Halo!

Pedang Ular Mas Chapter 21

Memuat...

Lantas ia suruh muridnya paykui.

Sin Cie menurut, ia paykui dengan segera.

"Jangan, jangan!" ia menolak, tangannya digoyang berulang-ulang. "Aku tidak terima murid! Jikalau dia hendak minta pelajaran dari aku, dia mesti dapatkan itu dengan menangkan aku dengan kepandaiannya!"

"Apakah caranya itu?" tanya Bok Jin Ceng.

"Dalam hal ilmu pedang dan ilmu kepalan, Lo Bok, dikolong dunia ini kau tidak ada lawannya, aku si imam tua takluk kepadamu," berkata imam itu, "maka bocah ini, asal dia sanggup wariskan dua atau tiga bagian dari kepandaianmu, sukar dicari tandingannya dalam kalangan kangouw. Tetapi bicara tentang senjata rahasia, aku kira aku si imam tua mempunyakan dua kemungkinan!"

"Memang siapa tak tahu kau si Bajangan Iblis mempunyai kepandaianmu yang istimewa itu, jangan kau coba mengebul!"

"Ya, kau memang utamakan kaummu, segala apa kau hendak main terus-terang, hingga segala senjata rahasia kau tidak hendak dijakinkan dengan sungguh-sungguh," kata si imam. "Mengenai Sin Cie, aku hendak atur begini. Kau antap dia lajani aku main tiokie, dua dalam satu hari, jikalau aku yang menang, kau mesti biarkan dia kawani aku melewatkan waktu yang senggang. Asal dia menangkan aku satu babak saja, aku nanti ajarkan dia semacam ilmu entengi tubuh, tapi kapan dia bisa menang beruntun dua kali, disebelah ilmu entengi tubuh itu, aku ajarkan lagi serupa senjata rahasia. Coba timbang, pertaruhanku ini adil atau tidak?"

"Imam tua ini benar licik dan lucu," pikir Bok Jin Ceng. "Tapi dia ada satu laki-laki sejati, sekali dia berkata, dia tidak pernah tarik pulang lagi". Maka ia lantas jawab : "Baik, baiklah diatur begini. Aku memangnya kuatirkan Sin Cie sia-siakan waktunya yang berharga, sekarang ada ini ketika yang baik, aku terima baik permintaanmu. Sekarang kau boleh main, sesukanya, setiap hari delapan kali, sepuluh kali, masa bodo!"

Bhok Siang jadi sangat girang, demikian juga Sin Cie. Tidak tempo lagi, keduanya lantas duduk berhadapan, untuk mulai dengan pertempurannya.....

Hari itu juga mereka main dua kali juga. Habis main, dia menetapi janji, dia kata pada bocah she Wan itu : "Sekarang aku ajarkan kau satu jurus ilmu entengi tubuh. Ya, cuma satu jurus saja, tapi jikalau kau yakinkan dengan sungguh- sungguh, faedahnya kau akan dapatkan seumur hidupmu. Nah, kau lihatlah dengan waspada."

Baru habis dia mengucapkan, tak tertampak lagi gerakan kakinya, tahu-tahu tubuh imam itu sudah mencelat keatas sebuah pohon didekat mereka, ketika ia lompat dengan jumpalitan, tahu-tahu ia sudah kembali berada didepannya si bocah. Sin Cie kagum hingga ia melengak, setelah sadar ia tepuk-tepuk tangan, ia bersorak.

"Sekarang hayo kau mulai pelajarkan," Bhok Siang kata. Dan ia terus ajarkan ilmu entengi tubuh itu yang dinamakan "Poan in seng liong" atau "Naga naik merayap dimega". Untuk itu, Sin Cie mesti berlompatan dengan enjot tubuh.

Dihari kedua, Sin Cie kalah dua kali berturut-turut, maka pada hari itu seperti bunyinya perjanjian, ia tidak peroleh pengajaran apa juga. Tapi di hari ketiga, ia main bagus sekali. Ia lepaskan kedua sayap, ia menyerang di tengah dan ia menang dua-dua kalinya.

Tak puas Bhok Siang Toojin. "Mari lagi!" ia mengajak.

Mereka main pula dua kali, dengan kesudahan seri, satu kalah, satu menang. Turut jumlah, si imam kalah tiga. Atas ini, imam itu ajarkan si bocah dua rupa ilmu entengi tubuh.

Sin Cie turut ajaran itu, ia terus berlatih, sampai ia pandai jalankan.

