Halo!

Pedang Ular Mas Chapter 22

Memuat...

Bukan kepalang girang Sin Cie. Ia pun merasakan bagaimana hasilnya latihan kerasnya. Disebelah itu, girang ia mendapati dua orang hutan itu, ia sendiri mencarikan buah-buahan, untuk piara mereka.

Selang tujuh atau delapan hari, kedua orang-hutan itu jadi jinak sekali, keduanya mengerti kesajangan si anak muda terhadap mereka, maka itu, walaupun tidak lagi dicangcang, mereka tidak mau kabur.

Sin Cie lantas beri nama "Tay Wie" kepada yang lelaki dan "Siau Koay" kepada yang perempuan, ia biasakan memanggil mereka hingga keduanya tahu namanya masing- masing.

Bok Jin Ceng dan Bhok Siang Toojin tertawa melihat kedua binatang itu jadi demikian jinak dan mengerti maksud orang.

Setelah binatang itu tahu rumah, jinak dan mendengar kata, Sin Cie lepaskan mereka hingga mereka merdeka untuk pergi cari makan sendiri, mencari bebuahan diatas gunung.

Pada suatu hari terjadilah suatu hal kebetulan.

Tay Wie dan Siau Koay pergi mendaki gunung, untuk cari makanan. Dengan berani Siau Koay merambat ditembok gunung, atau mendadakan kakinya terpeleset, tiada ampun lagi, pegangannya terlepas, dia jatuh. Tembok gunung itu adalah jurang dalamnya empat puluh tumbak lebih.

Tay Wie kaget, tapi kapan dia mengawasi lebih jauh, dia lihat kawannya tidak jatuh terus ke jurang hanya nyangkut pada suatu cabang pohon dimana kebetulan ada sebuah gua kosong, jang mulut guanya sudah lumutan. Disini Siau Koay berpegangan pada mulut gua, naik tidak bisa, turun juga tidak bisa.

Dalam sibuknya, Tay Wie lari pulang, untuk cari Sin Cie, buat beri kabar. Ketika itu, sang majikan lagi berlatih dengan pedang. Binatang ini tidak bisa bicara, maka juga ia berpekik tak hentinya.

Sin Cie heran, apabila ia lihat tubuhnya orang hutan itu lecet disana-sini, berdarah bekas kena tusukan duri pepohonan, sedang romannya seperti ketakutan. Tidak tempo lagi, ia cari A Pa, si gagu, untuk diajak bersama, mengikuti binatang piaraan itu pergi kejurang.

Sesampainya di tepi jurang, Tay Wie menunjuk-nunjuk kearah Siau Koay, ia berpekik tak sudahnya, kaki tangannya digeraki berulang-ulang. Karena ini, Sin Cie dan A Pa segera dapat lihat si orang-hutan betina dalam bahaya itu. Tidak tempo lagi, Sin Cie lari pulang untuk ambil dadung, yang ia lemparkan kearah binatang piaraannya itu, ia sendiri lalu memegangi ujungnya bersama A Pa.

Siau Koay sudah lelah sangat, ketika ia lihat dadung, ia jambret, ia pegangi dengan keras, dengan begitu, sebentar kemudian ia dapat ditarik naik. Ia terluka dibeberapa tempat, syukur tidak hebat. Kemudian, dengan perdengarkan pekikan berulang-ulang, ia tunjuki tangannya kepada Sin Cie.

Sin Cie heran apabila ia dapati ditelapakan tangan kedua orang hutan itu nancap dua rupa benda luar biasa, ketika ia

150 coba cabut, benda itu nancap keras, Siau Koay sendiri menjerit-jerit keras, rupanya sangat kesakitan. Benda itu susah dicabut.

"Apa mungkin ada musuh disini?" Sin Cie tanya dirinya sendiri. Ia menjadi curiga dengan tiba-tiba. Lalu, dengan tanda-tanda tangan, ia tanya Siau Koay, siapa yang sudah serang padanya.

Dengan menggerak-gerakkan kedua tangannya, Siau Koay beritahu bahwa ketika ia ulur tangannya kearah dalam gua, ia kena sambar atau tertusuk benda itu.

