Halo!

Pedang Ular Mas Chapter 20

Memuat...

Mendengar kata-kata gurunya itu, karena itu baju kaos katanya ada mustika, Sin Cie ulur kedua tangannya, akan angsurkan itu kepada si imam.

Tapi si imam menolak.

"Aku tak demikian kikir sebagai gurumu!" kata dia. "Tidak biasanya aku, sudah memberi barang, barang itu diminta pulang! Kau ambillah!"

Masih Sin Cie tidak berani menerima, ia awasi gurunya. "Jikalau begitu, kau terimalah," kata sang guru. "Lekas

kau bilang terima kasih."

Sin Cie menurut, ia mengucap terima kasih sambil paykui pula.

Lalu, dengan roman sungguh-sungguh, Bok Jin Ceng kata pada muridnya: "Ini adalah sepotong baju mustika! Untuk mendapatkan ini, dahulu tootiang sudah keluarkan banyak keringat-daki, ia telah membahayakan jiwanya sendiri! Nah, kau pakailah!"

Sin Cie turut perkataan gurunya, ia lantas pakai baju kaos itu.

Bok Jin Ceng bertindak kepohon, untuk cabut pedangnya, ia cuma gunai dua jerijinya, nampaknya ia dapat menyabut dengan gampang sekali.

"Baju kaos ini terbuat dari sutera emas putih, rambut dan bulunya kera-kuning, yang disulam menjadi satu, senjata tajam bagaimana juga tak dapat merusaknya," menjelaskan ia, menyusul mana, ia bacok pundak muridnya. Sin Cie kaget, ia hendak berkelit tapi sudah kasep, ia kalah sebat dengan gurunya itu, selagi ia berlompat, pundaknya sudah jadi sasaran. Akan tetapi, buat keheranannya, ia tidak terluka, bacokan terasa enteng sekali, pedang itu terpental balik. Ia jadi sangat girang, hingga lagi-lagi ia paykui didepan si imam! Bhok Siang Toojin tertawa; katanya pada si bocah: "Kau lihat barang ini hitam-legam, jelek dipandangnya. Ketika pertama kali kau paykui, mestinya kau belum punya kepercayaan, kau tidak puas, tetapi sekali ini kau paykui, tentu kau sudah puas benar!"

Mukanya Sin Cie jadi merah karena godaan itu, hingga ia diam saja.

Bhol Siang toojin tidak perdulikan orang jengah atau tidak, ia melanjutkan : "Dahulu pernah beberapa kali baju kaos ini tolong jiwaku," katanya, "tetapi sekarang, asal saja gurumu tidak ganggu aku, mungkin sekalipun tak memakai baju ini, dikolong langit tidak ada lagi orang yang mampu celakai aku!"

Habis mengucap demikian, imam itu tertawa berkakakan, nampaknya ia sangat puas dan jumawa.

Bok Jin Ceng pun tertawa, dan berkata: "Eh, imam bangkotan jangan campur aduk, kau mengebul didepannya satu bocah! Dalam hal ilmu kepandaian, tak dapat aku lawan kau, tetapi dikolong langit ini, ada banyak sekali orang pandai!"

Bhok Siang Toojin tersenyum.

"Sudah, sudah, kita berdua tak boleh gunai golok dan pedang!" berkata dia. "Mari, mari, lebih baik kita. "

"Kita adu kepandaian diatas papan catur!" tertawa Bok Jin Ceng. "Benar!" Bhok Siang Toojin pun tertawa. "Kau memangnya adalah cacing kamukan dalam perutku!"

"Ya!" kembali tertawa Bok Jin Ceng, "kau juga, jikalau ketagihan main caturmu, tidak kumat, tidak nanti kau datang cari aku diatas gunung sebagai ini! Apakah kau bawa alat peranti makan nasi?"

Bhok Siang Toojin tertawa sembari tertawa ia meraba bebokongnya, akan kasih turun papan caturnya (tio-kie) beserta dua bungkus biji tiokienya, sedang si gagu, tanpa diperintah lagi, sudah lantas gotong keluar meja dan kursi untuk dua orang itu adu otak.

Maka kedua orang tua itu lantas duduk dibawahnya sebuah pohon, akan mulai atur biji, untuk segera jalankan itu sambil saban-saban berpikir.

Wan Sin Cie berdiri disamping, ia tidak mengerti permainan itu, maka, sambil ia jalankan biji-bijinya, Bhok Siang Toojin ajari dia aturan bertindaknya sesuatu biji. Imam ini pun kebulkan tentang kepandaiannya main tiokie itu, bahwa Bok Jin Ceng bukanlah tandingannya.

Bok Jin Ceng cuma bersenyum saja, ia terus pikirkan biji- bijinya sendiri ia antapkan orang sombongi diri.

Catur ada permainan yang gampang dipelajari tetapi sulit untuk menjadi ahli, tetapi lain dengan Sin Cie, dengan lekas ia mengerti aturan mainnya, malah berkat kecerdasannya, ia mulai mengerti tipu-tipunya.

Dalam babak pertama, Bhok Siang Toojin adalah yang mendapat kemenangan, demikian juga pada babak kedua, setelah itu, pertarungan dilanjutkan, terus sampai cuaca mulai gelap. Mereka mainkan tiga babak, dibabak ketiga, Bok Jin Ceng menang. "Mari kita main terus!" mengajak si imam, yang tidak kenal lelah.

"Aku tidak mempunyai kegembiraan untuk layani kau terus-menerus!" kata Bok Jin Ceng.

Karena ini, terpaksa Bhok Siang Toojin pergi beristirahat. Untuk ia, si gagu telah siapkan pembaringannya.

Sejak itu, beruntun tiga hari, tuan rumah dan tetamunya terus terusan main catur, karena si tetamu tidak mau mengerti jikalau ia tidak dilayani. Maka dihari keempat, tuan rumah kata: "Hari ini kita mengasoh satu hari, aku mesti ajarkan ilmu pedang dulu kepada muridku."

Alasan itu ada kuat, Bhok Siang Toojin tidak menghalangi. Tapi sangat sulit untuk ia tungkuli diri hari itu, maka juga, begitu lekas Bok Jin Ceng sudah selesai mengajari muridnya, dia lantas tarik tangannya sahabat itu.

"Mari, mari, kita bertempur lagi sampai tiga jurus!" kata ia dengan bernapsu.

Bok Jin Ceng merasa lelah, karena setengah-harian lamanya ia layani Sin Cie, tapi sahabatnya sedang ketagihan, apabila ia tidak tungkuli, satu malam itu tentu sahabat ini tidak bisa tidur, terpaksa ia duduk juga menghadapi papan catur berhadapan dengan tetamu yang sedang keranjingan itu. Sebab ia sedang lelah dan tidak bernapsu, hampir saja salah satu bijinya kena dirampas. Dengan susah payah ia perbaiki diri, tidak urung, ia masih kalah angin.

Sin Cie dampingi gurunya, ia tak sampai hati menampak guru itu terdesak.

"Suhu, menyerang kemari," kata ia akhirnya, hingga ia tak ingat bahwa ia telah mencampuri urusan orang tua-tua.

139 "Habis itu, suhu jalan disini, tentu suhu bisa lolos dari kepungan..."

Anak luar biasa ini dengan cepat telah mengerti baik tipu-tipunya permainan catur, penunjukannya itu memang ada jalan untuk hindarkan diri dari ancaman. Bok Jin Ceng juga tidak beradat mau menang melulu sebagai Bhok Siang Toojin, ia tidak keberatan akan turuti pengunjukan muridnya itu. Benar saja, setelah ia jalankan biji-bijinya menuruti sang murid, segera ia terlepas dari pengurungan, malah dilain pihak, ia dapat makan satu biji hitam. Ia sendiri pegang biji putih. Habis itu, Bhok Siang Toojin berbalik kena terdesak, malah akhirnya, dia cuma bisa menangi tiga biji.

"Dia benar cerdik," kata Bhok Siang Toojin, yang puji bocah itu. "Coba biarkan dia lawan aku, ganda enam biji!"

Bok Jin Ceng lulusi permintaan itu, ia ijinkan muridnya lawan sang supeh.

Sin Cie belum pandai betul tapi kecerdasannya membantu banyak sekali. Ia masih muda sekali, tapi otaknya kuat.

Dalam kalangan tiokie ada pepatah, "Didalam usia dua- puluh tidak menjadi kampiun, hilanglah harapan". Ini menandakan, tiokie mesti dipelajari sejak masih anak-anak. Sou Tong Po ada sasterawan termashur tetapi main tiokie, melawan seorang biasa, ia tak peroleh kemenangan. Hal itu membuat ia menyesal, hingga dia tulis sairnya : "Menang girang, kalah pun gembira".

Bok Jin Ceng sabar dan sederhana, tidak demikian dengan Bhok Siang Toojin, yang gemar akan kemenangan. Ia tidak lihat mata pada si bocah cilik, tetapi, sesudah biji- biji dijalankan, ia lantas merasai satu tandingan bukan sembarangan. Dasar anak kecil, Sin Cie ingin menangkan

140 supehnya itu, ia bermain dengan sungguh-sungguh. Diakhirnya, Bhok Siang Toojin menang tetapi bukan tak dengan susah-payah.

Besoknya, pagi-pagi, Bhok Siang Toojin telah cari Sin Cie, buat ditarik tangannya, untuk diajak bertanding pula, tanpa bocah ini bisa menampik. Kali ini, dua kali Sin Cie menang dengan beruntun, maka ganda diubah, dari enam biji, jadi lima.

Dapat ganti si bocah cilik, Bhok Siang abaikan tuan rumahnya, terus setiap hari, ia ajak Sin Cie "bertempur", hingga tahu-tahu, sudah hampir sepuluh hari mereka main terus, hingga selanjutnya, dari diganda, keduanya main seperti biasa. Sin Cie peroleh kemajuan sangat pesat, hingga dia berani melayani tanpa diganda lagi. Malah sekarang, sering mereka kalah dan menang bergantian! Begitu lekas Sin Cie utamakan tiokie, ilmu silatnya kena diterlantarkan juga. Bok Jin Ceng ketahui ini, tapi dia antap saja. Baru belakangan, melihat si tua bangka dan si bocah seperti lupa tidur dan makan - mereka bertempur tanpa batas tempo - ia jadi kuatir juga. Diam-diam ia kisiki muridnya ini supaja selanjutnya dia ini layani supehnya satu hari satu kali saja, sebab dia tidak boleh alpai ilmu silatnya.

Atas kisikan itu, Sin Cie malu sendirinya. Memang benar, hampir sepuluh hari, ia sudah siasiakan pelajarannya. Maka besoknya, waktu Bhok Siang Toojin ajaki dia main catur, dia menolak dengan manis, katanya ia mesti berlatih. Dihari kedua juga dia kembali menampik.

"Kau temani aku main, habis main, aku nanti ajarkan kau semacam ilmu silat, dengan itu, pasti gurumu girang," kata Bhok Siang membujuk.

"Nanti aku tanya suhu dulu," kata Sin Cie, yang tidak berani lancang. "Baik, pergilah tanya!" si imam menganjurkan.

Sin Cie lari mencari gurunya. Ia beritahukan janjinya Bhok Siang.

Bok Jin Ceng girang. Ia memang tahu, imam itu liehay, melainkan adatnya aneh, dia tak suka menerima murid, tapi sekali ini dia kasih janjinya, itu tentu disebabkan pengaruh ketagihannya main catur.

Lantas ia tarik tangan muridnya untuk dibawa kepada si imam, kepada siapa lantas saja ia menjura : "Kau hendak sempurnakan muridku ini, disini kuhaturkan terima kasih padamu!"

Dukungan & Donasi

Bantu kami terus update dengan memberi dukungan melalui:

BCA 7891767327
Trakteer
Post a Comment