"Kau tahu, apabila aku menghadapi lawan, aku gunai senjata apa?" tiba-tiba tanya guru istimewa ini.

Sin Cie tidak tahu, ia menggeleng-gelengkan kepala.

Bhok Siang Toojin jumput papan caturnya, untuk diangkat.

"Inilah senjatanya! Menerangkan dia.

Anak itu heran, walaupun ia tahu, papan catur itu terbuat dari baja. Ia menyangka, karena sangat gemar main tiokie, imam ini sengaja bikin papan catur luar biasa itu, dan papan catur ini terus dibawa-bawa, mungkin dikuatirkan rusak, dibuatnya dari logam kuat itu. Siapa sangka, itu adalah alat-senjata.

Bhok Siang jumput seraupan biji catur.

"Dan ini adalah senjata rahasiaku!" ia tunjuki si bocah.

Ia tertawa.

Belum sempat Sin Cie menanya atau si imam telah lemparkan biji-biji catur itu, belasan biji, kemudian ia angkat papannya, untuk dipakai menanggapi.

Aneh sekali, dengan menerbitkan suara nyaring, semua biji catur itu jatuh kedalam papan catur itu. Lebih aneh pula, jatuhnya tidak beruntun, hanya berbareng semua, tanpa meletik lagi.

Si imam tertawa, lalu ia kata : "Buat bisa menggunai senjata rahasia, paling dulu orang mesti melatih tenaga, lalu belajar menyerang dengan tepat, supaya penyerangan tentu cepat dan pelahannya, berat dan entengnya. Sekarang mari kau mulai!"

Bhok Siang benar-benar ajarkan Sin Cie bagaimana mesti menimpuk, bagaimana tenaga mesti dikumpul ditangan, bagaimana harus mengincar sasaran.

Bukan main girang Sin Cie, ia belajar dengan rajin.

Tanpa terasa, setengah tahun Bhok Siang Toojin menenamu di atas gunung - gunung Hoa San - selama itu setiap hari dia main tiokie dengan Sin Cie, berbareng dia ajari bocah itu menggunai senjata rahasianya - biji-biji catur serta ilmu entengi tubuh. Ia seperti lupa pulang. Ia pun mengajari dengan sungguh-sungguh.

Selama Bhok Siang Toojin berdiam di Hoa San, kebetulan musim panas, maka itu telah diatur, pagi sampai siang, Sin Cie belajar silat, tengah-hari sampai lohor, mereka berdua bertempur atas papan tiokie. Dan selama itu, permainan catur Sin Cie jadi liehay sekali, hingga ia telah melebihi gurunya ini. Tapi dasar si imam "suka menang", dia selalu suruh Sin Cie pegang biji putih dan jalan terlebih dahulu, tapi ini justru mengakibatkan, ia lebih banyak kalah daripada menang....

Sin Cie gunai biji jalan bukan untuk serang serampangan saja, hanya Bhok Siang Toojin didik ia untuk serang jalan darah, sekali timpuk, dengan belasan biji, dia mesti bisa mengenai sasaran dengan jitu. Ilmu senjata rahasia jang aneh itu dipanggil "Boan thian hoa ie", atau "Hujan bunga diseluruh langit". Ini ada pelajaran sangat sulit. Ia mulai dari satu biji, lalu ditambah, ia sudah belajar empat bulan, Baru ia bisa gunai tiga atau empat biji, dan yang kena, Baru satu atau dua. Sebagai sasaran ada selembar papan dimana dilukiskan tubuh manusia dengan tanda-tanda jalan darah, diwaktu diserang, papan itu tidak dipancar hanya dipegangi oleh si empeh gagu, untuk dilarikan, setiap sang guru serukan jalan darah mana yang musti diserang.

Pada suatu hari, sedang Sin Cie berlatih, si gagu berlari- larian dengan papannya, dan si guru sedang berseru dengan pengunjukan-pengunjukannya; ketika Sin Cie sudah menimpuk jitu tiga biji, dan hendak menimpuk terus, sekonyong-konyong ia terkejut, hingga ia serukan jeritan tertahan. Ia lari kepada si gagu, untuk tarik dia ini! Si gagu kaget, segera ia menoleh. Tidak tahunya, dibelakangnya, tahu-tahu berdiri orang hutan, yang bersikap hendak menerkam dia. Ia menjadi tidak senang, ia ayun papan jang dipegangnya, untuk dipakai menyerang.