Bukan main herannya ini anak muda. Bagaimana dalam gua itu ada senjata rahasia? Sebab benda luar biasa itu tak lain tak bukan, mesti senjata rahasia adanya. Tidakkah gua itu jauh dari sana-sini? Dengan masih terus merasa aneh, Sin Cie ajak A Pa dan dua binatang piaraannya itu untuk cabut benda aneh itu, yang pun ia kasih lihat.

Dua-dua Bok Jin Ceng dan Bhok Siang turut merasa aneh.

"Aku gemari senjata rahasia, pernah aku lihat pelbagai bentuk senjata rahasia dari lain-lain orang, tetapi yang seperti ini, mirip ular, inilah yang pertama kali," menyatakan Bhok Siang. "Lao Bok, kali ini runtuhlah aku dari ujian..."

"Coba keluarkan dulu," usulkan Bok Jin Ceng.

Bhok Siang masuk kekamarnya, untuk ambil pisau kecil, dengan itu ia potong daging telapakan tangannya Siau Koay, untuk keluarkan benda aneh itu.

Siau Koay tahu orang hendak tolong dia, dia tidak berontak. Setelah benda dicabut, lukanya diobati dan dibungkus. Ia nampaknya merasa puas, sedang Tay Wie lantas usap-usap dia dan carikan dia kutu..... Dua potong senjata rahasia itu panjangnya masing- masing dua cun delapan hun, berbentuk kepala ular dengan lidah diulur keluar, lidahnya bercagak tiga, setiap cagaknya tajam. Seluruh tubuh ular berwarna hitam gelap, kotor dengan lumut, tapi kapan Bhok Siang telah keriki lumutnya, tertampaklah sepotong benda mengkilap - emas! "Pantas timbangannya berat, kiranya terbuat dari emas," kata imam ini. "Sungguh berbahagia orang yang menjadi pemilik senjata rahasia ini! Sekali menggunai, dia buang emas beberapa tail..."

Sekonyong-konyong Bok Jin Ceng terperanjat sendirinya, lalu ia berseru: "Inilah senjata rahasia Kim Coa Long-kun!"

"Kim Coa Long-kun?" menegaskan Bhok Siang sambil melengak. Ia berdiam sebentar, akan melanjuti sesaat kemudian: "Kau maksudkan Hee Soat Gie? Bukankah, kabarnya, dia telah meninggal dunia sejak belasan tahun jang lampau?" Dia Baru mengucap demikian, atau dengan roman kaget, dia berseru: "Tidak salah, benar dia!"

Imam ini lantas bulak-balik senjata rahasia model ular itu, lalu dibagian perutnya ia tampak satu ukiran huruf "Soat". Huruf ini kedapatan pada senjata rahasia yang kedua.

"Suhu, siapa itu Kim Coa Long-kun?" tanya Sin Cie pada gurunya, yang masih tercengang, hingga sejak tadi, guru ini diam saja.

"Nanti saja aku beri keterangan kepadamu," sahut sang guru kemudian. "Tootiang, coba bilang, kenapa senjata rahasianya bisa berada dalam gua itu?"

Bhok Siang Toojin tidak menjawab, dia hanya berdiam berpikir. Disebelahnya merasa aneh, dua sahabat itu nampaknya jadi tegang sendirinya. Karena ini, Sin Cie tidak berani menanyakan terlebih jauh.

Malam itu, habis bersantap, Bok Jin Ceng dan Bhok Siang duduk pasang omong. Sin Cie mendengari dengan diam saja, karena ia tak mengerti apa yang diomongi itu. Ia melainkan perhatikan kata-kata "pembunuhan karena permusuhan" dan "pembalasan dendaman". Pun ada kata- kata rahasia lainnya, yang gelap untuknya.

"Jadinya," kemudian kata si imam tiba-tiba," Kim Coa Long-kun telah datang kemari untuk menyingkir dari musuh-musuhnya?"

Jawaban Bok Jin Ceng ada menyimpang. "Melihat kepandaiannya, sebenarnya tak ada perlunya dia jauh-jauh dari Kanglam menyingkir dan sembunyikan diri ketempat sunyi ini."

"Apa mungkin dia masih belum mati?" Bhok Siang tanya pula.

"Dia adalah seorang luar biasa," sahut Bok Jin Ceng. "Selama ini kita cuma dengar namanya belum pernah kita menemui sendiri kepadanya. Orang bilang dia telah meninggal dunia tetapi siapa juga tidak tahu kenapa dan cara bagaimana dia meninggalnya."

"Dia memang aneh sepak terjangnya...." Sang imam menghela napas. "Ada kalanya dia telengas sekali, ada kalanya dia mulia dan berbudi, sehingga apa dia jahat, apa dia baik, orang melainkan bisa menduga-duga saja. Beberapa kali pernah aku mencoba cari dia, tetapi senantiasa gagal..." "Sudah, tak perlu kita main duga-duga saja," memutus Bok Jin Ceng. "Besok kita pergi ke guanya untuk melihat- lihat!"

Dan besok paginya Bok Jin Ceng ajak Bhok Siang Toojin, Sin Cie dan A Pa, dengan membekal senjata dan dadung, pergi kejurang yang kemarin. Sin Cie hunjuki dimana letaknya gua.

"Hati-hati," pesan Bok Jin Ceng, ketika Bhok Siang nyatakan dia suka turun untuk memasuki gua itu. Kemudian si imam libat pinggangnya dengan dadung dan kawannya, bersama si gagu, kerek dia turun secara pelahan- lahan.

Didepan mulut gua, Bhok Siang berhenti, segera ia mengawasi kedalamnya. Ia tampak kabut, hingga sekalipun tanah tak terlihat tegas. Diam-diam hatinya bercekat walaupun dia ada satu jago, jang telah luas pengalamannya. Ia mengawasi terus. Biasanya, di tempat gelap, lamaan mata orang menjadi biasa, tetapi disini, imam itu rasai malah semakin guram. Ia hanya merasa, gua ini mestinya dalam sekali. Ia pun menduga-duga apa tubuhnya muat apabila ia coba memasuki gua itu....

Bhok Siang tak mau mundur dengan begitu saja. Ia lantas bungkus sebelah tangannya, lalu ia ulur itu kedalam gua. Ia memasukinya dengan pelahan-lahan. Segera ia merasakan tangannya membentur suatu benda tajam dimulut gua - benda yang nancap dimulut gua itu. Ia duga itu adalah Kim-Coa-cui -"bor ular emas". Ia mencabut semuanya, jang berjumlah empat belas biji. Ia ulur tangannya lebih jauh, sampai pipinya mengenai mulut gua, ia tidak meraba lain benda. Sampai disitu Barulah ia kuatir, orang-orang diatas, yang menahani tubuhnya, nanti lelah.

"Tarik aku!" ia perdengarkan suara seraya ia mengedut. Bok Jin Ceng dengar suara itu, ia menarik dengan pelahan-lahan.

Lagi kira dua tumbak sampai diatas, setelah kakinya dapat injak batu dilamping jurang itu, Bhok Siang menjejak, dengan begitu, cepat sekali ia telah sampai diantara kawan- kawannya.

"Lihat ini!" berseru ia kepada Bok Jin Ceng, sambil ia perlihatkan tangannya dalam mana tergenggam empat-belas benda tajam, dan aneh jang seperti didapati Siau Koay. "Lau Bok, kita dapat harta karun! Emas begini banyak!..." ia tertawa.

Sebaliknya dari sahabat itu, Bok Jin Ceng perlihatkan wajah sungguh-sungguh.

"Ini hantu simpan bendanya di dalam gua, apakah maksudnya?" kata dia kemudian. "Ada benda apa lagi didalam gua itu? Nanti aku pergi lihat. "

"Percuma kau pergi melihat," kata Bhok Siang. "Mulut gua ada terlalu kecil, tubuhmu tak muat dalam itu!"

Bok Jin Ceng berpikir, ia diam saja. Ia tunduk.

"Supeh, apakah bisa aku yang pergi?" tiba-tiba Sin Cie tanya.

"Mungkin kau bisa," sahut Bhok Siang sambil tertawa. "Jurang ada begini dalam, apa kau berani?"

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment