Pembakaran Kuil Thian Lok Si Chapter 16

NIC

Kong Sian dan Lin Hwa saling pandang dengan muka merah karena sungguhpun mereka tidak dapat menangkap arti kata-kata pendeta itu dengan jelas, namun mereka seakan-akan mendapat sindiran bahwa pendeta tua itu telah maklum akan apa yang menjadi perasaan hati mereka berdua.

Sesungguhnya Lin Hwa memang ingin sekali mencari kuburan suaminya, akan tetapi, yang lebih tepat lagi, ia ingin pergi bersama Kong Sian karena hatinya merasa berat sekali kalau kini setelah ditinggal puteranya, ia harus berpisah lagi dari pemuda ini. Ia ingin bersembahyang di depan makam suaminya, ingin mengeluarkan segala hatinya dan ingin minta perkenan dari suaminya untuk .... untuk ....

kemungkinan kawin lagi dengan Kong Sian.

Demikianlah, kedua orang muda itu lalu turun gunung, kini lebih cepat perjalanan mereka, karena tidak disertai Cin Pau

Pada suatu malam yang dingin dan gelap, Un Kong Sian dan Ong Lin Hwa tiba di dalam sebuah hutan. Ketika keduanya melompat naik ke atas pohon tinggi untuk mencari-cari dan melihat-lihat barangkali di dekat situ terdapat dusun, ternyata tak nampak dusun atau cahaya api penerangan di dekat dan di sekitar hutan itu, maka terpaksa mereka harus bermalam di hutan itu.

Akan tetapi, tiba-tiba datang hujan dan angin ribut sehingga mereka menjadi bingung. Mula-mula mereka berteduh di bawah pohon yang berdaun lebat sekali, akan tetapi oleh karena hujan turun makin besar hingga air hujan menembus daun-daun pohon dan membuat mereka menjadi basah kuyup seluruh pakaian dan tubuh mereka, terpaksa mereka lalu mencari-cari tempat yang kiranya dapat digunakan untuk tempat berteduh di malam itu. Tubuh mereka terserang dingin yang luar biasa hingga kalau saja mereka tidak memiliki lweekang yang dapat disalurkan pada jalan-jalan darah untuk membuat hangat tubuh, tentu mereka tak kuat menahan rasa dingin yang menusuk tulang itu.

“Bagaimana baiknya ? Kemana kita harus pergi berlindung ?” tanya Lin Hwa yang telah mulai menggigil kedinginan, karena kepandaiannya masih belum tinggi betul. Melihat keadaan Lin Hwa, Kong Sian menjadi kasihan sekali. Ia melepaskan mantelnya dan menyelimuti tubuh Lin Hwa, akan tetapi oleh karena mantel itu pun telah menjadi basah kuyup, maka pertolongan ini tiada artinya.

Kilat menyambar-nyambar dan angin membuat semua pohon di hutan itu seakan-akan bergerak-gerak mengamuk. Lin Hwa mulai terhuyung-huyung dan tubuhnya lemah serta lelah sekali hingga Kong Sian terpaksa harus memeluknya dan menariknya di dalam hujan badai itu, maju terhuyung-huyung ke depan, mencari pohon-pohon yang lebih besar.

“Kong Sian ..... aku ....aku ..... tak kuat lagi rasanya ” “Ah, masa kau begitu lemah ?” Kong Sian menghibur dan mencoba berkelakar. “Sebentar lagi hujan badai ini juga berhenti.”

Akan tetapi, jangankan berhenti, bahkan lebih lebat datangnya air hujan dari atas, dan angin makin besar mengamuk.

Mereka berjalan berhimpit-himpitan, saling peluk dan hanya mengandalkan tenaga Kong Sian saja mereka dapat bergerak maju. Ketika cahaya kilat menyinari hutan itu, tiba-tiba Kong Sian melihat bayangan sebuah bangunan dari jauh. Ia menjadi girang sekali dan sambil menarik tubuh Lin Hwa yang setengah dipondongnya itu, ia berkata, “Cepat, di depan itu kulihat bangunan!”

Setelah berjalan beberapa lama, benar saja, di dalam cahaya kilat yang sebentar-sebentar menyambar, mereka melihat sebuah bangunan kuno di tengah hutan. Bangunan ini adalah sebuah kelenteng kuno yang telah rusak dan yang atapnya sebagian besar telah hancur. Akan tetapi masih ada juga sedikit bagian yang kuat dan dapat menahan turunnya air, maka Kong Sian lalu mendukung tubuh Lin Hwa dan masuk ke dalam kelenteng itu.

Mereka girang sekali karena di situ terdapat sebuah meja sembahyang terbuat dari pada kayu besi yang hitam dan kuat hingga buru-buru mereka berlindung di bawah meja itu. Dan dengan girang Kong Sian mendapatkan kayu-kayu kering di bawah meja, bahkan terdapat pula batu-batu api. Ia menduga bahwa ini tentu barang orang-orang yang telah pernah bermalam di tempat ini, maka cepat ia membuat api dengan susah payah, karena walaupun benda-benda itu tidak terserang air, bahan bakar itu menjadi lembab. Akan tetapi, akhirnya ia berhasil juga dan tak lama kemudian menyalahlah kayu-kayu kering di bawah meja itu.

Terdengar Lin Hwa mengeluh perlahan dan ketika Kong Sian memandang, ia melihat wajah yang cantik itu memucat dan nampak lemah sekali. Akan tetapi pada saat itu, Lin Hwa menyandarkan kepalanya pada pundak Kong Sian dan memandang pemuda itu dengan pandangan mata yang mesrah dan penuh perasaan.

Diangatkan oleh nyala api, akhirnya Lin Hwa dapat juga tidur dengan kepala masih tersandar di bahu Kong Sian. Pemuda itu lalu dengan hati-hati dan lemah lembut menidurkan kepala Lin Hwa ke atas lantai berbantalkan mantelnya yang digulung. Kemudian ia menambah kayu pada api unggun kecil di bawah meja besar itu. Setelah itu Kong Sian lalu duduk bersamadhi, mengatur napasnya hingga hawa yang hangat menjalar di seluruh tubuhnya, mengusir kelelahan dan kedinginan yang menyerangnya.

Menjelang fajar, hujan berhenti dan ketika matahari mulai menyinarkan cahayanya mengusir sisa-sisa kegelapan, terdengar burung-burung dan ayam-ayam hutan berbunyi riang, seakan-akan mereka ini sama sekali telah lupa akan amukan hujan badai malam tadi yang membuat banyak sarang mereka hancur dan telur serta anak-anak mereka rusak binasa.

Melihat bahwa Lin Hwa masih tidur dengan nyenyak, Kong Sian lalu keluar dari kuil itu dan membungkuk dengan hormat dihadapan sebuah patung yang telah rusak, seakan-akan menyatakan terima kasihnya karena kalau tidak cepat-cepat mendapat tempat berteduh yang aman sentausa itu, entah bagaimana nasib mereka malam tadi. Kemudian ia lalu keluar dan mencari makanan di dalam hutan yang liar itu. Tak lama kemudian, ia kembali ke kuil sambil membawa beberapa butir buah dan seekor kelinci yang ditangkapnya.

Akan tetapi, ketika ia tiba di dekat kelenteng rusak itu, tiba-tiba terdengar jerit Lin Hwa dari dalam kelenteng. Kong Sian melempar semua bahan makanan itu ke atas tanah dengan cepatnya melompat ke dalam kelenteng. Alangkah marah dan kagetnya ketika melihat betapa Lin Hwa telah diikat kaki tangannya dan rebah di lantai dengan pakaian tidak karuan, sedangkan di situ berdiri seorang saikong (pertapa) bermuka penuh cambang-bauk seperti seekor harimau sedang tertawa bergelak.

“Jahanam keparat!” Kong Sian membentak sambil mencabut pedangnya lalu menyerang.

Saikong itu mengelak dan membentak marah sambil melototkan matanya yang lebar, “Bangsat kecil ! Kau berani main gila di depan Pit Lek Hoatsu ?”

Kong Sian terkejut mendengar nama ini karena ia pernah mendengar nama ini sebagai seorang pendeta cabul dan jahat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dulu suhunya pernah bercerita bahwa suhunya pernah turun gunung untuk membasmi saikong jahat ini, akan tetapi karena Pit lek Hoatsu memang gagah dan juga licin sekali, suhunya tak berhasil membekuknya. Akan tetapi, melihat betapa pendeta keparat itu hendak mengganggu Lin Hwa, Kong Sian tak mengenal arti takut dan menyerang dengan hebatnya hingga saikong itu terpaksa melayaninya.

Pit Lek Hoatsu benar-benar lihai sekali. Ketika ia membentak marah, dari pinggangnya ia mencabut keluar sabuknya yang terbuat daripada perak, merupakan rantai perak yang berujung tajam. Dan setelah ia putar-putar senjatanya ini, Kong Sian merasa terkejut sekali karena gerakan saikong ini luar biasa cepat dan buasnya. Tiap kali pedangnya terbentur oleh rantai itu, ia merasa telapak tangannya sakit sekali sehingga setelah empat kali mengalami benturan hebat, ia tidak berani lagi menangkis dengan pedangnya, dan hanya bergerak cepat mengelakkan diri dari bahaya maut yang disebar oleh rantai perak itu. Kong Sian terdesak hebat dan Lin Hwa yang terikat kaki tangannya dan duduk menyandar dinding, memandang keadaan ini dengan mata terbelalak dan kuatir sekali.

Pada saat yang berbahaya itu, tiba-tiba dari luar kuil terdengar suara orang menyebut nama Buddha, “Omitohud ! Pit lek Hoatsu, tidak tahukah kau kepada kemuliaan Buddha ?”

Berbareng dengan habisnya ucapan ini, berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu seorang hwesio yang tua dan berjenggot putih telah menyambar dan dengan ujung bajunya ia menyampok rantai perak Pit Lek Hoatsu. Sampokan ini hebat sekali karena rantai itu terbentur dan membalik, hampir saja menghantam muka Pit Lek Hoatsu sendiri. Saikong itu terkejut dan melompat ke belakang berjungkir balik, dan ketika memandang hwesio yang baru tiba itu, ia menjadi terkejut dan berseru,

“Pek Seng Hwesio ! Kau datang mencampuri urusanku ?”

“Pinceng bukan mencampuri urusan siapa-siapa, hanya berusaha mencegah terjadinya perbuatan sesat,” jawabnya tajam.

Pit Lek Hoatsu ragu-ragu. Ia maklum akan kelihaian hwesio tua ini, kemudian sambil tertawa menyeringai ia lalu menyimpan rantainya dan berkata, “Biarlah aku memandang mukamu dan lain kali kita bertemu pula !” Kemudian ia melompat pergi dan terdengar suara ketawanya yang menyeramkan.

Kong Sian lalu cepat melepaskan tali yang mengikat kaki tangan Lin Hwa, menggunakan mantelnya untuk menyelimuti tubuh Lin Hwa karena pakaiannya banyak yang robek. Kemudian, kedua orang muda itu lalu maju dan berlutut di depan Pek seng Hwesio, ketua dari kuil Thian Lok Si itu.

“Hm, kalian lagi,” kata hwesio tua itu, “Dan di mana puteramu, toanio ?”

“Cin Pau telah teecu serahkan kepada Tiauw It Locianpwe untuk dididik,” jawab Lin Hwa dengan penuh hormat.

Kong Sian lalu menceritakan pengalaman mereka di puncak Kunlun-san dan Pek Seng Hwesio mengangguk-angguk sambil berkata, “Pantas saja tadi ketika pinceng mengunjungi Kunlun, di sana tidak ada siapa-siapa. Suhumu Beng Hong Toyu telah turun gunung dan pinceng tidak dapat bertemu dengan dia. Tadinya pinceng memang bermaksud mencari Ong-toanio ini yang menurut perkiraan pinceng tentu berada di Kunlun-san oleh karena mendiang suaminya atau suhengmu adalah anak murid Kunlun-pai.”

“Losuhu mencari teecu ada keperluan apakah ?” tanya Lin Hwa.

Pek Seng Hwesio tersenyum. “Memang puteramu bukan jodohku, tadinya pinceng bermaksud mengambil murid padanya, akan tetapi telah didahului oleh Tiauw It Lojin. Biarlah, Bu Eng Cu juga seorang tokoh yang berilmu tinggi dan puteramu tidak kecewa kalau menjadi muridnya.”

Setelah berkata demikian, Pek seng Hwesio lalu berkelebat dan pergi dari situ.

Kong Sian dan Lin Hwa saling pandang dengan penuh takjub. Tak mereka sangka bahwa Pek Seng Hwesio demikian lihai ilmu silatnya sehingga saikong jahat itupun agaknya jerih menghadapinya.

“Untung kau lekas datang, Kong Sian. Kalau tidak ”

“Jangan bilang untung karena aku datang, karena kalau hwesio tua itu tidak datang menolong, biarpun ada aku, agaknya sia-sia belaka,” kata Kong Sian sambil menghela napas. “Kong Sian ,” kata Lin Hwa sambil memandang dengan tajam.

“Ya ?”

“Mengapa kau sebaik ini kepadaku ?”

Kong Sian terkejut karena pertanyaan ini tak disangka-sangkanya sehingga membuat ia tak tahu harus menjawab bagaimana.

“Kenapa kau bertanya demikian ? Manusia harus saling berbaik dengan sesama hidupnya.”

Lin Hwa menggeleng-gelengkan kepalanya. “Akan tetapi kau berbeda sekali, sahabatku. Kau kau

terlalu baik padaku, dan dan ini tentu ada sebabnya.”

Posting Komentar