Cepat luar biasa, Bhok Siang Toojin mencelat kepada si gagu ini, tubuh siapa ia tarik mundur, berbareng dengan mana, ia serukan muridnya : "Sin Cie, kau jang layani dia!" Anak ini tahu, guru itu hendak uji dia, dia tidak menolak, malah segera dia lompat kedepan orang hutan itu.

Entah kenapa, berhadapan dengan orang, orang-hutan itu putar tubuhnya, untuk ngeloyor pergi, maka melihat demikian, Sin Cie gerakan sebelah tangannya, akan tepuk bebokongnya, hingga saking kesakitan, binatang liar itu perdengarkan pekiknya berulang-ulang. Dia menjadi gusar, dia berbalik, lalu tangannya jang panjang dan berbulu, menyambar! Sin Cie berkelit, dengan lompat kesamping, dari mana ia berniat menyerang, tetapi mendadakan, dibelakangnya ada menyambar angin. Ia tahu, tentu ada lain musuh yang bokong padanya. Tak keburu ia memutar tubuh, maka itu, ia menjejak tanah, untuk berlompat tinggi sambil jumpalitan, dengan begitu, apabila ia sudah berbalik, ia dapati si pembokong adalah satu orang-hutan lain, yang sama besarnya. Sebenarnya, sejak belajar silat, belum pernah ia berkelahi dengan lain orang, namun demikian, tak jeri ia menghadapi dua binatang buas itu. Segera ia menyerang, dengan mainkan tipu-tipu dari Hok-hou-ciang, Tangan harimau.

Suara berisik membuat Bok Jin Ceng muncul. Ia saksikan pertempuran itu, ia lihat bagaimana beberapa kali orang-orang hutan itu kena dihajar, saban-saban keduanya perdengarkan pekikan-pekikan dari kesakitan.

"Bocah ini tidak mensia-siakan cape-lelahku," pikir guru ini, jang merasa puas.

Setelah berulang-ulang merasai pukulan-pukulan jang menyakiti tubuh, kedua orang-hutan itu tidak berani berkelahi rapat, keduanya main lompat-lompatan, kadang- kadang saja mereka menubruk.

Sesudah mengawasi sekian lama, Bok Jin Ceng dapat kenyataan, walaupun ilmu silatnya telah digunai dengan baik, tenaganya Sin Cie kurang sekali, semua pukulannya melainkan menerbitkan rasa sakit, tidak bisa melukai, maka itu, ia masuk kedalam, untuk ambil pedang.

"Sambut ini!" kata ia ketika ia keluar pula, seraya lemparkan pedang kepada muridnya.

Sin Cie berlompat, akan papaki pedang, untuk disambar dengan tangannya, setelah mana, ia bisa berkelahi dengan terlebih gesit pula. Saban-saban ia membacok atau menikam, untuk mana, kedua binatang hutan itu pun berlaku gesit, senantiasa mereka lompat menyingkir.

"Jangan binasakan mereka!" Bhok Siang serukan anak muda itu.

Sin Cie menyahuti, lalu ia mendesak hebat. Kali ini, asal ia mau, ia bisa tikam sesuatu dari binatang itu, akan tetapi sekarang ia melainkan mengancam, cuma ia lukai sedikit lengan, pundak dan kepala orang hutan itu.

Kelihatannya kedua binatang itu mempunyai perasaan. Mereka mengerti orang tidak hendak binasakan mereka. Ini terbukti, kapan mereka lompat jauh, Sin Cie tidak mengejar, anak itu malah berhenti bersilat, dia mengawasi saja mereka. Mereka insyaf bahwa orang mengasihani kepada mereka, maka kemudian mereka berpekik, lalu keduanya rubuhkan diri, sepasang tangan mereka dipakai menutup kepala mereka masing-masing, cuma mata mereka mengawasi si anak muda, dengan sinar mohon diberi ampun....

Sin Cie berhenti menyerang, ia mengerti orang sudah menyerah.

Si gagu girang, ia lari kedalam, untuk ambil dadung, buat belenggu kedua binatang itu. Mulanya kedua orang-hutan coba berontak, mereka berpikir dan pertontonkan gigi mereka, tapi tenaganya si gagu kuat sekali, diakhirnya, mereka menyerah, mereka tidak berani melawan lebih jauh.

Dua-dua Bok Jin Ceng dan Bhok Siang Toojin puji Sin Cie, jang lantas dianjurkan untuk belajar lebih jauh dengan sungguh-sungguh.

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment