni Beng Hong Tosu, tokoh Kunlun-san.
******
Waktu lewat dengan tak terasa dan cepat sekali, hingga tahu-tahu tujuh belas tahun telah lewat semenjak terjadinya peristiwa pembasmian keluarga Khu dan Ma.
Pada suatu hari, dari sebuah lereng bukit di pegunungan Gobi yang luas, turun seorang berpakaian merah dengan tindakan kaki cepat seakan-akan ia melayang atau terbang saja. Ternyata bahwa orang yang berpakaian merah ini adalah seorang gadis muda berusia enam belas tahun yang sedang berlari mempergunakan ilmu ginkang yang luar biasa hingga nampaknya ia tidak menginjak tanah. Mata orang biasa hanya akan melihat berkelebatannya bayangan merah saja dan mata ahli silat tentu akan terkejut sekali karena melihat bahwa gadis muda itu sedang mempergunakan ilmu lari cepat Keng Sin Sut yang luar biasa.
Dara ini cantik jelita dan manis sekali. Pakaiannya yang berwarna merah berkibar-kibar tertiup angin ketika ia lari, rambutnya yang hitam halus dan panjang itu dikuncir menjadi dua dan ujungnya bergantungan di punggung, bersembunyi di bawah mantelnya yang lebar dan panjang berwarna kuning. Kedua kakinya kecil, bersepatu warna hitam, gerakannya demikan gesit dan ringan seakan-akan rumput yang kena injakpun tidak rusak. Di pinggang kirinya tergantung sebatang pedang panjang yang gagangnya diukir indah berbentuk kepala naga dengan terhias ronce-ronce biru.
Sukar untuk melukiskan kecantikan wajah dara ini, karena segala bagian yang terkecil pun menarik hati dan menggairahkan kalbu hingga sekali mata orang tertuju kepadanya, takkan mudah bagi orang itu untuk mengalihkan pandangannya. Entah apanya yang paling menarik hati, entah sepasang matanya yang lebar dan kocak, bersih bening bagaikan mata burung hong itu, atau hidungnya yang lurus kecil dan mancung, atau bentuk bibirnya yang merah, kecil penuh dan melengkung sempurna bagaikan bentuk gendewa itu. Mungkin sekali setitik kecil tahi lalat di sudut bibir yang membuatnya nampak begitu manis dan ayu, atau potongan tubuhnya yang ramping atau kulitnya yang putih kuning dan halus. Ah, sukarlah untuk memilih mana yang paling menarik, dan lebih mudah untuk menyatakan bahwa dara ini memang seorang gadis yang cantik jelita dan sikapnya gagah.
Gadis muda ini bukan lain ialah Gak Siauw Eng. Gak Siauw Eng atau Ma Siauw Eng, puteri mendiang Ma Gi dan Kwei Lan. Seperti diketahui, nyonya janda Ma Gi yang bernama Kwei Lan itu dilarikan oleh perwira Gak Song Ki dan kemudian setelah Siauw Eng terlahir, nyonya janda itu menjadi isteri Gak Song Ki yang tampan dan gagah. Ketika Kwei Lan melihat betapa besar rasa sayang suaminya kepada Siauw Eng, maka ia tidak menaruh hati keberatan ketika Gak Song Ki mengusulkan supaya she anak tirinya itu dirobah, hingga Siauw Eng yang tadinya she Ma, menjadi she Gak. Semenjak kecil, Siauw Eng telah mendapat didikan sastera dari ibunya dan ilmu silat dari ayah tirinya yang dianggapnya ayah tulen itu. Ternyata bahwa Siauw Eng berotak cerdas sekali, terutama dalam pelajaran ilmu silat. Setiap jurus pukulan baru dilatih satu dua kali saja telah dapat dilakukannya dengan gerakan sempurna hingga makin sayanglah Gak Song Ki kepadanya.
Setelah Siauw Eng berusia dua belas tahun, habislah sudah semua kepandaian Gak Song ki dipelajarinya dan dalam usia semuda itu Siauw Eng telah memiliki kepandaian tinggi dan lihai. Melihat kemajuan anak ini dan bakat besar yang dipunyainya, Gak Song Ki lalu mengirim mengirim Siauw Eng ke Gobi-san, ke tempat pertapaan suhunya, yakni Cin San Cu. Pertapa yang sakti ini begitu melihat Siauw Eng, timbul rasa kagumnya karena benar-benar anak ini memiliki bakat besar untuk menjadi seorang pendekar, maka dengan girang ia lalu menerima Siauw Eng menjadi muridnya. Semenjak itu, Gak Siauw Eng tinggal di Gobi-san, ikut suhunya belajar silat tinggi, bahkan ketika Bok San Cu, sahabat baik dan saudara seperguruan Cin San Cu, datang ke Gobi-san dan melihat Siauw Eng, tosu inipun lalu menurunkan kepandaiannya pula.
Dengan semangat dan tekun sekali Gak Siauw Eng mempelajari ilmu pedang Pek Tiauw Kiam Hwat (ilmu pedang rajawali putih) dan Sin Coa Kiam Hwat (ilmu pedang ular sakti) dari Bok San Cu, dan mempelajari ilmu silat tangan kosong dan latihan iweekang dan ginkang dari Cin San Cu. Tentu saja, digembleng oleh dua orang tokoh Gobi-san yang berilmu tinggi ini, Siauw Eng mendapat kemajuan pesat sekali dan ketika ia telah hampir lima tahun belajar ilmu silat di bawah asuhan dua orang guru besar itu, ia telah menjadi seorang gadis yang gagah perkasa dan lihai sekali.
Sebetulnya, menurut kedua orang suhunya, ia masih harus mematangkan pelajarannya sedikitnya dua tahun lagi, akan tetapi oleh karena Siauw Eng telah merasa rindu sekali kepada ayah bundanya yang telah ditinggalkannya hampir lima tahun lamanya, maka dara itu memohon dan mendesak kedua gurunya untuk memperkenankan ia turun gunung dan pulang ke rumah orang tuanya.
“Muridku, dengan dua macam Kiamhwat yang telah kau pelajari dengan baik itu, kau tak usah takut menghadapi lawan yang bagaimana tangguhpun,” kata Bok San Cu yang memang memiliki watak sombong dan mengagulkan kepandaian sendiri, “akan tetapi kau harus melatih diri baik-baik karena gerakan-gerakanmu belum sempurna benar, baru delapan bagian yang sempurna.”
“Tentu akan teecu perhatikan, suhu, akan tetapi betul-betulkah tidak akan ada orang yang dapat mengalahkan ilmu pedang teecu ?” tanya Siauw Eng yang semenjak kecil dimanja orang tuanya dan kini dimanja kedua suhunya hingga dara inipun menjadi angkuh dan merasa dirinya paling pintar.